Oleh Gloria Fransisca Katharina
Waktu berputar dan dunia berubah. Demikianlah mekanisme waktu menuntut
manusia untuk berubah seiring perkembangan zaman. Padahal, manusia sendirilah
pembentuk sejarah dan pembangun fenomena-fenomena baru.
Dunia memang sudah berubah. Sekalipun manusia yang membuat dunia
berubah, tetapi manusia juga yang gagap respon atas perubahan. Ada yang sibuk
lari di tempat, ada yang sudah melesat lari cepat dan berada jauh di depan.
Apa contohnya? Misalkan saja, beberapa pekan lalu ketika ricuh aksi demo
transportasi muncul, ramai-ramai komentar pro dan kontra mencuat ke publik.
Secara ringkas, permasalahan transportasi online adalah permasalahan lemahnya
sensitivitas pemerintah dan pemangku kepentingan dalam menghadapi perubahan
zaman.
Ada istilah yang kini tengah populer, sharing economy, dalam merespon
masalah aplikasi transportasi online. Dalam tulisan Rhenald Kasali tersebutlah
mekanisme aplikasi sebagai crowd business: konsumen dan produsen adalah dua
tokoh yang sama. Secara sederhana, crowd business menciptakan sistem sharing
economy, ketika setiap orang sudah bisa mendistribusikan pemanfataan kekayaan
bagi orang lain. Saking ampuhnya, sharing economy ini dianggap mampu membunuh
sistem kapitalisme lama yang mencekik leher konsumen.
Konsep sharing economy ini disanggah beberapa pihak. Salah satunya dalam
tulisan opini di Koran Tempo (29/3), berjudul “Ilusi Ekonomi Berbagi Angkutan
Online” oleh Pradipa P. Rasidi. Sharing economy seharusnya melunturkan
kepemilikkan tradisional dan mengutamakan kerja sama. Dalam sharing economy,
modal bekerja bukan dalam bentuk materi. Konsep sharing economy juga dalam arti
kepercayaan akan ada kompensasi hasil kesepakatan bersama.
Kompensasi ini tidak terjadi dalam masalah aplikasi transportasi online.
Artikel Time.com berjudul “This New Sharing Economy App Really Is For
Sharing”, mengutip Harvard Business Review, yang menyebutkan sharing economy
seharusnya terjadi pertukaran secara sosial, bukan ekonomi. “Sharing is a form
of social exchange that takes place among people known to each other, without
any profit.” Oleh sebab itu aplikasi transportasi online bukan sharing economy,
karena punya target pencapaian profit untuk tetap bertahan hidup.
Ada istilah lain yang cukup eksentrik untuk menyebut fenomena aplikasi
transportasi online: Ubernomics. Muhammad Syarif Hidayatullah, peneliti
Wiratama Institute, menulis di Harian Bisnis Indonesia (23/3), menyebutkan
bagaimana aplikasi online seperti Uber menjadi kontroversi baru. Meminjam
istilah dari Acemoglu dan Robinson melalui bukunya yang berjudul “Why Nations
Fail”, Uber dilihat sebagai creative destruction dalam industri transportasi.
Uber memberikan pundi-pundi baru bagi perekonomian sehingga patut diberi label
Ubernomics.
Apa maksudnya? Aplikasi transportasi online memang mampu memberikan
keuntungan sosial-ekonomi bagi masyarakat dan menurunkan biaya pencarian. Akan
tetapi, layanan ini perlu melakukan revitalisasi jika ingin tetap eksis. Salah
satu kunci utamanya, pemerintah harus melakukan intervensi agar persaingan
pasar bisa berjalan sehat. Tujuannya agar konsumen dan produsen, ataupun
gabungan keduanya, bisa terlindungi.
Produsen aplikasi akan dibebankan sejumlah kewajiban. Bukan hanya pajak,
tetapi juga jaminan perlindungan konsumen atau asuransi. Perusahaan penyedia
jasa online harus mau ikhlas diri patuh pada regulasi agar pemerintah bisa ikut
mengambil beban untuk perlindungan konsumen.
Jika aspek-aspek penting seperti di atas tidak tersentuh, maka sia-sia
upaya untuk memperbaiki transportasi dan pelayanan kepada konsumen.
Pertanyaannya sekarang, apakah konsumen juga cukup peduli pada sejumlah
tanggung jawab penyedia jasa terkait jaminan keselamatan berbentuk asuransi,
selain hanya pada kenyamanan dan kecepatan?
Sharing economy = sharing politics
Perubahan yang begitu banyak dalam dua tahun terakhir ini jelas membawa
kegelisahan sekaligus pertanyaan. Sharing economy atau apapun istilahnya,
disebut-sebut membunuh kapitalisme tua. Sementara itu dalam bidang politik,
belakangan ini publik diramaikan dengan sejumlah relawan calon kepala daerah.
Kita ambil contoh jelang Pilkada di DKI. Ada Teman Ahok, Sahabat Adyaksa, dan
konon ada pula Sahabat Djarot.
Dari sekian banyak relawan politik ini, kita ambil contoh Teman Ahok.
Relawan ini memiliki militansi yang boleh diacungi jempol dan sangat beredar di
media massa. Bulan lalu misalnya, relawan ini berdebat kusir dengan anggota
PDIP karena bersikeras ingin mengusung Ahok melalui jalur independen, bukan
dengan jalur partai. Lalu muncullah istilah deparpolisasi.
Dalam sebuah talkshow di MetroTV antara Singgih (perwakilan Teman Ahok),
Aria Bima (PDIP), dan Ikrar Nusa Bhakti (pengamat politik LIPI), saya mencatat
jelas argumentasi bahwa Teman Ahok bukanlah instrumen politik. Pihaknya terbuka
pada dukungan dari partai tetapi menolak pencatutan status Ahok diusung oleh
partai. Ahok dan Heru, wakilnya, tetap diusung secara independen melalui
mekanisme pengumpulan kartu tanda penduduk (KTP).
Menanggapi hal itu, Aria Bima menuding Teman Ahok sebagai instumen yang
jumawa, tidak memiliki kepahaman terkait prosedur kepartaian. Konotasi
mendukung dan diusung sesungguhnya berada dalam grey area. Sementara itu, Ikrar
Nusa Bhakti memiliki pandangan lain. Dia tak menampik bahwa Teman Ahok adalah
sebuah tamparan baru bagi partai politik yang adalah pilar demokrasi. Seburuk
apapun parpol, Ikrar sendiri masih kembali kepada filosofi demokrasi: parpol
menjadi instrumen pengumpul suara rakyat.
Jika kita kembali ingat kegagapan pemerintah menanggapi masalah
transportasi online, mungkin saja partai politik juga terlalu gagap menanggapi
apatisme masyarakat. Partisipasi masyarakat dalam hal politik apalagi
regenerasi kepemimpinan memiliki angka yang cukup buruk. Transparansi keuangan
parpol yang kurang juga membuat masalah.
Parpol kita justru sibuk berebut kursi menteri saat reshuffle ketimbang
membenahi diri untuk menarik kepercayaan masyarakat. Relawan kini menjadi
entitas baru dalam dunia politik sejak rekrutmen jabatan politik melalui
mekanisme pemilihan langsung.
Sayangnya, tak banyak yang melihat adanya grey area antara relawan
dengan partai politik. Dalam tulisan berjudul “Mengatur Relawan Politik” di
Republika (29/3), R Ferdian Andi menyebutkan relawan politik juga menjadi
sumber rekrutmen baru dalam pos-pos jabatan publik.
Relawan politik ini jelas memobilisasi massa sekalipun mereka tidak
berbadan hukum setingkat organisasi massa (ormas). Lihat saja jumlah KTP yang
dikumpulkan Teman Ahok. Mobilisasi massa ini juga tak bisa dielakkan dengan
melakukan mobilisasi finansial untuk keperluan logistik kegiatan politik.
Relawan ini tak bisa dideteksi landasannya karena mereka tak memiliki anggaran
dasar seperti yang diatur dalam Undang-Undang.
Belum ada payung hukum bagi relawan politik. Sebagai entitas baru
politik, sumber pendanaan dan akuntabilitas relawan juga perlu diuji oleh
penyusun regulasi. Padahal mereka semakin hari menunjukkan aksi yang persis
dengan partai politik. Sosialisasi ke semua tempat dengan tokoh yang
diusungnya. Memasang spanduk, reklame, dan segala ornamen yang biasa dipakai
parpol. Relawan telah mengadopsi pola parpol karena melakukan kampanye,
pengumpulan suara dukungan, sekaligus mengusung calon.
Relawan bagi penulis sangat rentan dengan fanatisme kepemimpinan. Atas
dasar idola. Baik karena kinerja atau juga karena sikap. Padahal kepemimpinan
karena ketokohan begitu rapuh. Kepemimpinan yang kuat adalah sistem, bukan
ketokohan.
Jangan sampai pemerintah sudah gagap terhadap kebutuhan aplikasi, gagap
lagi terhadap kebutuhan relawan. Dunia sungguh-sungguh sudah berubah, atau
sesungguhnya dunia hanya menampakkan wajah barunya?
Ada pepatah yang mengatakan, tidak pernah ada yang baru di bawah kolong
langit. Begitu pula masalah yang terjadi di dalamnya. Jika sharing economy
tetaplah menjadi wajah penguasaan aset oleh pihak yang bermodal sekalipun ada
collaborative consumption, maka sharing politics (istilah penulis saja) juga
adalah wajah pemenangan kandidat dari kekuatan politik, bukan kekuatan relawan.
Penulis juga baru sadar harus beranjak dari kenyamanan akan ketidaktajaman
berpikir. Ketika inovasi merajalela, manusia dituntut mengikutinya. Mungkin mau
tak mau, manusia juga harus berubah ketika menghadapi wajah-wajah baru dengan
karakter yang sama. Ibarat anak sekolah, bertemu guru baru setiap naik kelas,
tetapi pembelajarannya tidak akan pernah selesai.
Berubahlah! Ingat, tak boleh gagap menghadapi crowd business, crowd
politics, crowd participation.
***
Referensi:
Hidayatullah, Muhammad Syarif. Ubernomics. Harian Bisnis Indonesia. 23
Maret 2016.
Kasali, Rhenald. Selamat Datang Sharing Economy. Kompas.com. Maret 2016.
Andi, R Ferdian. Mengatur Relawan Politik. Republika. 29 Maret 2016.
Rasidi, Pradipa P. Ilusi Ekonomi Berbagi Angkutan Online. Koran Tempo.
29 Maret 2016.
Foto dari: Bossfight.co