Sunday, January 4, 2015

Resensi Film Pendekar Tongkat Emas: Nilai B Cukup Untuk Apresiasi

oleh Gloria Fransiska
 “Aku tidak takut mati, namun tidak ada ilmu silat yang membuat orang hidup selamanya”
Cempaka, Pendekar Tongkat Emas


Tidak ada yang lebih menarik menghabiskan akhir pekan bersama keluarga dan sahabat, bukan? Apalagi jika dihabiskan dengan menonton film bersama. 21 Desember 2014, adalah hari yang tepat untuk menonton salah satu film karya anak bangsa tentang dunia persilatan yang baru saja diluncurkan ke layar lebar.

Film ini ditayangkan pertama kali pada 18 Desember 2014 hasil produksi dari Miles Production. Tentu saja dari namanya kita mengenal Miles Production sebagai production house yang dikelola oleh salah seorang produser perempuan ternama Indonesia, Mira Lesmana. Perempuan berambul keriting bersama Miles Production yang digarapnya sudah beberapa kali mendulang kesuksesan berupa apresiasi atas film-film yang dibuatnya. Sebut saja film Gie dan Ada Apa Dengan Cinta yang sama-sama dibuat oleh Mira Lesmana dan kawan-kawan. Pertanyaannya, apakah film silat pertama di Indonesia, dengan durasi terlama dan penghabisan anggaran termahal ini akan mengulang jejak kesuksesan karya Miles sebelumnya?

Ada spoiler ringan bahwa film Pendekar Tongkat Emas ini tidak terlalu kontroversial sebaik AADC. Pasalnya ada beberapa kejanggalan logika dalam film tersebut yang sulit diterima penonton awam. Tak hanya itu, ritme film pun monoton akibat terlalu banyaknya dialog dengan kalimat yang panjang-panjang. Alhasil beberapa adegan tidak lolos ditonton akibat penonton yang mengantuk dan memilih mengikuti hasratnya menutup mata.

Jika dirincikan poin-poin kelemahan dalam film yang "berbusana" anggun akibat latar belakang lokasi syuting yang indah, yakni di daerah Waikabubak, Sumba Barat, Nusa Tenggara Timur, kelemahan tersebut perlu menjadi perhatian khusus. Sebut saja kelemahan dari segi casting peran. Entah mengapa tokoh Nicholas Saputra kerap kali mendapatkan peran sebagai "pria keren dan misterius". Tak hanya itu, gantengnya Nicholas Saputra seolah menjadi andalan dari berbagai film legendaris Mira Lesmana. Apakah Miles Production mengandalkan ketampanan Nicholas Saputra untuk memberikan loncatan angka penonton tanpa mempertimbangkan kesesuaian kisah dengan latar belakang? Tampang Nicholas Saputra terlalu mencirikan wajah ‘asing’, wajah blasteran, ketimbang wajah asli manusia Indonesia dengan kulit kuning langsat atau sawo matang misalnya. Tak hanya Nicholas Saputra, tokoh lain seperti Darius Sinathriya juga terkesan terlalu dipaksakan untuk menjadi seorang pendekar muda bernama Naga Biru yang tak lain adalah ayahanda dari tokoh Elang, yang diperankan oleh Nicholas Saputra. Untungnya, beberapa kejanggalan tersebut masih bisa dimaafkan dengan tokoh-tokoh seperti Christine Hakim, Tara Basho, dan Eva Celia yang masih mewariskan beberapa garis kecantikan Timur.

Nah, jika berbicara soal casting pemeran tentu tak akan lepas juga dengan latar belakang tempat syuting, dan juga kostum yang digunakan. Entah mengapa, pengambilan lokasi di daerah Sumba patut diacungi jempol. Bagaimana tidak, keindahan alam yang ditawarkan Waikabubak sangat memikat mata penonton. Miles Production dan KG Studio Present seolah ingin benar-benar mengeksplor kawasan Indonesia Timur, dan pilihan jatuh kepada kawasan Sumba. Uniknya pilihan untuk syuting di Sumba diikuti dengan penggunaan kostum dan sandang khas dari kawasan Sumba. Keindahan tenun Sumba menjadi andalan di dalam film ini. Tak heran jika ada komentar pedas bahwa film ini terlalu banyak menampilkan kain-kain tenun Sumba. Akankah ada agenda seting untuk mempromosikan tenun Indonesia Timur, entahlah. Namun, yang perlu menjadi perhatian adalah perkara riset yang dilakukan oleh sutradara, Ifa Isfansyah bersama tim.

Sayangnya, tidak ada kesesuaian dalam pemakaian kostum dengan adat istiadat latar belakang daerah Sumba. Jika diambil contoh adalah nama tokoh yang tidak pas dengan nama-nama orang di kawasan Sumba. Kedua, dari segi kostum, ada kecenderungan desain kostum para tokoh masih berorientasi pada kostum pendekar-pendekar di China dan Asia lainnya. Bukan kostum silat asli Indonesia. Hal ini kian diperparah dengan penggunaan kain tenun Sumba untuk menjadi pemanis dalam kostum para pendekar, namun seolah tak ada korelasinya.

Ada kesenjangan di sini, yakni kerapuhan riset yang nampak dalam film ini. Nampak ada banyak pesona yang berhasil ditampilkan namun tidak selaras dengan latar belakang yang relevan. Riset yang kurang justru akan menimbulkan banyak pertanyaan dalam benak penonton awam, seperti tentang "ras manakah para tokoh ini?" sehingga disini perlu dipertajam riset secara etnografis mengingat rancangan yang sensasional dari film Pendekar Tongkat Emas itu sendiri.

Kedua, masih terkait perkara kelemahan riset etnografi, dalam film Pendekar Tongkat Emas, kerap kali muncul pertentangan antara para tokoh dengan pemeran pembantu yang diambil adalah warga asli Sumba. Seperti yang disebutkan di awal, pemilihan beberapa tokoh yang tampan dan cantik sangat kontras dengan tokoh lain, khususnya para warga asli Sumba yang berkulit sawo matang atau coklat. Tokoh-tokoh utama jadi paling dominan untuk menjadi fokus utama.

Gagal Logika
Kisah ini berawal tentang seorang perempuan paruh baya bernama Cempaka yang adalah pendekar tongkat emas memiliki beberapa murid yakni Biru, Gerhana, Dara, dan Angin. Murid-muridnya diajarkan ilmu silat oleh Cempaka untuk dapat menunaikan tujuan mulia menyelamatkan manusia sekaligus mewarisi tongkat emas yang dimilikinya. Kegagalan logika yang ditemukan lainnya adalah tentang tokoh Angin, seorang murid seperguruan Cempaka yang bungsu. Tokoh yang diperankan sebagai seorang anak laki-laki berusia 8-13 tahun dan tidak pernah berbicara sesuatu apa pun. Tentu saja logika yang berjalan di kalangan penonton, bisa jadi Angin adalah tokoh yang bisu. Anehnya, tiba-tiba ketika Angin hendak melindungi kakak seperguruannya, Dara, dia mengeluarkan kata-kata yang panjang dan sangat filosofis.
“Loh? Jadi Angin ini bisa bicara toh?”

Disini letak keanehannya, setelah sekian lama tidak mengatakan sepatah kata pun lalu muncul dengan kalimat yang sangat filosofis tentu saja penonton merasa aneh plus takjub. Disinilah perlu kita memberikan pertanyaan kepada penulis naskah, bagaimana rancangan dan tujuan dari film ini sehingga banyak sekali kalimat yang filosofis yang dituturkan para tokoh.

Film berdurasi 112 menit ini memang banyak menampilkan quotes penting seperti: 
“Semakin tinggi ilmu seseorang, semakin sering ia diserang dari belakang,”
“Cahaya itu bisa menjadi harapan, tetapi juga bisa menjadi ancaman.”
“Sanggupkah menahan diri untuk tidak menang karena sesungguhnya tidak ada kemenangan dalam ilmu apapun ketika kemenangan selalu menjatuhkan korban,”
“Tidak ada pemenang dalam setiap ilmu”
“Bagiku, kekuatan seorang pendekar bukanlah untuk mencari kesempurnaan, tetapi untuk membela mereka, kaum yang lemah”

Ada nilai moral kuat yang hendak disampaikan dalam film ini terlepas dari berbagai printilan yang membuatnya nampak tak sempurna. Sekali lagi, tidak ada kesempurnaan. Belum lagi kejutan dan keberanian Mira Lesmana dan tim mengeksplor kawasan baru dengan segala keterbatasan akses untuk riset dan himpitan waktu. Juga kejutan-kejutan secara tidak langsung, misalnya memperkenalkan Sumba kepada para penonton Indonesia.

Kenekatan Mira dan kawan-kawan juga melahirkan acungan jempol lain terkait film silat perdananya ini. Adegan silat yang ditawarkan cukup memacu adrenalin. Bagaimana tidak, man behind the scene untuk adegan silat ternyata adalah seorang koreografer aksi asal China, Xiong Xin Xin. Dia juga adalah body double stunt untuk Jet Li.

Sekali lagi, kualitas dan semua keterbatasan tetap membuat film ini mendapat nilai B, yakni Baik. Atau Bagus. Karena A, untuk excellent, atau luar biasa, nampaknya masih jauh dari kelayakkan. Perlu ada effort lebih dan perbaikan di beberapa sendi film ini untuk meraih kesempurnaan itu. Tetapi sekali lagi, tidak ada yang namanya kesempurnaan, yang abadi untuk mencapai apresiasi bisa jadi adalah, kenekatan.
 

0 komentar:

Copyright © agenda 18 All Right Reserved