Sunday, April 14, 2013

Srikandi dalam Sejarah Indonesia

oleh Gloria Fransisca
 
Jika rata-rata perempuan sampai sekarang ditempatkan sebagai mahkluk nomor dua akibat pasal-pasal konstruksi budaya patriarki, apakah keadilan sosial sudah terimplementasi dengan semestinya?

Perjuangan akan kemerdekaan dan kesetaraan hak antara perempuan dan lelaki semakin tergerus dengan globalisasi yang menciptakan pragmatisasi konsep kesamaan hak dan gender. Pergerakan perempuan di Indonesia, hingga menciptakan sosok-sosok perempuan pemimpin sudah ada sejak zaman dahulu. Terlepas dari pemahaman akan konsep feminisme, para perempuan di zaman pergerakan melawan penjajah, sesungguhnya berperan penting sebagai penunjang keberhasilan para pejuang.

Perempuan di masa peperangan, berperan kecil di dalam sejarah. Tidak banyak diungkit keterlibatan perempuan pada masa-masa memperjuangkan kemerdekaan. Satu diantara perempuan yang beruntung adalah R.A. Kartini. Berawal dari kegelisahan batiniah yang menggelutinya, Kartini menuangkan pikiran-pikiran dan harapannya ke dalam sebuah buku yang dikenal di masa depan dengan, Habis Gelap Terbitlah Terang.

Apabila kita merunut dari sejarah Indonesia, perempuan banyak bereksperimen dalam memperjuangkan kemerdekaan. Ketelatenan dan kelembutan perempuan mampu menyuguhkan kedamaian, kesembuhan, dan kekuatan baru bagi pejuang yang tengah sakit. Tak hanya itu, kasih sayang perempuan mendorong perempuan terus merawat dan mendidik anak-anak baru yang menjadi penerus pergerakan kemerdekaan Indonesia. Mungkin nampak terlalu kecil dan sepele keterlibatan perempuan kala itu, tetapi bukankah dari hal kecil memunculkan hal-hal yang besar?


Ketika memasuki era awal kemerdekaan Indonesia dan perang mempertahankan kemerdekaan dari Agresi Militer Belanda, sebagian cendekiawan-cendekiawan Indonesia telah terbius pemahaman tentang kesetaraan hak antara pria dan perempuan. Perjuangan yang tercatat dalam sepanjang sejarah di belahan dunia lain kerap menjadi penyebab perempuan-perempuan Indonesia turut meluruskan paham yang sama.

Konsep kemerdekaan, adalah konsep yang tidak lahir dari nilai asli bangsa Indonesia. Nilai-nilai kemerdekaan ditularkan dari bangsa barat kepada para cendekiawan Indonesia yang berburu ilmu di tanah mereka. Tak heran konsep kemerdekaan menyelipkan konsep kesetaraan hak, yang dikenal di luar negeri, khususnya secara ekstrem sebagai Feminisme. Keberhasilan gerakan kaum feminis dari Eropa yang dipelopori oleh Lady Mary Wortley Montagu dan Marquis de Condorcet pada tahun 1785 di selatan Belanda. Pada abad 19 dan awal abad 20 keberhasilan gerakan feminisme mulai diterima masyarakat luas dengan gerakan yang mereka sebut Universal Sisterhood.

Keberadaan pemimpin-pemimpin perempuan di luar negeri, seperti Ratu Belanda dan Ratu Inggris menyeret pemikiran perempuan-perempuan Indonesia akan kemampuan mereka menjadi sosok pemimpin yang tangguh. Tidak hanya pemimpin, perempuan Indonesia mulai terpikirkan sebagai sosok pemegang kendali dalam pengambilan keputusan, bukan pelaku atas keputusan yang diresmikan tanpa mempertimbangkan suara mereka.

Satu demi satu perempuan mulai memasuki kancah politik. Banyak pula diantara mereka, di era 60-an mulai merambah di media massa, sebagai wartawan, penulis, seniman, dan terlibat dalam organisasi-organisasi khusus memperjuangkan kesamaan hak antara pria dan wanita. Perempuan tidak lagi hanya memegang kekuasaan sebagai wakil kepala rumah tangga dan mengasuh anak. Perempuan punya kemampuan mendorong era perubahan yang lebih revolusioner.

Konsep perempuan yang revolusioner ini juga ditemukan dalam buku Ibunda atau Mother, karya Maxim Gorky. Sebuah buku yang ditulis oleh sastrawan Realisme Sosialis. Buku Mother atau Ibunda yang diterjemahkan oleh Pramoedya Ananta Toer ini cukup konvensional. Ibunda atau Mother, menceritakan tentang seorang perempuan setengah baya, di zaman kapitalisme yang tengah mewabah di Rusia dan menjadi pemimpin atas pergerakan buruh. Buku ini merefleksikan secara langsung kepada pembaca tentang penemuan jati diri baru seorang perempuan yang tak memiliki jalan untuk hidup akibat penindasan kaum buruh. Buku ini tak semata-mata menggambarkan kontribusi perempuan dalam sebuah pergerakan, tetapi juga sosok perempuan sebagai seorang Ibu.

Pada suatu saat hati Pelagia terketuk oleh perjuangan anaknya dalam menyejahterakan hak buruh, hingga tertangkap dan masuk penjara. Sosok ibu menjadi andalan sang anak dalam melanjutkan perjuangan. Ibunda melakukan pergerakan bawah tanah, doktrinisasi secara halus melalui lembaran-lembaran yang diselipkannya dalam kantong-kantong belanjaan para perempuan. Sungguh perjuangan panjang yang penuh resiko. Kisah Ibunda karya Maxim Gorky ini membuat sastrawan Pramoedya Ananta Toer begitu jatuh cinta dan mengagumi Gorky. Pramoedya menjadikan karya ini sebagai salah satu karya maestro yang mengisahkan dengan detail yang problematis sosok perempuan dengan jiwa kepemimpinan yang terpendam dan tanggung jawabnya kepada sang anak juga kaumnya yang tertindas.

Organisasi dan pemahaman akan kesamaan gender dan semangat perempuan untuk memimpin semakin meningkat di era Orde Lama. Salah satu srikandi yang berperan besar dalam masa pemerintahan Soekarno adalah, S.K Trimurti, atau Soerasti Karma Trimurti, istri dari Sayuti Melik. S.K Trimurti, seorang Menteri Buruh pada masa jabatan Amir Sjarifudin sebagai Perdana Menteri.

S.K Trimurti awalnya mendedikasikan hidupnya dengan bekerja sebagai guru. Melalui pendidikan, S.K. Trimurti menaruh cita-cita yang besar kepada penerus bangsa. Akhirnya, S.K. Trimurti pun bergabung sebagai kader Partindo. Perempuan ini pernah dipenjara tahun 1936, di penjara perempuan yakni di Bulu, Semarang. Penahanan S.K. Trimurti oleh Belanda akibat menyebarkan pamflet-pamflek anti-penjajah. Setelah bebas dari masa tahanan di penjara, S.K. Trimurti menjadi wartawati dan menulis di majalah Pikiran Rakyat, Pesat, Bedug, dan Genderang dengan nama samaran. Tujuan penggunaan nama samaran, yakni Karma atau Trimurti bertujuan untuk menjaga keselamatan dirinya sendiri dari ancaman hukuman dan siksaan dari pemerintah Belanda yang merasa dipojokkan.

S.K. Trimurti, sosok pemimpin wanita di Indonesia yang aktif dan begitu elegan berkecimpung di dunia politik dan memperjuangkan nasib buruh, semakin banyak pula kepercayaan yang dilimpahkan kepadanya. Setelah menjadi menteri buruh, S.K. Trimurti diangkat menjadi anggota Dewan Nasional RI. Ia pun menjadi perwakilan Indonesia untuk mempelajari Worker's Management dan ke negara-negara sosialis lainnya di Eropa untuk mengadakan studi perbandingan mengenai sistem ekonomi. Berkat dedikasinya kepada dunia perburuhan, SK Trimurti diangkat sebagai anggota dewan pimpinan Yayasan Tenaga Kerja Indonesia (YTKI). Atas jasanya dalam masa perintisan kemerdekaan, Presiden RI, Soekarno menganugerahkan Bintang Mahaputra Tingkat V kepadanya.

Daftar sejarah kepemimpinan wanita di Indonesia selanjutnya seolah dimandulkan oleh pemerintahan baru. Semenjak era kepemimpinan Soeharto, yang akrab sebagai Orde Baru terjadi penghancuran atas gerakan perempuan. Di lain pihak, ada pula keambiguan, apakah pergerakan organisasi perempuan rusak akibat perbedaan paham antara perempuan di perkotaan dan perempuan di pedesaan? Perbedaan-perbedaan situasional ini menyebabkan bentroknya atau tidak menyatu-nya berbagai kepentingan dan kebutuhan perempuan dari berbagai elemen masyarakat menjadi satu suara.

Orde Baru memberikan ruang yang berlebih untuk pengeksploitasi-an media massa terhadap manusia. Tak heran, di mulai dari era Orde Baru inilah paham feminisme dan kesadaran pergerakan perempuan kian menurun. Perempuan diberikan kemegahan berlebih dan melupakan kontekstual sikap mereka yang sebelumnya dan seharusnya. Para srikandi diubah menjadi boneka-boneka kecil, barbie-barbie cantik untuk aset media massa. Tak heran, paham feminisme kian terkikis dan menjelma ulang menjadi postfeminisme. Kepemimpinan perempuan kembali memasuki tahap ketidaklayakan. Sayangnya, perempuan mulai tergiur dengan apa yang dilimpahkan oleh media, sehingga semangat dalam menjadi pemimpin kian tergerus.

Era reformasi, sebuah kejatuhan Orde Baru, menjadi secercah harapan baru akan keterbukaan dan kebebasan dalam berpendapat dan bersuara. Reformasi telah merobek dan menunjukkan borok-borok pemerintah dalam membodoh-bodohi masyarakat. Media massa bergolak, dan melepaskan jeruji besi yang menghimpit kebebasannya dalam bertindak atas nama publik.

Inilah tahap baru lagi membangkitkan paham-paham feminisme dan semangat perjuangan perempuan menjadi pemimpin atas bangsa dan anak-anaknya. Organisasi dan gerakan perlindungan perempuan kembali hidup. Pemerintah memberikan Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak.

Salah satu keberhasilan kaum feminis di era demokrasi (khususnya di Indonesia setelah reformasi) memasukan filosofinya ialah dengan ditandai banyaknya konvensi internasional khususnya di bidang HAM yang memasukkan isu persamaan hak antara kaum wanita dengan pria serta menolak diskriminasi gender. Dari hal tersebut mau tidak mau suatu negara agar dikatakan sebagai negara yang beradab dan menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan harus ikut meratifikasi berbagai konvensi internasional. Sehingga suatu negara tidak terkecuali Indonesia menyesuaikan Hukum Nasionalnya dengan memasukkan isu perlindungan HAM itu salah satunya tentang non diskriminasi gender.

Dalam Undang-undang No 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia istilah Diskriminasi yaitu setiap pembatasan, pelecehan, atau pengucilan yang langsung ataupun tak langsung didasarkan pada pembedaan manusia atas dasar agama, suku, ras, etnik, kelompok, golongan, status sosial, status ekonomi, jenis kelamin, bahasa, keyakinan politik, yang berakibat pengurangan, penyimpangan atau penghapusan pengakuan, pelaksanaan atau penggunaan hak asasi manusia dan kebebasan dasar dalam kehidupan baik individu maupun kolektif dalam bidang politik, ekonomi, hukum, sosial, budaya, dan aspek kehidupan lainnya. Masih dalam UU yang sama diatur mengenai Hak turut serta dalam pemerintahan dan menjamin keterwakilan wanita dalam lembaga legislatif,eksekutif dan yudikatif.

Dalam Amandemen UUD Pasal 28D ditegaskan bahwa setiap orang berhak untuk mendapatkan persamaan kedudukan dalam hukum, pekerjaan dan memperoleh kesempatan yang sama dalam pemerintahan. Dengan demikian semakin jelas posisi dan kedudukan wanita dilindungi oleh hukum positif Indonesia. Hal inilah yang menjadi salah satu alasan banyak munculnya tokoh-tokoh wanita yang menjabat peranan signifikan dalam suatu perusahaan hingga pemerintahan.

Di lain pihak, kemunculan pergerakan dan keberanian perempuan sebagai pemimpin adalah karena selama dipimpin oleh pria seringkali timbul sebuah kekecewaan karena tidak terakomodasinya kepentingan kaum perempuan. Padahal jika ditinjau dari komposisi perbandingan penduduk dunia kaum wanita lebih banyak dibandingkan pria. Sehingga keterwakilan wanita dalam masalah-masalah penting kerap kali dinomorduakan.

Faktor ini yang menyebabkan kekhawatiran kaum perempuan bila tidak menempatkan wakilnya dalam masalah kepemimpinan di sektor mana pun di negeri ini. Perubahan paradigma perempuan yang menghendaki kemandirian pun cukup berpengaruh dalam memunculkan pemimpin dari kalangan wanita. Hal ini selaras dengan tingginya tingkat pendidikan kaum wanita. Semakin tinggi tingkat pendidikan maka semakin kritis cara berpikirnya.

Saat ini kepemimpinan yang dipegang oleh wanita sudah dapat diterima oleh masyarakat Indonesia terlebih sejak terpilihnya Megawati sebagai Presiden Wanita pertama di Republik ini. Sayangnya, Megawati bukanlah pemimpin resmi yang terpilih akibat kemenangan atas suara rakyat. Megawati hanyalah pengganti Abdurahman Wahid bergolaknya kasus Bulog yang menurunkan Gus Dur dari singgasananya.

Pertanyaannya, apakah segenap elemen masyarakat Indonesia sudah memahami prinsip persamaan gender, mengusung persamaan HAM? Mengapa sampai sekarang belum ada pemimpin Indonesia yang resmi menjabat berkat suara rakyat? Akankah Indonesia masih terkungkung dalam budaya patriarkis dan keberpihakan pola pikir masyarakat mayoritas yang mengaitkan kepemimpinan Perempuan dari segi Agama? Untungnya, sejauh ini kepemimpinan wanita (selain diposisi orang nomor satu Indonesia) sesungguhnya sudah menjadi tren dan pembuktian akan ketelatenan perempuan dalam mengurus banyak hal. Ibarat kata, wanita punya banyak tangan, mengurus keluarga, serta tangan yang mampu mewarnai nuansa kompetisi kepemimpinan yang sebelumnya didominasi oleh kaum pria.


Penulis adalah mahasiswi Jurnalistik Universitas Multimedia Nusantara
Agenda 18 Angkatan 5

0 komentar:

Copyright © 2025 agenda 18 All Right Reserved
Media Free Blogger Templates | Design modified by eddy sukmana @ Open w3