Monday, April 4, 2016

Diskusi In Search Of Middle Indonesia bersama Gerry van Klinken

oleh Gloria Fransiska

Prof Gerry menunjukkan buku yang ditulisnya (5/3)

Awal Maret 2016, tepatnya pada tanggal 5 Maret hari Sabtu, dua pekan pasca peluncuran buku RUMAH KOTA KITA, Komunitas Penulis Muda Katolik Agenda 18 mencoba berdiskusi bersama Professor Gerry van Klinken. Agenda 18 mencoba mendiskusikan karya yang memotret fenomena kehidupan kelas menengah perkotaan dari buku Professor Gerry yang berjudul In Search Of Middle Indonesia

Agenda 18 kembali menyelenggarakan bedah buku ‘Kelas Menengah di Kota Menengah Indonesia’ di Yayasan Pustaka Obor Indonesia. Maklum, Obor yang akrab disebut YPOI adalah pihak penerbit tulisan Prof Gerry dan kawan-kawannya.

Acara yang dijadwalkan mulai pada seusai jam makan siang dibuka oleh Tuan Rumah YPOI, Pak Widodo, pada pukul 14.30 WIB. Acara diskusi itu dihadiri 25 peserta baik sesama anggota internal Agenda 18 maupun pihak eksternal seperti teman-teman media massa dan komunitas seperti Megawati Institute, CIPG, dan Indoprogress.

Dalam sambutanya, Pak Widodo menyatakan kelas menengah di Indonesia memiliki kerancuan. Menurut pria setengah baya ini contoh paling konkret dari kekacauan kelas menengah di Indonesia adalah masalah kemandirian golongan kelas menengah secara politik dan ekonomi.

“Kelas menengah kita kembali terjebak dalam keterikatan atau ketidakmampuan menjadi pembaharu dalam perjalanan bangsa Indonesia,” ujar Widodo.


Widodo menjelaskan, akibat dari ketidakmampuan tersebut ada beberapa poin yang dikhawatirkan antara lain; ketidakberhasilan mengubah permasalahan yang substansial. Ketidakmampuan kelas menengah tersebut juga dikhawatirkan akan membawa revolusi atau peristiwa berdarah meski saat ini kita sudah memasuki era demokratisasi sebagai desentralisasi di Indonesia.

“Saya pribadi menganggap ada kemajuan di kelas menengah kita pada era reformasi, yakni kelas menengah menjadi pembaharu,” tutur Widodo.

Salah satu anggota Agenda 18, Maria Brigita Blessty pun membuka diskusi tentunya dengan memperkenalkan terlebih dahulu sosok Gerry van Klinken. Blessty yang mengaku gugup karena berhadapan dengan seorang ilmuwan mencoba memaparkan latar belakang Professor Gerry.

Gerry Van Klinken adalah seorang professor dari Universitas Amsterdam atau University of Amsterdam di Belanda. Beliau mengajar ilmu Sejarah dan sangat menguasai materi sejarah Asia Tenggara, tentunya termasuk sejarah Indonesia.

Acara diskusi pun dilanjutkan dengan pemaparan Gerry terkait buku In Search of Middle Indonesia yang adalah hasil kerjasama Indonesia dengan Belanda. Kebanyakkan penulis dalam karya tersebut adalah para antropolog yang memaparkan aspek-aspek dalam kehidupan kelas menengah di kota menengah.

“Kelas menengah ini berbeda dari kelas menengah lainnya. Mereka ini shopping mahal-mahal. Mereka ini juga kelas menengah bagian bawah yang baru keluar dari kemiskinan. Merekalah yang menjalankan otonomi daerah di Provinsi,” jelas Gerry.

Kelas menengah disebut oleh Gerry adalah embrio dari tuntutan terhadap proteksi pasar global. Dia pun mengambil sample dari Kota Kupang, salah satu kota menengah di Indonesia yang berada di luar Pulau Jawa dengan karakteristik yang unik. Gerry mencoba memaparkan kelas menengah di Kupang dari salah satu karyanya.

“Pendekatan saya agak berbeda dengan pendekatan sejarah yang biasa dikerjakan dengan mencari tokoh teladan atau figur, misalnya pahlawan daerah setempat, tetapi di Kupang berbeda karena saya terpaksa menulis dengan narasumber off the record,” kenang Gerry.

Pria berkacamata ini mengatakan Otonomi Daerah adalah salah satu bentuk dimana sebuah kota menjadi area pergumulan kekuatan yang menang dan kalah. Gerry pun menceritakan penemuannya di Kota Kupang tentang pergumulan antar golongan berusaha merebut kedudukan sebagai pemenang.

“Tidak pernah ada sumber sejarah tentang Kupang. Setelah terjun ada banyak buku yang dibuat orang lokal, ini adalah bentuk pertarungan sosial, pergumulan politik,” ungkapnya.

Gerry pun menceritakan sejumlah tokoh di Kupang pada masa colonial hingga memasuki Orde Baru. Tokoh pemenang ataupu  yang kalah dan menjadi pembahasan Gerry antara lain; I H Doko salah satu Pahlawan Nasional asal Kupang, Maj-Gen El Tari Gubernur NTT 1966-1978, Alfons Nisnoni (1907-1987) raja terakhir di Kupang, dan Michael Marcus (Komunis).

Gerry pun menyimpulkan atas pertarungan keempat tokoh ini akhirnya Kota Kupang terbentuk sebagai sebuah kota menengah dengan berbagai elemen di dalamnya. Menurut Gerry, pertarungan antar golongan secara politis ini menciptakan kelas menengah di Kupang. Golongan kelas menengah tersebut adalah anak-anak petani dan bukan anak-anak raja.

Kelas menengah ini mengalami mobilitas sosial yang luar biasa dengan harga yang dibayar cukup mahal, berupa revolusi. Sayangnya, tanpa revolusi mereka memang tidak memperoleh harga diri dan prestasi. Padahal, nasib mereka sesungguhnya masih tergantung loyalitas terhadap penguasa dua dari luar yakni Orang Belanda dan Jepang atau Nippon.

Ketika masuk sesi tanya-jawab, pertanyaan pertama datang dari Dane, jurnalis Harian Kompas yang menanyakan bagaimana nasib masa depan Indonesia dengan kebiasaan kompromis terhadap moral? Secara sosial apakah akan ada perubahan ke arah positif? Bagaimana jika perubahan yang terjadi justru negatif?

Pertanyaan selanjutnya datang dari Margaretha, dari perwakilan LSM seni dan budaya. Margaretha atau yang akrab disapa Retha itu mencoba menanyakan metode pembentukan kelas menengah. Pasalnya, saat melakukan riset di Rote, Nusa Tenggara Timur, Retha melihat banyak anak-anak petani yang pasca menjalani pendidikan tinggi tidak kembali ke desa untuk bertani. Mereka merasa jijik dengan pekerjan bertani. Tak selesai sampai di situ, Retha masih membubuhkan pertanyaan tentang kaitan kelas menengah di Kupang atau pada daerah di NTT dengan politik Gereja. Dia juga masih ingin melihat apakah ada resistensi dari golongan kelas menengah.

Pertanyaan ketiga datang dari Dida Darul Ulum, perwakilan dari Megawati Institute. Dida menyatakan kebingungannya pada penulisan kelas menengah. Menurut Dida, apa fokus dari penulisan buku tersebut, tentang penjabaran soal wawasan sejarah alternative 1965.

Merespon para penanya pada termin pertama, Gerry mengaku dalam perumusan buku, timnya memang menggabungkan kelas menengah dengan lokasi. Dengan kota-kota menengah sebagai sebuah zona sosial, menghubungkan pusat dengan daerah, atas dengan bawah, negara dengan masyarakat, pasar global dengan ekonomi lokal, zona sosial yang besar. Konsep kelas pertama dirumuskan oleh Karl Marx dan dikaitkan dengan kepentingan material tidak saling kenal, bertindak berperilaku politik, pemilik modal besar di awal abada 19 berpolitik secara lokal.

“Kesenjangan yang diciptakan kapitalisme itu menghasilkan politik. Kalau untuk kasus ini, memang kelas menengah adalah sesuatu yang ambigu. Hanya bawah dan atas, jadi memang sehingga ini menjadi sedikit persoalan materialnya agak ambigu kelas menengah dengan modal tertentu. Dia sendiri juga bekerja secara fisik dia tetap memiliki punya kepentingan,” terang Gerry.

Kelas menengah menurut Gerry memang diciptakan oleh negara, adalah bahwa kapital tidak akan dibiarkan merajalela dan akan diarahkan dan dikontrol dan hasilnya melalui nasionalisasi kepada rakyat kepada lapisan kelas menengah.

“Karena kita butuh dukungan politik dari kota provinsi. Negara menciptakan lapisan kelas sosial, jadi kalau mau masuk kelas menengah harus masuk PNS dan dagang. Selama ini semua mau masuk ke PNS, pada masa Orde Baru,” tuturnya.

Tak hanya itu, perumusan kelas menengah yang dilakukan Gerry dan kawan-kawannya memang tidak mengacu ADB tetapi dari pola perilaku sosial dan politik. Mereka (kelas menengah) mendukung Orde Baru. Pola perilaku politik yang bermunculan, termasuk politik Gereja, politik agama sangat menarik karena komunal sesuai kebiasan kelas menengah atas.

Agama adalah semacam self help, bantuan psikologis atau hanya bisa hidup bahagia, berdekatan dengan patron, rektornya harus dari agama ini. Dekat dengan agama berarti mudah mendapat akses, kalau terkenal dengan orang yang susah beragama juga sulit akses apalagi pejabat.

Pada termin kedua, salah seorang anggota Agenda 18, Christina Dwi Susanti atau yang akrab disapa Wiwiek menyampaikan pertanyaannya tentang kekerasan yang terjadi antar kelas menengah atau kaitannya dengan pertarungan politik lokal dan politik nasional.

“Kelas menengah ini seberapa jauh berapa persen menguasai populasi Indonesia? Menurut defisini Prof Gerry. Kelas menengah dengan politik dan kekuasaan dan agama dalam arti identitas. Lalu bagaimana mereka berubah jika mereka memberikan kontribusi bagi demokratisasi?” tanya Dani salah seorang peserta diskusi.

Usai Dani bertanya, salah seorang peserta bernama Farida mencoba sharing tentang upayanya menjaring kelas menengah untuk menggalang aksi solidaritas membangun perpustakaan ke berbagai daerah.

Gerry menerangkan, pada 2009 menginjak 43% bertumbuh dengan begitu cepat, tidak serta merta bertindak secara politis, tetapi mereka tidak tertarik dengan pasar terbuka. Perilaku kelas menengah adalah mempertahankan demokrasi, pro globalisasi, setiap kampung ingin menjadi kabupaten dengan uangnya sendiri.

“Ini dilihat sebagai kenyataan sosial baru suka atau tidak suka mereka ada. Sebuah kelas bukan benda, kelas menengah adalah konsep. Beda dengan sebuah meja disepakati, sebuah kelas kami rampungkan sendiri “Kok Orde Baru bisa bertahan lama?” apakah mereka bisa menembak 157 juta orang. Pasti ada di luar elemen itu yang mendukung 10% LP3ES untuk bukan bertahan dengan Orde Baru,” jelasnya.

“Dimana dulu masa diluar elit nasional disebut masa mengambang, sekarang tidak mengambang lagi, tetapi dia sudah aktif, berenang, mulai bersosial menengah. Kelas menengah suka demokrasi tetapi membajak demokrasi itu sendiri. Karena membuat demokrasi dengan catatan kaki. Kelas menengah butuh uang untuk berpolitik."

Menurut Gerry, optimisme ketika republik lahir membuat masyarakat dan para pemimpin ingin ingin membangun sesuatu yang lebih besar. Hal itu juga yang mendorong pertumbuhan kelas menengah tetap pesat meski Indonesia sudah melalui fase revolusi.

“Saya suka Hannah Arendt, kekuasaan bertumbuh disaat mereka berkumpul bersama. Kekuasaan yang berkelanjutan adalah kekuasaan yang dipertahankan bersama,” tutur Gerry.



0 komentar:

Copyright © agenda 18 All Right Reserved