Resensi Film Pendekar Tongkat Emas: Nilai B Cukup Untuk Apresiasi
oleh Gloria Fransiska“Aku tidak takut mati, namun tidak ada ilmu silat yang membuat orang hidup selamanya”Cempaka, Pendekar Tongkat Emas
Tidak ada yang lebih menarik menghabiskan akhir
pekan bersama keluarga dan sahabat, bukan? Apalagi jika dihabiskan dengan
menonton film bersama. 21 Desember 2014, adalah hari yang tepat untuk
menonton salah satu film karya anak bangsa tentang dunia persilatan yang baru
saja diluncurkan ke layar lebar.
Film ini ditayangkan pertama kali pada 18 Desember
2014 hasil produksi dari Miles Production. Tentu saja dari namanya kita
mengenal Miles Production sebagai production house yang dikelola oleh salah
seorang produser perempuan ternama Indonesia, Mira Lesmana. Perempuan berambul keriting
bersama Miles Production yang digarapnya sudah beberapa kali mendulang
kesuksesan berupa apresiasi atas film-film yang dibuatnya. Sebut saja film Gie dan Ada Apa Dengan Cinta yang sama-sama dibuat oleh Mira Lesmana dan
kawan-kawan. Pertanyaannya, apakah film silat pertama di Indonesia, dengan
durasi terlama dan penghabisan anggaran termahal ini akan mengulang jejak
kesuksesan karya Miles sebelumnya?
Ada spoiler ringan bahwa film Pendekar Tongkat
Emas ini tidak terlalu kontroversial sebaik AADC. Pasalnya ada beberapa
kejanggalan logika dalam film tersebut yang sulit diterima penonton awam. Tak
hanya itu, ritme film pun monoton akibat terlalu banyaknya dialog dengan
kalimat yang panjang-panjang. Alhasil beberapa adegan tidak lolos ditonton
akibat penonton yang mengantuk dan memilih mengikuti hasratnya menutup mata.
Jika dirincikan poin-poin kelemahan dalam film
yang "berbusana" anggun akibat latar belakang lokasi syuting yang indah, yakni
di daerah Waikabubak, Sumba Barat, Nusa Tenggara Timur, kelemahan tersebut perlu
menjadi perhatian khusus. Sebut saja kelemahan dari segi casting peran.
Entah mengapa tokoh Nicholas Saputra kerap kali mendapatkan peran sebagai "pria
keren dan misterius". Tak hanya itu, gantengnya Nicholas Saputra seolah menjadi
andalan dari berbagai film legendaris Mira Lesmana. Apakah Miles Production
mengandalkan ketampanan Nicholas Saputra untuk memberikan loncatan angka
penonton tanpa mempertimbangkan kesesuaian kisah dengan latar belakang? Tampang
Nicholas Saputra terlalu mencirikan wajah ‘asing’, wajah blasteran, ketimbang
wajah asli manusia Indonesia dengan kulit kuning langsat atau sawo matang
misalnya. Tak hanya Nicholas Saputra, tokoh lain seperti Darius Sinathriya juga
terkesan terlalu dipaksakan untuk menjadi seorang pendekar muda bernama Naga
Biru yang tak lain adalah ayahanda dari tokoh Elang, yang diperankan oleh
Nicholas Saputra. Untungnya, beberapa kejanggalan tersebut masih bisa dimaafkan
dengan tokoh-tokoh seperti Christine Hakim, Tara Basho, dan Eva Celia yang
masih mewariskan beberapa garis kecantikan Timur.
Nah, jika berbicara soal casting pemeran tentu tak
akan lepas juga dengan latar belakang tempat syuting, dan juga kostum yang
digunakan. Entah mengapa, pengambilan lokasi di daerah Sumba patut diacungi
jempol. Bagaimana tidak, keindahan alam yang ditawarkan Waikabubak sangat
memikat mata penonton. Miles Production dan KG Studio Present seolah ingin
benar-benar mengeksplor kawasan Indonesia Timur, dan pilihan jatuh kepada
kawasan Sumba. Uniknya pilihan untuk syuting di Sumba diikuti dengan penggunaan
kostum dan sandang khas dari kawasan Sumba. Keindahan tenun Sumba menjadi andalan di dalam
film ini. Tak heran jika ada komentar pedas bahwa film ini terlalu banyak
menampilkan kain-kain tenun Sumba. Akankah ada agenda seting untuk
mempromosikan tenun Indonesia Timur, entahlah. Namun, yang perlu menjadi
perhatian adalah perkara riset yang dilakukan oleh sutradara, Ifa Isfansyah
bersama tim.
Sayangnya, tidak ada kesesuaian dalam pemakaian kostum dengan
adat istiadat latar belakang daerah Sumba. Jika diambil contoh adalah nama
tokoh yang tidak pas dengan nama-nama orang di kawasan Sumba. Kedua, dari
segi kostum, ada kecenderungan desain kostum para tokoh masih berorientasi pada
kostum pendekar-pendekar di China dan Asia lainnya. Bukan kostum silat asli
Indonesia. Hal ini kian diperparah dengan penggunaan kain tenun Sumba untuk
menjadi pemanis dalam kostum para pendekar, namun seolah tak ada korelasinya.
Ada kesenjangan di sini, yakni kerapuhan riset yang
nampak dalam film ini. Nampak ada banyak pesona yang berhasil ditampilkan namun
tidak selaras dengan latar belakang yang relevan. Riset yang kurang justru akan
menimbulkan banyak pertanyaan dalam benak penonton awam, seperti tentang "ras
manakah para tokoh ini?" sehingga disini perlu dipertajam riset secara
etnografis mengingat rancangan yang sensasional dari film Pendekar Tongkat Emas
itu sendiri.
Kedua, masih terkait perkara kelemahan riset
etnografi, dalam film Pendekar Tongkat Emas, kerap kali muncul pertentangan
antara para tokoh dengan pemeran pembantu yang diambil adalah warga asli Sumba.
Seperti yang disebutkan di awal, pemilihan beberapa tokoh yang tampan dan
cantik sangat kontras dengan tokoh lain, khususnya para warga asli Sumba yang
berkulit sawo matang atau coklat. Tokoh-tokoh utama jadi paling dominan untuk
menjadi fokus utama.
Gagal
Logika
Kisah ini berawal tentang seorang perempuan paruh
baya bernama Cempaka yang adalah pendekar tongkat emas memiliki beberapa murid
yakni Biru, Gerhana, Dara, dan Angin. Murid-muridnya diajarkan ilmu silat oleh
Cempaka untuk dapat menunaikan tujuan mulia menyelamatkan manusia sekaligus
mewarisi tongkat emas yang dimilikinya. Kegagalan logika yang ditemukan lainnya
adalah tentang tokoh Angin, seorang murid seperguruan Cempaka yang bungsu.
Tokoh yang diperankan sebagai seorang anak laki-laki berusia 8-13 tahun dan
tidak pernah berbicara sesuatu apa pun. Tentu saja logika yang berjalan di
kalangan penonton, bisa jadi Angin adalah tokoh yang bisu. Anehnya, tiba-tiba ketika Angin hendak melindungi
kakak seperguruannya, Dara, dia mengeluarkan kata-kata yang panjang dan sangat
filosofis.
“Loh? Jadi Angin ini bisa bicara toh?”
Disini letak keanehannya, setelah sekian lama
tidak mengatakan sepatah kata pun lalu muncul dengan kalimat yang sangat
filosofis tentu saja penonton merasa aneh plus takjub. Disinilah perlu kita memberikan pertanyaan kepada
penulis naskah, bagaimana rancangan dan tujuan dari film ini sehingga banyak
sekali kalimat yang filosofis yang dituturkan para tokoh.
Film berdurasi 112 menit ini memang banyak
menampilkan quotes penting seperti:
“Semakin tinggi ilmu seseorang, semakin sering ia
diserang dari belakang,”
“Cahaya itu bisa menjadi harapan, tetapi juga bisa
menjadi ancaman.”
“Sanggupkah menahan diri untuk tidak menang karena
sesungguhnya tidak ada kemenangan dalam ilmu apapun ketika kemenangan selalu
menjatuhkan korban,”
“Tidak ada pemenang dalam setiap ilmu”
“Bagiku, kekuatan seorang pendekar bukanlah untuk
mencari kesempurnaan, tetapi untuk membela mereka, kaum yang lemah”
Ada nilai moral kuat yang hendak disampaikan dalam
film ini terlepas dari berbagai printilan yang membuatnya nampak tak sempurna.
Sekali lagi, tidak ada kesempurnaan. Belum lagi kejutan dan keberanian Mira
Lesmana dan tim mengeksplor kawasan baru dengan segala keterbatasan akses untuk
riset dan himpitan waktu. Juga kejutan-kejutan secara tidak langsung, misalnya
memperkenalkan Sumba kepada para penonton Indonesia.
Kenekatan Mira dan kawan-kawan juga melahirkan
acungan jempol lain terkait film silat perdananya ini. Adegan silat yang
ditawarkan cukup memacu adrenalin. Bagaimana tidak, man behind the scene untuk adegan silat ternyata adalah seorang
koreografer aksi asal China, Xiong Xin Xin. Dia juga adalah body double stunt untuk Jet Li.
Sekali lagi, kualitas dan semua keterbatasan tetap
membuat film ini mendapat nilai B, yakni Baik. Atau Bagus. Karena A, untuk
excellent, atau luar biasa, nampaknya masih jauh dari kelayakkan. Perlu ada
effort lebih dan perbaikan di beberapa sendi film ini untuk meraih kesempurnaan
itu. Tetapi sekali lagi, tidak ada yang namanya kesempurnaan, yang abadi untuk
mencapai apresiasi bisa jadi adalah, kenekatan.
0 komentar:
Post a Comment