Diskusi In Search Of Middle Indonesia bersama Gerry van Klinken
oleh Gloria Fransiska
Awal Maret 2016, tepatnya
pada tanggal 5 Maret hari Sabtu, dua pekan pasca peluncuran buku RUMAH KOTA
KITA, Komunitas Penulis Muda Katolik Agenda 18 mencoba berdiskusi bersama
Professor Gerry van Klinken. Agenda 18 mencoba mendiskusikan karya yang memotret
fenomena kehidupan kelas menengah perkotaan dari buku Professor Gerry yang
berjudul In Search Of Middle Indonesia
Agenda 18 kembali
menyelenggarakan bedah buku ‘Kelas Menengah di Kota Menengah Indonesia’ di
Yayasan Pustaka Obor Indonesia. Maklum, Obor yang akrab disebut YPOI adalah
pihak penerbit tulisan Prof Gerry dan kawan-kawannya.
Acara yang dijadwalkan
mulai pada seusai jam makan siang dibuka oleh Tuan Rumah YPOI, Pak Widodo, pada
pukul 14.30 WIB. Acara diskusi itu dihadiri 25 peserta baik sesama anggota
internal Agenda 18 maupun pihak eksternal seperti teman-teman media massa dan
komunitas seperti Megawati Institute, CIPG, dan Indoprogress.
Dalam sambutanya, Pak
Widodo menyatakan kelas menengah di Indonesia memiliki kerancuan. Menurut pria
setengah baya ini contoh paling konkret dari kekacauan kelas menengah di
Indonesia adalah masalah kemandirian golongan kelas menengah secara politik dan
ekonomi.
“Kelas menengah kita
kembali terjebak dalam keterikatan atau ketidakmampuan menjadi pembaharu dalam
perjalanan bangsa Indonesia,” ujar Widodo.
Widodo menjelaskan, akibat
dari ketidakmampuan tersebut ada beberapa poin yang dikhawatirkan antara lain;
ketidakberhasilan mengubah permasalahan yang substansial. Ketidakmampuan kelas
menengah tersebut juga dikhawatirkan akan membawa revolusi atau peristiwa
berdarah meski saat ini kita sudah memasuki era demokratisasi sebagai
desentralisasi di Indonesia.
“Saya pribadi menganggap
ada kemajuan di kelas menengah kita pada era reformasi, yakni kelas menengah
menjadi pembaharu,” tutur Widodo.
Salah satu anggota Agenda
18, Maria Brigita Blessty pun membuka diskusi tentunya dengan memperkenalkan
terlebih dahulu sosok Gerry van Klinken. Blessty yang mengaku gugup karena
berhadapan dengan seorang ilmuwan mencoba memaparkan latar belakang Professor
Gerry.
Gerry Van Klinken adalah
seorang professor dari Universitas Amsterdam atau University of Amsterdam di
Belanda. Beliau mengajar ilmu Sejarah dan sangat menguasai materi sejarah Asia
Tenggara, tentunya termasuk sejarah Indonesia.
Acara diskusi pun
dilanjutkan dengan pemaparan Gerry terkait buku In Search of Middle Indonesia
yang adalah hasil kerjasama Indonesia dengan Belanda. Kebanyakkan penulis dalam
karya tersebut adalah para antropolog yang memaparkan aspek-aspek dalam
kehidupan kelas menengah di kota menengah.
“Kelas menengah ini berbeda
dari kelas menengah lainnya. Mereka ini shopping mahal-mahal. Mereka ini juga
kelas menengah bagian bawah yang baru keluar dari kemiskinan. Merekalah yang
menjalankan otonomi daerah di Provinsi,” jelas Gerry.
Kelas menengah disebut
oleh Gerry adalah embrio dari tuntutan terhadap proteksi pasar global. Dia pun
mengambil sample dari Kota Kupang, salah satu kota menengah di Indonesia yang
berada di luar Pulau Jawa dengan karakteristik yang unik. Gerry mencoba
memaparkan kelas menengah di Kupang dari salah satu karyanya.
“Pendekatan saya agak
berbeda dengan pendekatan sejarah yang biasa dikerjakan dengan mencari tokoh
teladan atau figur, misalnya pahlawan daerah setempat, tetapi di Kupang berbeda
karena saya terpaksa menulis dengan narasumber off the record,” kenang Gerry.
Pria berkacamata ini
mengatakan Otonomi Daerah adalah salah satu bentuk dimana sebuah kota menjadi
area pergumulan kekuatan yang menang dan kalah. Gerry pun menceritakan
penemuannya di Kota Kupang tentang pergumulan antar golongan berusaha merebut
kedudukan sebagai pemenang.
“Tidak pernah ada sumber
sejarah tentang Kupang. Setelah terjun ada banyak buku yang dibuat orang lokal,
ini adalah bentuk pertarungan sosial, pergumulan politik,” ungkapnya.
Gerry pun menceritakan
sejumlah tokoh di Kupang pada masa colonial hingga memasuki Orde Baru. Tokoh
pemenang ataupu yang kalah dan menjadi
pembahasan Gerry antara lain; I H Doko salah satu Pahlawan Nasional asal
Kupang, Maj-Gen El Tari Gubernur NTT 1966-1978, Alfons Nisnoni (1907-1987) raja
terakhir di Kupang, dan Michael Marcus (Komunis).
Gerry pun menyimpulkan
atas pertarungan keempat tokoh ini akhirnya Kota Kupang terbentuk sebagai
sebuah kota menengah dengan berbagai elemen di dalamnya. Menurut Gerry,
pertarungan antar golongan secara politis ini menciptakan kelas menengah di
Kupang. Golongan kelas menengah tersebut adalah anak-anak petani dan bukan
anak-anak raja.
Kelas menengah ini
mengalami mobilitas sosial yang luar biasa dengan harga yang dibayar cukup
mahal, berupa revolusi. Sayangnya, tanpa revolusi mereka memang tidak
memperoleh harga diri dan prestasi. Padahal, nasib mereka sesungguhnya masih
tergantung loyalitas terhadap penguasa dua dari luar yakni Orang Belanda dan
Jepang atau Nippon.
Ketika masuk sesi
tanya-jawab, pertanyaan pertama datang dari Dane, jurnalis Harian Kompas yang
menanyakan bagaimana nasib masa depan Indonesia dengan kebiasaan kompromis
terhadap moral? Secara sosial apakah akan ada perubahan ke arah positif?
Bagaimana jika perubahan yang terjadi justru negatif?
Pertanyaan selanjutnya
datang dari Margaretha, dari perwakilan LSM seni dan budaya. Margaretha atau
yang akrab disapa Retha itu mencoba menanyakan metode pembentukan kelas
menengah. Pasalnya, saat melakukan riset di Rote, Nusa Tenggara Timur, Retha
melihat banyak anak-anak petani yang pasca menjalani pendidikan tinggi tidak
kembali ke desa untuk bertani. Mereka merasa jijik dengan pekerjan bertani. Tak
selesai sampai di situ, Retha masih membubuhkan pertanyaan tentang kaitan kelas
menengah di Kupang atau pada daerah di NTT dengan politik Gereja. Dia juga
masih ingin melihat apakah ada resistensi dari golongan kelas menengah.
Pertanyaan ketiga datang
dari Dida Darul Ulum, perwakilan dari Megawati Institute. Dida menyatakan
kebingungannya pada penulisan kelas menengah. Menurut Dida, apa fokus dari
penulisan buku tersebut, tentang penjabaran soal wawasan sejarah alternative
1965.
Merespon para penanya pada
termin pertama, Gerry mengaku dalam perumusan buku, timnya memang menggabungkan
kelas menengah dengan lokasi. Dengan kota-kota menengah sebagai sebuah zona
sosial, menghubungkan pusat dengan daerah, atas dengan bawah, negara dengan
masyarakat, pasar global dengan ekonomi lokal, zona sosial yang besar. Konsep
kelas pertama dirumuskan oleh Karl Marx dan dikaitkan dengan kepentingan
material tidak saling kenal, bertindak berperilaku politik, pemilik modal besar
di awal abada 19 berpolitik secara lokal.
“Kesenjangan yang
diciptakan kapitalisme itu menghasilkan politik. Kalau untuk kasus ini, memang
kelas menengah adalah sesuatu yang ambigu. Hanya bawah dan atas, jadi memang
sehingga ini menjadi sedikit persoalan materialnya agak ambigu kelas menengah
dengan modal tertentu. Dia sendiri juga bekerja secara fisik dia tetap memiliki
punya kepentingan,” terang Gerry.
Kelas menengah menurut
Gerry memang diciptakan oleh negara, adalah bahwa kapital tidak akan dibiarkan
merajalela dan akan diarahkan dan dikontrol dan hasilnya melalui nasionalisasi
kepada rakyat kepada lapisan kelas menengah.
“Karena kita butuh
dukungan politik dari kota provinsi. Negara menciptakan lapisan kelas sosial,
jadi kalau mau masuk kelas menengah harus masuk PNS dan dagang. Selama ini
semua mau masuk ke PNS, pada masa Orde Baru,” tuturnya.
Tak hanya itu, perumusan
kelas menengah yang dilakukan Gerry dan kawan-kawannya memang tidak mengacu ADB
tetapi dari pola perilaku sosial dan politik. Mereka (kelas menengah) mendukung
Orde Baru. Pola perilaku politik yang bermunculan, termasuk politik Gereja,
politik agama sangat menarik karena komunal sesuai kebiasan kelas menengah
atas.
Agama adalah semacam self
help, bantuan psikologis atau hanya bisa hidup bahagia, berdekatan dengan
patron, rektornya harus dari agama ini. Dekat dengan agama berarti mudah
mendapat akses, kalau terkenal dengan orang yang susah beragama juga sulit
akses apalagi pejabat.
Pada termin kedua, salah
seorang anggota Agenda 18, Christina Dwi Susanti atau yang akrab disapa Wiwiek
menyampaikan pertanyaannya tentang kekerasan yang terjadi antar kelas menengah
atau kaitannya dengan pertarungan politik lokal dan politik nasional.
“Kelas menengah ini
seberapa jauh berapa persen menguasai populasi Indonesia? Menurut defisini Prof
Gerry. Kelas menengah dengan politik dan kekuasaan dan agama dalam arti
identitas. Lalu bagaimana mereka berubah jika mereka memberikan kontribusi bagi
demokratisasi?” tanya Dani salah seorang peserta diskusi.
Usai Dani bertanya, salah
seorang peserta bernama Farida mencoba sharing tentang upayanya menjaring kelas
menengah untuk menggalang aksi solidaritas membangun perpustakaan ke berbagai
daerah.
Gerry menerangkan, pada
2009 menginjak 43% bertumbuh dengan begitu cepat, tidak serta merta bertindak
secara politis, tetapi mereka tidak tertarik dengan pasar terbuka. Perilaku
kelas menengah adalah mempertahankan demokrasi, pro globalisasi, setiap kampung
ingin menjadi kabupaten dengan uangnya sendiri.
“Ini dilihat sebagai
kenyataan sosial baru suka atau tidak suka mereka ada. Sebuah kelas bukan
benda, kelas menengah adalah konsep. Beda dengan sebuah meja disepakati, sebuah
kelas kami rampungkan sendiri “Kok Orde
Baru bisa bertahan lama?” apakah mereka bisa menembak 157 juta orang. Pasti
ada di luar elemen itu yang mendukung 10% LP3ES untuk bukan bertahan dengan
Orde Baru,” jelasnya.
“Dimana dulu masa diluar
elit nasional disebut masa mengambang, sekarang tidak mengambang lagi, tetapi
dia sudah aktif, berenang, mulai bersosial menengah. Kelas menengah suka
demokrasi tetapi membajak demokrasi itu sendiri. Karena membuat demokrasi
dengan catatan kaki. Kelas menengah butuh uang untuk berpolitik."
Menurut Gerry, optimisme
ketika republik lahir membuat masyarakat dan para pemimpin ingin ingin
membangun sesuatu yang lebih besar. Hal itu juga yang mendorong pertumbuhan
kelas menengah tetap pesat meski Indonesia sudah melalui fase revolusi.
“Saya suka Hannah Arendt,
kekuasaan bertumbuh disaat mereka berkumpul bersama. Kekuasaan yang
berkelanjutan adalah kekuasaan yang dipertahankan bersama,” tutur Gerry.
0 komentar:
Post a Comment