Srikandi dalam Sejarah Indonesia
oleh Gloria FransiscaJika rata-rata perempuan sampai sekarang ditempatkan sebagai mahkluk nomor dua akibat pasal-pasal konstruksi budaya patriarki, apakah keadilan sosial sudah terimplementasi dengan semestinya?
Perjuangan
akan kemerdekaan dan kesetaraan hak antara perempuan dan lelaki semakin
tergerus dengan globalisasi yang menciptakan pragmatisasi konsep kesamaan hak
dan gender. Pergerakan perempuan di Indonesia, hingga menciptakan sosok-sosok
perempuan pemimpin sudah ada sejak zaman dahulu. Terlepas dari pemahaman akan
konsep feminisme, para perempuan di zaman pergerakan melawan penjajah, sesungguhnya
berperan penting sebagai penunjang keberhasilan para pejuang.
Perempuan
di masa peperangan, berperan kecil di dalam sejarah. Tidak banyak diungkit
keterlibatan perempuan pada masa-masa memperjuangkan kemerdekaan. Satu diantara
perempuan yang beruntung adalah R.A. Kartini. Berawal dari kegelisahan batiniah
yang menggelutinya, Kartini menuangkan pikiran-pikiran dan harapannya ke dalam
sebuah buku yang dikenal di masa depan dengan, Habis Gelap Terbitlah Terang.
Apabila
kita merunut dari sejarah Indonesia, perempuan banyak bereksperimen dalam
memperjuangkan kemerdekaan. Ketelatenan dan kelembutan perempuan mampu
menyuguhkan kedamaian, kesembuhan, dan kekuatan baru bagi pejuang yang tengah
sakit. Tak hanya itu, kasih sayang perempuan mendorong perempuan terus merawat
dan mendidik anak-anak baru yang menjadi penerus pergerakan kemerdekaan
Indonesia. Mungkin nampak terlalu kecil dan sepele keterlibatan perempuan kala
itu, tetapi bukankah dari hal kecil memunculkan hal-hal yang besar?
Ketika
memasuki era awal kemerdekaan Indonesia dan perang mempertahankan kemerdekaan
dari Agresi Militer Belanda, sebagian cendekiawan-cendekiawan Indonesia telah
terbius pemahaman tentang kesetaraan hak antara pria dan perempuan. Perjuangan yang
tercatat dalam sepanjang sejarah di belahan dunia lain kerap menjadi penyebab perempuan-perempuan
Indonesia turut meluruskan paham yang sama.
Konsep
kemerdekaan, adalah konsep yang tidak lahir dari nilai asli bangsa Indonesia.
Nilai-nilai kemerdekaan ditularkan dari bangsa barat kepada para cendekiawan
Indonesia yang berburu ilmu di tanah mereka. Tak heran konsep kemerdekaan
menyelipkan konsep kesetaraan hak, yang dikenal di luar negeri, khususnya
secara ekstrem sebagai Feminisme. Keberhasilan gerakan kaum feminis dari Eropa
yang dipelopori oleh Lady Mary Wortley
Montagu dan Marquis de Condorcet pada tahun 1785 di selatan Belanda. Pada abad
19 dan awal abad 20 keberhasilan gerakan feminisme mulai diterima masyarakat
luas dengan gerakan yang mereka sebut Universal
Sisterhood.
Keberadaan
pemimpin-pemimpin perempuan di luar negeri, seperti Ratu Belanda dan Ratu
Inggris menyeret pemikiran perempuan-perempuan Indonesia akan kemampuan mereka
menjadi sosok pemimpin yang tangguh. Tidak hanya pemimpin, perempuan Indonesia
mulai terpikirkan sebagai sosok pemegang kendali dalam pengambilan keputusan,
bukan pelaku atas keputusan yang diresmikan tanpa mempertimbangkan suara
mereka.
Satu
demi satu perempuan mulai memasuki kancah politik. Banyak pula diantara mereka,
di era 60-an mulai merambah di media massa, sebagai wartawan, penulis, seniman,
dan terlibat dalam organisasi-organisasi khusus memperjuangkan kesamaan hak
antara pria dan wanita. Perempuan tidak lagi hanya memegang kekuasaan sebagai
wakil kepala rumah tangga dan mengasuh anak. Perempuan punya kemampuan
mendorong era perubahan yang lebih revolusioner.
Konsep
perempuan yang revolusioner ini juga ditemukan dalam buku Ibunda atau Mother, karya Maxim Gorky. Sebuah buku
yang ditulis oleh sastrawan Realisme Sosialis. Buku Mother atau Ibunda yang
diterjemahkan oleh Pramoedya Ananta Toer ini cukup konvensional. Ibunda atau Mother, menceritakan tentang seorang
perempuan setengah baya, di zaman kapitalisme yang tengah mewabah di Rusia dan
menjadi pemimpin atas pergerakan buruh. Buku ini merefleksikan secara langsung
kepada pembaca tentang penemuan jati diri baru seorang perempuan yang tak
memiliki jalan untuk hidup akibat penindasan kaum buruh. Buku ini tak
semata-mata menggambarkan kontribusi perempuan dalam sebuah pergerakan, tetapi
juga sosok perempuan sebagai seorang Ibu.
Pada
suatu saat hati Pelagia terketuk oleh perjuangan anaknya dalam menyejahterakan
hak buruh, hingga tertangkap dan masuk penjara. Sosok ibu menjadi andalan sang
anak dalam melanjutkan perjuangan. Ibunda melakukan pergerakan bawah tanah,
doktrinisasi secara halus melalui lembaran-lembaran yang diselipkannya dalam
kantong-kantong belanjaan para perempuan. Sungguh perjuangan panjang yang penuh
resiko. Kisah Ibunda karya Maxim Gorky ini membuat sastrawan Pramoedya Ananta
Toer begitu jatuh cinta dan mengagumi Gorky. Pramoedya menjadikan karya ini
sebagai salah satu karya maestro yang mengisahkan dengan detail yang
problematis sosok perempuan dengan jiwa kepemimpinan yang terpendam dan
tanggung jawabnya kepada sang anak juga kaumnya yang tertindas.
Organisasi
dan pemahaman akan kesamaan gender dan semangat perempuan untuk memimpin
semakin meningkat di era Orde Lama. Salah satu srikandi yang berperan besar
dalam masa pemerintahan Soekarno adalah, S.K Trimurti, atau Soerasti Karma
Trimurti, istri dari Sayuti Melik. S.K Trimurti, seorang Menteri Buruh pada
masa jabatan Amir Sjarifudin sebagai Perdana Menteri.
S.K
Trimurti awalnya mendedikasikan hidupnya dengan bekerja sebagai guru. Melalui
pendidikan, S.K. Trimurti menaruh cita-cita yang besar kepada penerus bangsa.
Akhirnya, S.K. Trimurti pun bergabung sebagai kader Partindo. Perempuan ini
pernah dipenjara tahun 1936, di penjara perempuan yakni di Bulu, Semarang.
Penahanan S.K. Trimurti oleh Belanda akibat menyebarkan pamflet-pamflek
anti-penjajah. Setelah bebas dari masa tahanan di penjara, S.K. Trimurti
menjadi wartawati dan menulis di majalah Pikiran
Rakyat, Pesat, Bedug, dan Genderang
dengan nama samaran. Tujuan penggunaan nama samaran, yakni Karma atau Trimurti
bertujuan untuk menjaga keselamatan dirinya sendiri dari ancaman hukuman dan
siksaan dari pemerintah Belanda yang merasa dipojokkan.
S.K.
Trimurti, sosok pemimpin wanita di Indonesia yang aktif dan begitu elegan
berkecimpung di dunia politik dan memperjuangkan nasib buruh, semakin banyak
pula kepercayaan yang dilimpahkan kepadanya. Setelah menjadi menteri buruh,
S.K. Trimurti diangkat menjadi anggota Dewan Nasional RI. Ia pun menjadi
perwakilan Indonesia untuk mempelajari Worker's
Management dan ke negara-negara sosialis lainnya di Eropa untuk mengadakan
studi perbandingan mengenai sistem ekonomi. Berkat dedikasinya kepada dunia
perburuhan, SK Trimurti diangkat sebagai anggota dewan pimpinan Yayasan Tenaga
Kerja Indonesia (YTKI). Atas jasanya dalam masa perintisan kemerdekaan,
Presiden RI, Soekarno menganugerahkan Bintang Mahaputra Tingkat V kepadanya.
Daftar
sejarah kepemimpinan wanita di Indonesia selanjutnya seolah dimandulkan oleh
pemerintahan baru. Semenjak era kepemimpinan Soeharto, yang akrab sebagai Orde
Baru terjadi penghancuran atas gerakan perempuan. Di lain pihak, ada pula
keambiguan, apakah pergerakan organisasi perempuan rusak akibat perbedaan paham
antara perempuan di perkotaan dan perempuan di pedesaan? Perbedaan-perbedaan
situasional ini menyebabkan bentroknya atau tidak menyatu-nya berbagai
kepentingan dan kebutuhan perempuan dari berbagai elemen masyarakat menjadi
satu suara.
Orde
Baru memberikan ruang yang berlebih untuk pengeksploitasi-an media massa
terhadap manusia. Tak heran, di mulai dari era Orde Baru inilah paham feminisme
dan kesadaran pergerakan perempuan kian menurun. Perempuan diberikan kemegahan
berlebih dan melupakan kontekstual sikap mereka yang sebelumnya dan seharusnya.
Para srikandi diubah menjadi boneka-boneka kecil, barbie-barbie cantik untuk aset media massa. Tak heran, paham
feminisme kian terkikis dan menjelma ulang menjadi postfeminisme. Kepemimpinan
perempuan kembali memasuki tahap ketidaklayakan. Sayangnya, perempuan mulai
tergiur dengan apa yang dilimpahkan oleh media, sehingga semangat dalam menjadi
pemimpin kian tergerus.
Era
reformasi, sebuah kejatuhan Orde Baru, menjadi secercah harapan baru akan
keterbukaan dan kebebasan dalam berpendapat dan bersuara. Reformasi telah
merobek dan menunjukkan borok-borok pemerintah dalam membodoh-bodohi
masyarakat. Media massa bergolak, dan melepaskan jeruji besi yang menghimpit
kebebasannya dalam bertindak atas nama publik.
Inilah
tahap baru lagi membangkitkan paham-paham feminisme dan semangat perjuangan
perempuan menjadi pemimpin atas bangsa dan anak-anaknya. Organisasi dan gerakan
perlindungan perempuan kembali hidup. Pemerintah memberikan Menteri Pemberdayaan
Perempuan dan Perlindungan Anak.
Salah
satu keberhasilan kaum feminis di era demokrasi (khususnya di Indonesia setelah
reformasi) memasukan filosofinya ialah dengan ditandai banyaknya konvensi
internasional khususnya di bidang HAM yang memasukkan isu persamaan hak antara
kaum wanita dengan pria serta menolak diskriminasi gender. Dari hal tersebut
mau tidak mau suatu negara agar dikatakan sebagai negara yang beradab dan
menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan harus ikut meratifikasi berbagai
konvensi internasional. Sehingga suatu negara tidak terkecuali Indonesia
menyesuaikan Hukum Nasionalnya dengan memasukkan isu perlindungan HAM itu salah
satunya tentang non diskriminasi gender.
Dalam
Undang-undang No 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia istilah Diskriminasi yaitu setiap pembatasan, pelecehan, atau
pengucilan yang langsung ataupun tak langsung didasarkan pada pembedaan manusia
atas dasar agama, suku, ras, etnik, kelompok, golongan, status sosial, status
ekonomi, jenis kelamin, bahasa, keyakinan politik, yang berakibat pengurangan,
penyimpangan atau penghapusan pengakuan, pelaksanaan atau penggunaan hak asasi
manusia dan kebebasan dasar dalam kehidupan baik individu maupun kolektif dalam
bidang politik, ekonomi, hukum, sosial, budaya, dan aspek kehidupan lainnya.
Masih dalam UU yang sama diatur mengenai Hak turut serta dalam pemerintahan dan
menjamin keterwakilan wanita dalam lembaga legislatif,eksekutif dan yudikatif.
Dalam
Amandemen UUD Pasal 28D ditegaskan bahwa setiap orang berhak untuk mendapatkan
persamaan kedudukan dalam hukum, pekerjaan dan memperoleh kesempatan yang sama
dalam pemerintahan. Dengan demikian semakin jelas posisi dan kedudukan wanita
dilindungi oleh hukum positif Indonesia. Hal inilah yang menjadi salah satu
alasan banyak munculnya tokoh-tokoh wanita yang menjabat peranan signifikan
dalam suatu perusahaan hingga pemerintahan.
Di
lain pihak, kemunculan pergerakan dan keberanian perempuan sebagai pemimpin
adalah karena selama dipimpin oleh pria seringkali timbul sebuah kekecewaan
karena tidak terakomodasinya kepentingan kaum perempuan. Padahal jika ditinjau
dari komposisi perbandingan penduduk dunia kaum wanita lebih banyak
dibandingkan pria. Sehingga keterwakilan wanita dalam masalah-masalah penting kerap
kali dinomorduakan.
Faktor
ini yang menyebabkan kekhawatiran kaum perempuan bila tidak menempatkan
wakilnya dalam masalah kepemimpinan di sektor mana pun di negeri ini. Perubahan
paradigma perempuan yang menghendaki kemandirian pun cukup berpengaruh dalam memunculkan
pemimpin dari kalangan wanita. Hal ini selaras dengan tingginya tingkat
pendidikan kaum wanita. Semakin tinggi tingkat pendidikan maka semakin kritis
cara berpikirnya.
Saat
ini kepemimpinan yang dipegang oleh wanita sudah dapat diterima oleh masyarakat
Indonesia terlebih sejak terpilihnya Megawati sebagai Presiden Wanita pertama
di Republik ini. Sayangnya, Megawati bukanlah pemimpin resmi yang terpilih
akibat kemenangan atas suara rakyat. Megawati hanyalah pengganti Abdurahman
Wahid bergolaknya kasus Bulog yang menurunkan Gus Dur dari singgasananya.
Pertanyaannya,
apakah segenap elemen masyarakat Indonesia sudah memahami prinsip persamaan
gender, mengusung persamaan HAM? Mengapa sampai sekarang belum ada pemimpin
Indonesia yang resmi menjabat berkat suara rakyat? Akankah Indonesia masih terkungkung
dalam budaya patriarkis dan keberpihakan pola pikir masyarakat mayoritas yang
mengaitkan kepemimpinan Perempuan dari segi Agama? Untungnya, sejauh ini kepemimpinan
wanita (selain diposisi orang nomor satu Indonesia) sesungguhnya sudah menjadi
tren dan pembuktian akan ketelatenan perempuan dalam mengurus banyak hal.
Ibarat kata, wanita punya banyak tangan, mengurus keluarga, serta tangan yang
mampu mewarnai nuansa kompetisi kepemimpinan yang sebelumnya didominasi oleh
kaum pria.
Penulis adalah mahasiswi
Jurnalistik Universitas Multimedia Nusantara
Agenda
18 Angkatan 5
0 komentar:
Post a Comment