New Post

Rss

Tuesday, May 31, 2016
HUKUM: Antara Keadilan dan Kebebasan

HUKUM: Antara Keadilan dan Kebebasan

Oleh: Gloria Fransisca Katharina



Judul Buku                  : Hukum – Rancangan Klasik Untuk Membangun Masyarakat Merdeka
Editor                          : Frederic Bastiat
Penerbit, Tahun Terbit: Freedom Institute, 2012
Jumlah Halaman         : XIV + 86 halaman
Jenis Cover                 : Soft Cover
ISBN                           : 978-979-19466-3-6

Pengantar
“Ia telah mengubah perampasan menjadi hak demi melindungi perampasan” – Frederic Bastiat

Namanya Frederic Bastiat. Dia adalah ekonom klasik Prancis kelahiran Bayonne tahun 1801. Bastiat adalah penganut sisten ekonomi liberal yang mengutuk proteksionisme anti asing. Frederic Bastiat mendefinisikan hukum sebagai organisasi dari hak individu secara kolektif untuk membela diri secara sah. Dia meyakini bahwa manusia memiliki insting perampas, oleh sebab itu hukum yang seharusnya diterapkan pemerintah adalah menghindari perampasan, bukan memudahkan perampas melakukan aksinya. Sayangnya, Bastiat malah mengidentifikasi negara sebagai regulator yang bertindak sebagai perampas dimana negara mengeluarkan kebijakan redistribusi kekayaan, mengambil dari satu kelompok untuk diberikan kepada kelompok lain. Dia pun mengutuk sistem sosialisme sebagai medium perampasan hak dan peluang masyarakat.

Isi Buku
            Pada dasarnya, isi buku yang merupakan tulisan esai gugatan Frederic Bastiat akan proteksionisme ekonomi dan hukum-regulasi perdagangan terbilang cukup memikat. Frederic Basiat menggunakan banyak kata sifat yang nadanya menggebu-gebu sehingga mampu menyihir pembaca untuk terlibat dalam pergumulannya antara sifat hukum sebagai pemberi keadilan dan bukan memberi kebebasan.
            Frederic gemar menarik pembaca awam untuk memahami logika berpikirnya sebagai seorang pengusaha yang terbebani oleh sejumlah hukum-hukum perampasan atas hasil keringatnya guna demi dibagi kepada pihak lain. “Memaksa atau membujuk: mana jalan ke moralitas? Perampasan atau mengakui kepemilikkan: mana jalan yang menuju kesejahteraan?” Dalam menjawab pertanyaan besar filsafat ekonomi ini, Bastiat mencoba menanggapinya; pemaksaan adalah cara terburuk memperlakukan orang. Kira-kira demikianlah pernyataan dalam kalimat pembuka komentar dari Tom G Palmer.
            Guna menurunkan potensi perampasan, Frederic menyebut tujuan hukum yang tepat adalah menggunakan kekuatan koletifnya untuk menghentikan kecenderungan ke arah perampasan yang mematikan itu.
            Mengapa Bastiat begitu mengkhawatirkan perampasan? Merampas hak milik orang lain misalnya; untuk membayar gaji guru yang diminta mengajar di sekolah-sekolah gratis menurut Bastiat termasuk perampasan legal.
Di lapangan, agama, hukum justru digunakan untuk menindas. Dalam pasar kerja, hukum bisa merugikan mereka yang belum masuk; atau yang berada di dalam, namun berdiri pada kondisi marjinal. Banyak logika keliru yang dihantam oleh Bastiat, termasuk aspek-aspek hukum dalam buku ini misalnya cukai, tarif, subsidi, dan upah minimum. Buku ini hanya salah satu dari sumbangan pemikiran Bastiat. ia telah berkelahi dengan sederet kesalahkaprahan.

TANGGAPAN
Membahas soal penulisan Frederich Bastiat ini, sesungguhnya saya melihat Frederic sebagai sosok yang agak benar-benar perempuan? Fredercih terbukti mengadopsi sebagain pemikiran-pemikiran eksentrik para filsuf perekonomian misalnya.
Tulisan ini dibuat dengan sudut pandang pertama, karena Frederich adalah sang penulis esai sendiri sehingga kata yang digunakan sebagai subjek tokoh adalah aku. Pada dasarnya buku ini sangat elegan dan bagi pembaca. Pembaca akan mudah terbius dengan sisi atraktif pencerita dalam membeberkan kisah cintanya..
Adapula teori petition of candle light maker yang mana dimaksudkan untuk menolak proteksi Negara atas aktivitas ekonomi. Melalui teori ini, Bastiat menyerang industri yang selalu meminta proteksi dari Negara. Sayangnya, Bastiat kurang memberikan ruang argumentasi atas sejumlah pemikiran terkait proteksionisme pasar.



Monday, May 2, 2016
Jangan Baca Buku Ini Jika Sedang Patah Hati

Jangan Baca Buku Ini Jika Sedang Patah Hati

oleh Della Nadya



Judul Buku: Perempuan Patah Hati yang Kembali Menemukan Cinta Melalui Mimpi
Penulis: Eka Kurniawan
Editor: Ika Yuliana Kurniasih
Penerbit, Tahun terbit: Bentang, 2015
Jumlah halaman: 170 hlm
Jenis cover: Soft cover
ISBN : 978-602-291-072-5


Kumcer (kumpulan cerpen) hasil buah pemikiran Eka Kurniawan ini adalah kumcer pertama yang saya baca – tanpa memperhitungkan kumcer anak-anak maupun cerita daerah ya. Sebelumnya, saya hanya pernah beberapa kali mendengar kawan saya menyebut-nyebut nama penulis satu ini. Akhirnya saya pun memutuskan untuk menjadikan salah satu karyanya sebagai teman perjalanan saya selama pergi dan pulang dari kantor.


Buku ini terdiri dari 15 cerita pendek lepas – tidak saling berkaitan – namun, beberapa kali saya menemukan kemiripan dari kisah-kisah yang diceritakannya. Beberapa cerita mengambil latar belakang tempat di Amerika Serikat, lebih tepatnya Los Angeles, yang mungkin dikarenakan penulisnya memiliki pengalaman pribadi dengan kota LA, Amerika Serikat.
Dari kelimabelas cerita pendek Eka Kurniawan, bisa saya katakan hampir semua ceritanya berakhir dengan tragis atau menggantung. Untuk lebih menjelaskan, mungkin ada baiknya saya beri tanggapan singkat atas beberapa cerita yang berkesan bagi saya.

Gerimis yang Sederhana mengisahkan Mei dan Efendi yang akan “kopi darat” di suatu restoran cepat saji di Los Angeles. Saya suka bagaimana Eka mendeskripsikan kontradiksi antara kedua karakter dimana Mei memiliki trauma terhadap pengemis, sedangkan di sisi lain Efendi terus-terusan mendesak Mei untuk mencari pengemis yang ditemuinya di restoran. Ini adalah satu-satunya cerita yang menurut saya agak lucu karena dapat mengarahkan pembaca ke akhir yang membuat saya senyum-senyum sendiri (biarpun sedang berdesakan di dalam kereta).

Gincu Ini Merah, Sayang adalah salah satu yang paling berkesan karena menceritakan mengenai kesalahpahaman antara pasangan suami istri. Kisah ini terasa sangat nyata, bukan karena saya pernah mengalaminya sendiri, tetapi karena kejadian semacam ini (baca : kesalahpahaman) sering terjadi di kehidupan sehari-hari. Eka menceritakan tentang mantan pelacur yang menikahi salah seorang pelanggannya, namun pernikahan mereka selalu dipenuhi rasa curiga dan cemburu yang menimbulkan kesalahpahaman besar dan berakhir menyedihkan. Sesuai dengan cerita, manusia pada dasarnya memang tidak mampu menghalau pikiran negatif untuk muncul.

Perempuan Patah Hati yang Kembali Menemukan Cinta Melalui Mimpi adalah cerita mengenai wanita yang ditinggalkan oleh calon pengantinnya. Dalam kondisi patah hati ia bermimpi menemukan orang lain yang merupakan jodohnya. Ia pun memulai perjalanan demi mencari belahan jiwa yang ia temui di mimpi, namun hingga akhir cerita meskipun ia sudah sangat dekat namun takdir belum mau mempertemukan kedua sejoli itu dan membiarkan mereka merana dalam pencarian.

Penafsir Kebahagiaan dan La Cage aux Folles sama-sama menceritakan mengenai orang Indonesia yang diajak ke Amerika untuk dijadikan pelacur. Bedanya adalah, yang satu menggunakan tokoh wanita sedangkan cerita yang lain menggunakan tokoh pria homoseksual yang pada akhirnya berganti kelamin dan dioperasi plastik sehingga memiliki wajah salah satu bintang porno (menjadi wanita juga). Kedua cerita ini membuat saya berpikir, begitu banyak hal yang terjadi di luar zona nyaman yang tidak saya ketahui. Mungkin memang banyak wanita yang diajak ke luar negeri untuk menjadi pelacur, dan mereka menerimanya. Jika cerita itu benar merepresentasikan kehidupan sebenarnya, alangkah sedihnya bahwa di luar negeri wanita Indonesia justru dikenal sebagai pekerja seks.

Manusia tidak pernah puas. Pada dasarnya Membuat Senang Seekor Gajah menceritakan bahwa kita terkadang menginginkan hal yang tidak mungkin dipenuhi, selayaknya Gajak ingin masuk ke dalam kulkas untuk merasakan udara sejuk. Untuk mencapainya, kita terlalu asik menghalalkan segala cara hingga lupa apa yang benar dan yang salah seperti kedua anak kecil yang tanpa rasa bersalah telah membunuh sang gajah agar bisa dimasukkan (sebagian) ke dalam kulkas.

“Kurasa kita telah membunuh si Gajah”. Kata-katanya mengandung sejenis kesedihan.
“Benar juga,” kata si anak lelaki. “Tapi, paling tidak kita berhasil membuat sebagian tubuhnya masuk ke lemari pendingin. Itu pasti bikin si Gajah senang.”
“Ya, ia pasti senang. Paling tidak sebagian tubuhnya senang.”

Selain cerita yang saya sebutkan di atas masih ada beberapa cerita lainnya yang variatif. Beberapa cerita yang menurut saya menarik adalah:

  • cerita mengenai batu pendendam yang selalu dijadikan alat bantu dalam pembunuhan (Cerita Batu)
  • cerita mengenai wanita yang menemukan kepuasan seksual dari sensasi menahan kencing (Jangan Kencing di Sini)
  • bebek hijau yang tidak menghargai keunikan bulu yang telah berkali-kali menyelamatkannya dari berbagai bahaya (Kapten Bebek Hijau
  • cerita horror mengenai isian teka-teki silang yang menjadi kenyataan (Teka-Teki Silang).


Cerita sisanya – Tiga Kematian Marsilam, Setiap Anjing Boleh Berbahagia, Membakar Api, Pelajaran Memelihara Burung Beo, dan Pengantar Tidur Panjang – menurut saya kurang menarik dan ada juga yang, lebih tepatnya, sulit dipahami maksud ceritanya. Meski demikian, harus diakui bahwa Eka pandai mengemas kehidupan sehari-hari menjadi kisah-kisah yang readable dan dapat “dikonsumsi” oleh orang awam seperti saya.

Satu hal lagi yang saya pelajari, bahwa buku adalah pilihan yang tepat menjadi teman seperjuangan saat desak-desakan di kereta. Entah kenapa, saya merasa orang lain menjadi agak menjaga jarak dengan saya ketika saya sedang membaca (atau terkadang hanya pura-pura membaca) buku. Buat para pejuang kereta rel listrik lainnya, teknik membaca ini boleh dicoba juga loh.

Kembali ke buku, dari cerita-cerita di buku ini nampaknya Eka memang ahli dalam menciptakan akhir cerita yang tidak bahagia. Alih-alih menjadi senang, membaca buku ini justru membuat saya : berpikir, murung, dan sedih. Meski demikian, saya sebagai pembaca sangat menikmati kesedihan yang ditimbulkan sebagai “efek samping” dari buku ini. Oleh karena itu, mohon diingat bahwa buku ini sangat tidak saya sarankan bagi para calon pembaca yang sedang sedih, murung, stress, depresi, dan terutama jika sedang patah hati karena dapat menimbulkan “efek samping” yang berkelanjutan dan berbahaya.


Jejak Mata Pyongyang: Sebuah Catatan Perjalanan

Jejak Mata Pyongyang: Sebuah Catatan Perjalanan

oleh Bernadeta Niken



Judul Buku: Jejak Mata Pyongyang
Teks dan Foto: Seno Gumira Adidarma
Genre: Graphic Travelogue
Penerbit: PT. Mizan Pustaka
Tahun: 2015
ISBN: 978-979-17708-9-7

Pyongyang dikenal sebagai ibukota negara Republik Rakyat Demokratik (RRD) Korea. Secara politis bagi bangsa Korea, tidak dibenarkan atau dihindari menyebut 'Utara' dan 'Selatan', maka selanjutnya kita sebut saja RRD Korea. Berbeda dengan negara komunis lain seperti Rusia, Tiongkok, Vietnam, RRD Korea justru masih ortodoks dan tertutup dengan dunia luar. Maka menariklah bagi Seno Gumira Ajidarma (SGA) ketika mendadak ia menggantikan menjadi juri sebuah festival film di Pyongyang. Bersama 2 orang lain dari Indonesia yang filmnya ikut dalam festival Film Negara-Negara Non-Blok dan Berkembang Lainnya ke-8, SGA berangkat menuju Pyongyang. 10 tahun berlalu, SGA berpikir perjalanannya ke negeri komunis itu tidak boleh lewat begitu saja. Maka ia mengumpulkan semua dokumentasi dan ingatan akan pengalamannya di sana selama 17 hari.

Jangan mengharap sisi politis dalam kisah perjalanan SGA di buku ini, bukan pula mengenai film dari festival film yang dinilainya. Justru ia mengambil posisi sebagai seorang wartawan yang mengamati  dan menggambarkan sebuah negeri komunis ortodoks masih 'hidup' di jaman ini. Selain 1 tulisan pengantar dan 1 cerita pendek, ada 10 tulisan esai disertai foto-foto bidikan kamera manual Nikon FM2.

SGA mengisahkan perjalanannya menuju Pyongyang dari mengurus visa hingga menaiki pesawat 'gemuk' buatan Rusia tanpa pramugari di tulisan pertamanya. Lalu menikmati makanan yang disajikan tanpa menu di restoran tak bernama melainkan bernomor dan tinggal di lantai 42 sebuah hotel yang sepi. Televisi disediakan di dalam kamar, meski isinya hanya propaganda melalui film-film patriotik dan lagu-lagu mars.

Kisahnya makin seru saat SGA ditempel intel karena ia mulai gencar memotret sekeliling. Ia sering disodori pertanyaan-pertanyaan penuh selidik bahkan sering ditegur ketika sudah keterlaluan dalam memotret.

Sebuah pertanyaan tentang agama sempat dilontarkan sang intel. Ini membuat SGA terperangah karena ia datang dari sebuah negeri berketuhanan. Bangsa RRD Korea memang dikenal tak beragama, tapi  dalam pengertian SGA, Marxisme dan Leninisme berusaha dileburkan ke dalam ‘kearifan lokal’ melalui konsep Juche atau menentukan nasib sendiri dan bagaimana manusia menjadi tuan atas dirinya sendiri (Hal 21). Fungsi tuhan pun digantikan oleh sang pemimpin negara. Selain Pemimpin Besar, Kim II-Sung juga mendapat julukan Pemimpin Abadi. Seperti inilah yang didoktrinkan negara kepada rakyatnya.


Hitam Putih Pyongyang


Dalam foto-fotonya yang hitam putih, pembaca diajak membayangkan suasana di ibukota negara komunis itu. Baik lelaki maupun perempuan busana atasannya hampir selalu putih dan berlengan pendek. Sementara para pejabat berbaju putih lengan panjang dan mengenakan jas. Seperti tidak ada fashion di sana, atau terbatas sama sekali (Hal. 24). Warna busana pun tak jauh dari hitam, putih dan abu-abu. Warna semarak baru muncul ketika ada pagelaran tari kolosal. RRD Korea ingin menampilkan keberadaan artistiknya yang tinggi dalam tari kolosalnya. Meski demikian, kegiatan kesenian tetap diatur oleh negara. Anak-anak yang memiki bakat seni diasah untuk mendukung citra negara. Betapa berkuasanya negara ini terhadap kehidupan pribadi manusia.

Modernitas ala Komunis


Meski kapitalisme adalah musuh ideologi komunis, usaha untuk menjadi 'modern' bukan omong kosong bagi negara RRD Korea. Pemukian penduduk bersolek dalam wajah modern. Bakat-bakat seni digembleng untuk memamerkan pencapaian sebagai bangsa modern kepada dunia. Representasi modern pun diperlihatkan dalam berbagai kesempatan seperti pengalaman SGA di sebuah perpustakaan. Ia diminta menyebutkan sebuah buku dari Indonesia dan buku itu akan keluar sendiri dalam satu menit. Bukan menggunakan komputer untuk menunjukkan tempatnya disimpan, melainkan dari pengeras suara ke balik dinding perpustakaan. Memang belum satu menit buku dari Indonesia itu keluar, tapi yang dilihat SGA dari lubang kecil adalah para petugas yang bergegas ke sana kemari setengah berlari, mencari buku-buku yang judulnya disampaikan pengeras suara. Luar biasa!

Di lain kesempatan, SGA bersama petugas KBRI pernah menjumpai sebuah kasino di lantai dasar hotel tempatnya menginap. Ada orang berjudi, memasang taruhan dan segala macam. Seperti kemunafikan, dengan segala ideologi antikapitalismenya, negara justru mengelola permainan kapitalis seperti itu.

Di akhir perjalanan sebagai juri sebuah festival film, SGA masih sering tertegun melihat hubungan antara rakyat dengan negara. Rakyat yang terus-terusan dicekoki situasi revolusioner, bahwa mereka masih sedang berjuang demi kemakmuran dalam tekanan musuh-musuh mereka yakni imperialis Amerika Serikat dan segala anteknya. Dan betapa percayanya rakyat kepada apapun yang disampaikan negara (Hal. 112).

Memposisikan diri sebagai wartawan yang berusaha mengungkap ketertutupan, SGA tidak mau menilai negera ini. Di akhir tulisannya bahkan ia mengaku tak punya kapasitas untuk itu. SGA menyadari semuanya adalah pilihan yang diambil oleh negara RRD Korea.

Perjalanan selalu memberi kisahnya sendiri. Catatan perjalanan SGA ini mampu memberi kesan yang berbeda bagi pembacanya. Bukan tentang tempat yang harus dikunjungi ala buku traveling, tapi sebuah sisi lain kehidupan. Dibalut dengan tulisan ringan bercerita dan disertai foto-foto serta poster,


Jejak Mata Pyongyang memberi sudut pandang lain dari sebuah negara komunis.


Friday, April 22, 2016
Belajar Filsafat Bersama Perempuan Bernama Arjuna

Belajar Filsafat Bersama Perempuan Bernama Arjuna


Oleh Gloria Fransisca Katharina Lawi



Judul Buku                  : Perempuan Bernama Arjuna 1
Editor                          : Remy Silado
Penerbit, Tahun Terbit : Nuansa Cendekia, 2014
Jumlah Halaman         : 273
Jenis Cover                 : Soft Cover
ISBN                           : 978-602-8395-80-9

Pengantar
Remy Silado yang memiliki nama asli Yapi Tambayong adalah seorang seniman tulen yang menghasilkan banyak karya susastra, film, hingga lagu. Kali ini, Remy Silado menciptakan sebuah kisah dengan tokoh utama seorang perempuan bernama Arjuna. Novel setebal 273 halaman ini lantas mengajak siapapun pembaca seolah berada di dalam ruang kelas filsafat di Amsterdam.

Isi Buku
Namanya Arjuna, seorang perempuan berusia 25 tahun yang tengah mengambil kuliah master jurusan Filsafat di Amsterdam. Darahnya Jawa (dari Ibu) dan Cina (dari ayah). Arjuna bersikeras bahwa dirinya sama sekali tidak cantik. Arjuna juga bersikukuh memilih belajar filsafat ketimbang belajar psikologi. Alasannya, karena Arjuna ingin memahami pikiran Tuhan ketimbang pikiran manusia. Nama Arjuna adalah seorang ksatria Pandawa dalam kisah Mahabarata  yang memiliki paras rupawan dan berhati lemah lembut.

"Saya Arjuna, Serius, ini nama perempuan, nama saya. Muasalnya, ini kekeliruan kakek dari pihak ibu, orang Jawa asli Semarang, yang mengharapkan saya lahir sebagai anak laki, dan untuk itu kepalang di usia 7 bulan dalam rahim Ibu, dibuat upacara khusus dengan bubur merah putih bagi Arjuna disertai baca-baca Weda Mantra, pusaka pustaka warisan Sunan Kalijaga dari masa awal syiar Islam di tanah Jawa. Jadi apa boleh buat, nama Arjuna adalah anugrah yang harus saya pakai sampai mati" (hlm 5)

Saya berekspektasi ketika membaca sinopsis di belakang buku, saya akan membaca sebuah karya yang berbau feminis seperti karya-karya yang ditulis Djenar Maesa Ayu, atau Ayu Utami. Ekspektasi saya memang tak salah tetapi kurang tepat. Buku ini memang sepenuhnya adalah filsafat dalam fiksi. 
Sangat berbeda dari Dunia Sophie yang juga membedah filsafat dalam fiksi, kisah ini justru membawa pembaca mengalir dalam kelas filsafat dimana Arjuna belajar. Pertama adalah kelas Filsafat Abad Pertengahan hingga akhirnya Arjuna memutuskan pindah ke kelas Teologi Apologetik.
Di kelas inilah Arjuna mulai terlibat cinta lokasi dengan dosen Teologi Apologetiknya, Professor Jean Claude Van Damme, seorang pastor Jesuit asal Belgia berusia 62 tahun. Pemikiran Arjuna yang sangat moderat dengan cita rasa khas orang Timur (Indonesia) Arjuna pun memuturkan untuk menyerahkan hymen-nya kepada lelaki yang berselisih 37 tahun darinya dan masih berstatus sebagai seorang pastor Katolik.
Hubungan kucing-kucingan antara dosen-mahasiswi ini pun tercium publik karena kerap kali kepergok keluar dari kamar hotel bersama setiap satu minggu sekali. Van Damme pun diasingkan selama beberapa saat, menghilang. Akhir kisah ini cukup manis, karena Van Damme kembali dari pengasingan dan memutuskan berhenti sebagai seorang Jesuit. Van Damme pun menikahi Arjuna.

Tanggapan
Membahas soal penulisan kisah Arjuna, saya melihat Arjuna benar-benar perempuan dengan otak yang jenaka. Arjuna seperti mengadopsi sebagian pemikiran-pemikiran eksentrik seorang Remy Silado tanpa menanggalan ketokohannya sebagai perempuan. Hal ini nampak pada awal cerita dimana Arjuna 'keukeuh' bahwa dia tidak cantik.

"Saya tidak pernah merasa rendah diri atas keadaan tidak cantik dalam takdir saya ini. Dengan bahasa sederhana, ditambah perilaku optimis, saya ingin bilang, perempuan menjadi seratus persen wanita, semata-mata karena perempuan memiliki yoni, kiasan ajaib yang biasa membuat lakilaki mata ke ranjang. Itu rahasianya" (hlm.6)

Tulisan ini dibuat dengan sudut pandang pertama, dengan kata lain, Arjuna adalah si pencerita, sehingga kata yang digunakan sebagai subjek tokoh adalah aku. Itulah alasan mengapa pembaca akan dibawa berputar-putar dalam pemikiran Arjuna yang abstrak, dan seolah-olah ikut masuk dalam kelas filsafat dimana Arjuna belajar.
Karakter Arjuna sebagai perempuan yang gemar berkelakar ini nampak dari sejumlah frasa lucu yang dibuat oleh Remy Silado, alhasil, akan membuat pembaca sesekali tertawa kecil atau bahkan terpingkal-pingkal dengan cara bertutur Arjuna. Ceplas ceplos. Tanpa keraguan dan basa-basi. Tanpa tendensi yang menyudutkan, sebaliknya menyegarkan pembaca.
Novel ini mengulas sekitar 150 sosok filsuf, yang dimulai dari filsuf  Yunani kuno seperti Aristoteles, Socrates, Plato, hingga filsuf modern seperti Nietzche, Sartre, Focault, beserta pemikiran-pemikirannya. Dalam ruang kelas Arjuna itu, pembaca diajak melihat bagaimana kehidupan dan lahirnya metode pemikiran-pemikiran filsafat dari para filsuf tersebut.
Selanjutnya, para peselancar filsafat bersama Arjuna pun pindah ke ilmu yang lebih abstrak lagi. Mengapa? Karena Arjuna akhirnya memilih mengambil jurusan Teologi Apologetika yang diajarkan oleh ‘jantung hati Arjuna’ yakni Prof  Van Damme .
Van Damme mengkaji apologetik terhadap serangan para filsuf  antiteisme (karena Van Damme tak mau menyebut ateisme teoritis) seperti Focoult, Derrida, Jean Paul Sartre,  danNietzche. Namun setelah terendusnya hubungan Van Damme dengan Arjuna, pengajar pun diganti dengan Prof. Craig Cox yang mulai mengkaji apologetik dari serangan para filsuf agnokitisme alias agnostis, orang yang tidak punya gnosis, atau pengetahuan tentang Allah antara lain; Auguste Comte, Herbert Spencer, Thomas Paine.
Menurut saya, Remy Sylado cukup sukses menghadirkan dialog-dialog tersebut dengan kalimat-kalimat yang sederhana, kalimat pergaulan sehari-hari dalam ruang kelas. Materi filsafat di novel ini menjadi lebih mudah dimengerti dibanding membaca buku literatur filsafat. Bagi pembaca yang 'melek' filsafat tentunya tidak sulit memahami novel ini, atau bahkan bisa berargumentasi lebih ketika membacanya. Namun bagi mereka yang 'buta' filsafat meski sudah disederhanakan oleh Remy, akan tetap berpotensi membuat pembaca mengerutkan kening ketika membaca dialog-dialog filsafat antara Arjuna dengan para dosen dan kawan-kawannya yang bertebaran dalam novel ini.
Oleh sebab itu, kekurangan buku ini mungkin saja, karena terlalu banyak istilah filsafat bagi orang awam alhasil catatan kaki untuk buku ini mencapai 70 halaman. Bagi pembaca yang tak banyak membaca sejarah akan sering membalikkan halaman ke catatan kaki untuk menemukan penjelasan. Meskipun demikian, cara pengemasan catatan kaki tentang para tokoh filsafat memang ringkas dan jelas.
Buku ini masih memiliki edisi II dan III. Pada dasarnya buku ini sangat elegan dan bagi pembaca perempuan akan memberikan suntikan pemikiran yang logis dan relevan dalam menghadapi dunia dan kehidupan.
Pergerakan Perempuan dalam "Sarinah"

Pergerakan Perempuan dalam "Sarinah"


Oleh Maria Brigita Blessty

Ketika Indonesia baru saja merdeka, Sukarno mengatakan bahwa suatu negara tidak dapat disusun jika soal perempuannya belum dipelajari secara sungguh-sungguh. Ada beberapa pertanyaan yang muncul. Ada apa dengan perempuan? Apa persoalan mereka? Bagaimana cara perempuan menunjukkan “geliat” permasalahan mereka?
Dalam bukunya, Sarinah: Kewajiban Wanita dalam Perjuangan Republik Indonesia, cet. III (1963), Sukarno menunjukkan geliat pergerakan perempuan di dunia ini serta pada posisi mana pergerakan perempuan memberikan hasil.
Pergerakan perempuan yang dibahas Sukarno adalah pergerakan yang terjadi di Barat. Sebab, di dunia Baratlah pergerakan perempuan ini mula-mula muncul bersamaan dengan Revolusi Amerika dan Revolusi Prancis. Dalam dua revolusi ini, para perempuan Barat melakukan suatu aksi yang sistematis untuk menuntut hak-haknya sebagai manusia, sebagai anggota masyarakat dan sebagai warga negara.
Sebelum terjadi, pergerakan perempuan hanya terbatas pada “temu kangen atau onderonsje" yang dilakukan perempuan kelas atas. Menurut Sukarno, kegiatan tersebut bukan suatu pergerakan yang menyusun aksi perlawanan, melainkan hanya suatu kegiatan untuk mengisi waktu luang perempuan-perempuan kelas atas tersebut.
Kegiatan ini disebut sebagai tingkat pertama atau tingkatan “Main Putri-Putrian” oleh Sukarno. Sebab, kegiatan kumpul-kumpul ini hanya mengurusi masalah kerumahtanggaan, menyempurnakan perempuan sebagai istri dan ibu dan sama sekali tidak menyinggung perbandingan hak antara laki-laki dan perempuan. Dengan kata lain, kegiatan ini hanya untuk melanggengkan “fungsi” perempuan dalam sistem patriarkal.
Sukarno mengatakan bahwa tujuan lain dari kegiatan ini adalah mendidik gadis-gadis muda agar mahir mengurus rumahtangga, dengan mendirikan “sekolah-sekolah” yang tidak lain adalah “sekolah rumahtangga”. Mereka mendidik gadis-gadis ini supaya “laku” di kalangan pemuda bangsawan dan hartawan.
Mereka dididik bukan untuk menjadi manusia yang memiliki pemikirannya sendiri agar dapat berperan aktif dalam masyarakat, tapi untuk lebih sempurna dalam mengabdi pada laki-laki. Sedangkan, orang-orang yang mendidik gadis-gadis muda tersebut adalah perempuan-perempuan yang merasa diri lebih sempurna dalam urusan rumahtangga.
Jika si gadis muda tidak mendapatkan kebahagiaan, bagi para “pendidiknya” itu disebabkan kurang sempurnanya gadis tersebut dalam mengurus rumahtangga dan meladeni suami, bukan karena tidak adilnya perbandingan antara perempuan dan laki-laki. Pergerakan ini dipromotori oleh Madame de Maintenon di Prancis dan AH Francke di Jerman.
Kegiatan “Main Putri-Putrian” ini tidak lama dan segera digantikan dengan pergerakan yang menurut Sukarno, sudah secara sadar membantah kelebihan hak kaum laki-laki. Selanjutnya Sukarno memaparkan bahwa munculnya pergerakan tingkat kedua atau disebut sebagai pergerakan feminis ini berdasarkan suatu kesadaran bahwa hampir di segala aspek kehidupan, perempuan tidak diberikan kesempatan yang sama luasnya dengan laki-laki. Hampir semua hal kemasyarakatan menjadi monopoli laki-laki (hlm. 149).
Sukarno menjelaskan bahwa tuntutan ini berkenaan dengan kepentingan perempuan kelas atas akan lapangan pekerjaan, pendidikan dan peran serta dalam politik. Jika dulu perempuan kelas atas beranggapan bahwa keburukan nasib mereka terjadi karena kekurangan pada diri mereka, sekarang keburukan nasib itu ialah akibat ketiadaan hak-hak perempuan dalam masyarakat.

Sukarno menunjukkan bahwa ketiadaan hak-hak perempuan ini tidak hanya dirasakan perempuan kelas atas tapi juga perempuan kelas bawah dan inilah titik temu tuntutan perempuan kelas atas dan perempuan kelas bawah. Mereka bergerak bersama untuk satu tujuan yang sama: kesetaraan.
Di bawah kepemimpinan Mercy Otis Waren dan Abigail Smith Adams pada tahun 1776 di Amerika, mereka menuntut hak perempuan diakui dalam undang-undang dasar Amerika. Aksi ini berpengaruh pada pergerakan perempuan di Eropa, terutama di Inggris dan Prancis (hlm. 150).
Perempuan-perempuan Prancis menuntut persamaan hak dengan kaum laki-laki. Pergerakan perempuan di Prancis memiliki dua penggerak yang berbeda. Dari kelas atas, gerakan tersebut dipimpin Madame Roland. Sedangkan dari kelas bawah, pergerakan perempuan dipimpin Olympe de Gouges, Rose Lacombe dan Theroigne de Mericourt.
Bagi Sukarno, ide pergerakan ini memang muncul dari kelas atas, namun yang pertama kali menggerakannya dengan struktur organisasi yang baik adalah perempuan kelas bawah dengan Olympe de Gouges sebagai penggeraknya.
Meski begitu, pergerakan ini ditinggalkan perempuan kelas bawah karena perbedaan isi tuntutan. Mereka memang sama-sama menuntut hak perempuan diakui. Tetapi dalam pandangan Sukarno, kalangan kelas atas lebih menekankan hak mereka untuk memiliki kesempatan yang sama luasnya dengan laki-laki dalam hal pekerjaan, pendidikan dan politik. Secara singkatnya, perjuangan mereka ditujukan untuk membebaskan perempuan dari kurungan dalam rumah.
Sementara itu, yang dialami perempuan kelas bawah sama sekali berbeda. Sejak munculnya industrialisme, perempuan kelas bawah menghabiskan sebagian besar waktunya untuk bekerja di pabrik. Mereka hanya bisa melihat anak-anaknya pada waktu malam saja. Upah yang mereka terima juga sangat minim. Selain itu, sesampai di rumah mereka masih harus mengerjakan pekerjaan rumahtangga yang “membongkokkan punggung”.
Perempuan kelas bawah menuntut pemanusiaan dirinya dalam hal pekerjaan, sebagaimana hak-hak pemanusiaan yang diterima laki-laki. Ini terutama terkait dengan persoala jam kerja dan upah yang diterima. Mereka adalah ibu sekaligus istri yang selalu ingin menunjukan afeksi mereka pada anak dan suami. Sukarno menunjukkan bahwa di sinilah letak perbedaan tuntutan tersebut.
Menurutnya, masalah perempuan yang sesungguhnya terletak dalam sistem kapitalistis yang berlaku di masyarakat. Sukarno menjelaskan secara perlahan masalah perempuan kelas atas dan kelas bawah yang disebabkan sistem kapitalistis tersebut. Perempuan-perempuan kelas atas yang sudah dibukakan kesempatannya untuk bekerja, belajar dan berpolitik, tidak serta mendapatkan kesempatan tersebut.
Masyarakat kapitalistis tidak selalu memberikan kesempatan bekerja pada semua orang yang mau bekerja (hlm. 85). Parahnya lagi, masyarakat kapitailstis itu juga tidak serta merta memberikan kesempatan kawin pada mereka yang mau kawin. Karena itu, banyak gadis yang terus melajang walaupun ia sudah mandiri dan tidak bergantung.
Sistem masyarakat kapitalistis ini pula yang menjadikan perempuan kelas bawah menjadi kuda beban di tempat kerja mereka dan di dalam rumah. Sehingga, mereka tidak merasa “dimanusiakan” dalam pekerjaannya. Sukarno mengutip Henriette Roland Holst yang dalam pidatonya (hlm. 156) mengatakan:
 Semua kesengsaraan wanita ini adalah terikat pada bentuk masyarakatnya yang burdjuis, kepada cara produksi yang sistemnya kapitalistis. Malah juga kepada sebagian besar wanita atasan dan pertengahan, kepada mereka yang dapat bersuami dan beranak, pergerakan wanita burdjuis itu tidak dapat mendatangkan kemerdekaan, tidak dapat mendatangkan pemecahan soal-hidup mereka yang paling sulit. 

Dengan keyakinan inilah dalam pandangan Sukarno, berkembang gerakan perempuan yang ketiga, yaitu pergerakan dalam aksi sosialis. Tujuan mereka adalah untuk mendatangkan dunia baru, di mana laki-laki dan perempuan sama-sama bahagia, dengan tidak adanya lagi pemerasan satu kelas terhadap kelas yang lain; tiada penindasan satu sekse atas sekse yang lain.
Mengenai gerakan ketiga ini, Sukarno melihat perempuan tidak lagi bergerak sendirian. Tidak ada lagi pergerakan yang dikotak-kotakan berdasarkan jenis kelamin. Tapi, yang ada adalah laki-laki dan perempuan bergerak bersama, bahu-membahu dalam satu gelombang pergerakan yang sama menuju kemerdekaan kelas dan kemerdekaan sekse.
Jika aksi feminis melawan laki-laki, maka aksi pergerakan ketiga ini bergerak bersama laki-laki. Dengan tercapainya “tingkat ketiga” ini, tercapai juga tingkat yang tertinggi dari perjuangan Sarinah mengejar nasib yang lebih layak.


Tulisan ini sebelumnya sudah dipublikasikan oleh qureta.com
Tuesday, April 19, 2016
Berakhir Pekan di Serambi Salihara

Berakhir Pekan di Serambi Salihara

Oleh Bernadeta Niken



Di ruangan seluas 140 m2, buku-buku berjajar rapi di rak-rak yang menempel ke dinding. Meski tujuan utama rak-rak buku itu sebagai pemanis dan peredam suara ruangan, namun buku-buku itu mampu menarik minat pengunjung Komunitas Salihara untuk sekedar melihat-lihat atau membaca. Ruangan yang biasa dijadikan sebagai tempat berbagai acara diskusi atau ruang tunggu itu memang terbuka untuk umum terutama ketika ada acara berlangsung di Komunitas Salihara. Serambi Salihara seketika bisa menjadi ruang perpustakaan.

Meski tidak dikhususkan sebagai perpustakaan, Serambi Salihara tetap nyaman digunakan sebagai ruang baca. Kursi-kursi di samping rak-rak buku disediakan untuk kenyamanan pengunjung. Tata ruangan yang lega dan pencahayaan yang baik karena pintu-pintu kaca yang berbatasan langsung dengan ruang terbuka hijau menambah nyamannya pengunjung untuk menghabiskan waktu membaca.

Ruangan yang disebut Serambi Salihara itu berada di dalam kompleks Komunitas Salihara. Bertempat di Jalan Salihara, Pasar Minggu, Jakarta Selatan, Komunitas Salihara dikenal sebagai salah satu tempat pertunjukan seni di Jakarta. Komunitas Utan Kayu yang sebelumnya pernah ada menjadi cikal bakal lahirnya Komunitas Salihara. Berdiri sejak tahun 2008, Komunitas Salihara memang lebih banyak menawarkan berbagai kegiatan seni dan diskusi. Pengunjungnya menjangkau berbagai kalangan dan usia. Mulai mahasiswa hingga pekerja professional. Sebagian besar para pengunjung itulah yang menjadi pengunjung ruang baca di Serambi Salihara.

Koleksi
Buku-buku di Serambi Salihara sebagian besar bertema kebudayaan. Berbagai volume Jurnal Kalam sebuah jurnal kebudayaan yang lahir dari bagian Komunitas Salihara memenuhi sebagian besar rak-rak. Selain itu, dapat juga dijumpai buku-buku politik, sastra, filsafat dan sejarah, majalah dan katalog kegiatan Komunitas Salihara. Buku-buku tersebut hanya diperbolehkan dibaca di ruangan, tidak untuk dipinjam.

Bukan cuma Serambi Salihara yang dijadikan ruang baca, ruang diskusi dan ruang tunggu pertunjukan, Komunitas Salihara juga mempunyai ruang arsip yang terletak di Gedung Anjung Salihara untuk menyimpan dan mengolah data-data audio, video, teks dan foto dari berbagai kegiatan yang diadakan di Komunitas Salihara. Termasuk juga di dalamnya disimpan berbagai koleksi buku-buku seni, sastra dan filsafat. Sayangnya, ruang arsip ini tidak terbuka untuk umum. Masih di dalam kompleks, Gerai Salihara menjual beberapa buku pilihan dan karya seni. Termasuk buku-buku yang jarang dijumpai di toko buku besar. 

Harapan
Senada dengan visi Komunitas Salihara untuk merawat kebebasan dan menghormati perbedaan, bukan hanya buku-buku yang membuka wawasan baru, diskusi-diskusi pun sering diadakan seputar filsafat, seni dan budaya. Ruangan itu sekejab diubah menjadi semacam ruang seminar, pembicara duduk di depan lengkap dengan microphone dan kursi-kursi diatur berajajar bagi pengunjung yang ingin mendengarkan dan bertanya jawab.

Bersama Komunitas Salihara, membaca menjadi kegiatan yang menyenangkan sembari berdiskusi atau menonton pertunjukan seni karena memberikan wawasan baru sekaligus hiburan yang menarik.

Informasi dan Transportasi
Serambi Salihara terbuka untuk umum setiap ada kegiatan (diskusi, pertunjukan seni musik, tari atau teater) di Komunitas Salihara.
Untuk mencapai Salihara dengan Transjakarta, gunakan bus Koridor
 6 (dari Halimun menuju Ragunan). Berhenti di halte Pejaten, lalu turun dari halte ke arah kiri. Lanjutkan dengan naik Mikrolet 36 (berwarna biru) dari depan Pejaten Village menuju Jalan Salihara No.16. Atau bisa berhenti di halte Jati Padang. Turun ke arah kanan dan lanjutkan dengan ojek, Atau turun 
ke arah kiri dan berjalanlah lurus menuju pertigaan dengan lampu lalu lintas. Belok kiri ke Jalan Raya Ragunan dan lanjutkan dengan naik Mikrolet 61 (mobil biru) sampai turun di Balai Rakyat. Setelah itu lanjutkan dengan jalan kaki ke arah utara (belok kiri) menuju Jalan Salihara No.16
Untuk mencapai Salihara menggunakan bus, gunakan Metromini 75 ke Pasar Minggu. Berhenti di Balai Rakyat,
 lalu berjalanlah ke arah utara (belok kiri) menuju Jalan Salihara No.16.

Untuk mencapai Salihara menggunakan kereta api, gunakan kereta yang melewati Stasiun Pasar Minggu. Setiba di
 stasiun, teruskan dengan ojek atau berjalan kaki (+/- 500 m) melalui 
Jalan Raya Ragunan. Belok kanan
 di pertigaan Balai Rakyat dan terus berjalan sampai Jalan Salihara No.16.


Sumber Foto: Nyunyu.com
Saturday, April 16, 2016
Berubahlah!

Berubahlah!



Oleh Gloria Fransisca Katharina

Waktu berputar dan dunia berubah. Demikianlah mekanisme waktu menuntut manusia untuk berubah seiring perkembangan zaman. Padahal, manusia sendirilah pembentuk sejarah dan pembangun fenomena-fenomena baru.

Dunia memang sudah berubah. Sekalipun manusia yang membuat dunia berubah, tetapi manusia juga yang gagap respon atas perubahan. Ada yang sibuk lari di tempat, ada yang sudah melesat lari cepat dan berada jauh di depan.

Apa contohnya? Misalkan saja, beberapa pekan lalu ketika ricuh aksi demo transportasi muncul, ramai-ramai komentar pro dan kontra mencuat ke publik. Secara ringkas, permasalahan transportasi online adalah permasalahan lemahnya sensitivitas pemerintah dan pemangku kepentingan dalam menghadapi perubahan zaman.

Ada istilah yang kini tengah populer, sharing economy, dalam merespon masalah aplikasi transportasi online. Dalam tulisan Rhenald Kasali tersebutlah mekanisme aplikasi sebagai crowd business: konsumen dan produsen adalah dua tokoh yang sama. Secara sederhana, crowd business menciptakan sistem sharing economy, ketika setiap orang sudah bisa mendistribusikan pemanfataan kekayaan bagi orang lain. Saking ampuhnya, sharing economy ini dianggap mampu membunuh sistem kapitalisme lama yang mencekik leher konsumen.

Konsep sharing economy ini disanggah beberapa pihak. Salah satunya dalam tulisan opini di Koran Tempo (29/3), berjudul “Ilusi Ekonomi Berbagi Angkutan Online” oleh Pradipa P. Rasidi. Sharing economy seharusnya melunturkan kepemilikkan tradisional dan mengutamakan kerja sama. Dalam sharing economy, modal bekerja bukan dalam bentuk materi. Konsep sharing economy juga dalam arti kepercayaan akan ada kompensasi hasil kesepakatan bersama.

Kompensasi ini tidak terjadi dalam masalah aplikasi transportasi online.

Artikel Time.com berjudul “This New Sharing Economy App Really Is For Sharing”, mengutip Harvard Business Review, yang menyebutkan sharing economy seharusnya terjadi pertukaran secara sosial, bukan ekonomi. “Sharing is a form of social exchange that takes place among people known to each other, without any profit.” Oleh sebab itu aplikasi transportasi online bukan sharing economy, karena punya target pencapaian profit untuk tetap bertahan hidup.

Ada istilah lain yang cukup eksentrik untuk menyebut fenomena aplikasi transportasi online: Ubernomics. Muhammad Syarif Hidayatullah, peneliti Wiratama Institute, menulis di Harian Bisnis Indonesia (23/3), menyebutkan bagaimana aplikasi online seperti Uber menjadi kontroversi baru. Meminjam istilah dari Acemoglu dan Robinson melalui bukunya yang berjudul “Why Nations Fail”, Uber dilihat sebagai creative destruction dalam industri transportasi. Uber memberikan pundi-pundi baru bagi perekonomian sehingga patut diberi label Ubernomics.

Apa maksudnya? Aplikasi transportasi online memang mampu memberikan keuntungan sosial-ekonomi bagi masyarakat dan menurunkan biaya pencarian. Akan tetapi, layanan ini perlu melakukan revitalisasi jika ingin tetap eksis. Salah satu kunci utamanya, pemerintah harus melakukan intervensi agar persaingan pasar bisa berjalan sehat. Tujuannya agar konsumen dan produsen, ataupun gabungan keduanya, bisa terlindungi.

Produsen aplikasi akan dibebankan sejumlah kewajiban. Bukan hanya pajak, tetapi juga jaminan perlindungan konsumen atau asuransi. Perusahaan penyedia jasa online harus mau ikhlas diri patuh pada regulasi agar pemerintah bisa ikut mengambil beban untuk perlindungan konsumen.

Jika aspek-aspek penting seperti di atas tidak tersentuh, maka sia-sia upaya untuk memperbaiki transportasi dan pelayanan kepada konsumen. Pertanyaannya sekarang, apakah konsumen juga cukup peduli pada sejumlah tanggung jawab penyedia jasa terkait jaminan keselamatan berbentuk asuransi, selain hanya pada kenyamanan dan kecepatan?

Sharing economy = sharing politics

Perubahan yang begitu banyak dalam dua tahun terakhir ini jelas membawa kegelisahan sekaligus pertanyaan. Sharing economy atau apapun istilahnya, disebut-sebut membunuh kapitalisme tua. Sementara itu dalam bidang politik, belakangan ini publik diramaikan dengan sejumlah relawan calon kepala daerah. Kita ambil contoh jelang Pilkada di DKI. Ada Teman Ahok, Sahabat Adyaksa, dan konon ada pula Sahabat Djarot.

Dari sekian banyak relawan politik ini, kita ambil contoh Teman Ahok. Relawan ini memiliki militansi yang boleh diacungi jempol dan sangat beredar di media massa. Bulan lalu misalnya, relawan ini berdebat kusir dengan anggota PDIP karena bersikeras ingin mengusung Ahok melalui jalur independen, bukan dengan jalur partai. Lalu muncullah istilah deparpolisasi.

Dalam sebuah talkshow di MetroTV antara Singgih (perwakilan Teman Ahok), Aria Bima (PDIP), dan Ikrar Nusa Bhakti (pengamat politik LIPI), saya mencatat jelas argumentasi bahwa Teman Ahok bukanlah instrumen politik. Pihaknya terbuka pada dukungan dari partai tetapi menolak pencatutan status Ahok diusung oleh partai. Ahok dan Heru, wakilnya, tetap diusung secara independen melalui mekanisme pengumpulan kartu tanda penduduk (KTP).

Menanggapi hal itu, Aria Bima menuding Teman Ahok sebagai instumen yang jumawa, tidak memiliki kepahaman terkait prosedur kepartaian. Konotasi mendukung dan diusung sesungguhnya berada dalam grey area. Sementara itu, Ikrar Nusa Bhakti memiliki pandangan lain. Dia tak menampik bahwa Teman Ahok adalah sebuah tamparan baru bagi partai politik yang adalah pilar demokrasi. Seburuk apapun parpol, Ikrar sendiri masih kembali kepada filosofi demokrasi: parpol menjadi instrumen pengumpul suara rakyat.

Jika kita kembali ingat kegagapan pemerintah menanggapi masalah transportasi online, mungkin saja partai politik juga terlalu gagap menanggapi apatisme masyarakat. Partisipasi masyarakat dalam hal politik apalagi regenerasi kepemimpinan memiliki angka yang cukup buruk. Transparansi keuangan parpol yang kurang juga membuat masalah.

Parpol kita justru sibuk berebut kursi menteri saat reshuffle ketimbang membenahi diri untuk menarik kepercayaan masyarakat. Relawan kini menjadi entitas baru dalam dunia politik sejak rekrutmen jabatan politik melalui mekanisme pemilihan langsung.

Sayangnya, tak banyak yang melihat adanya grey area antara relawan dengan partai politik. Dalam tulisan berjudul “Mengatur Relawan Politik” di Republika (29/3), R Ferdian Andi menyebutkan relawan politik juga menjadi sumber rekrutmen baru dalam pos-pos jabatan publik.

Relawan politik ini jelas memobilisasi massa sekalipun mereka tidak berbadan hukum setingkat organisasi massa (ormas). Lihat saja jumlah KTP yang dikumpulkan Teman Ahok. Mobilisasi massa ini juga tak bisa dielakkan dengan melakukan mobilisasi finansial untuk keperluan logistik kegiatan politik. Relawan ini tak bisa dideteksi landasannya karena mereka tak memiliki anggaran dasar seperti yang diatur dalam Undang-Undang.

Belum ada payung hukum bagi relawan politik. Sebagai entitas baru politik, sumber pendanaan dan akuntabilitas relawan juga perlu diuji oleh penyusun regulasi. Padahal mereka semakin hari menunjukkan aksi yang persis dengan partai politik. Sosialisasi ke semua tempat dengan tokoh yang diusungnya. Memasang spanduk, reklame, dan segala ornamen yang biasa dipakai parpol. Relawan telah mengadopsi pola parpol karena melakukan kampanye, pengumpulan suara dukungan, sekaligus mengusung calon.

Relawan bagi penulis sangat rentan dengan fanatisme kepemimpinan. Atas dasar idola. Baik karena kinerja atau juga karena sikap. Padahal kepemimpinan karena ketokohan begitu rapuh. Kepemimpinan yang kuat adalah sistem, bukan ketokohan.

Jangan sampai pemerintah sudah gagap terhadap kebutuhan aplikasi, gagap lagi terhadap kebutuhan relawan. Dunia sungguh-sungguh sudah berubah, atau sesungguhnya dunia hanya menampakkan wajah barunya?

Ada pepatah yang mengatakan, tidak pernah ada yang baru di bawah kolong langit. Begitu pula masalah yang terjadi di dalamnya. Jika sharing economy tetaplah menjadi wajah penguasaan aset oleh pihak yang bermodal sekalipun ada collaborative consumption, maka sharing politics (istilah penulis saja) juga adalah wajah pemenangan kandidat dari kekuatan politik, bukan kekuatan relawan.

Penulis juga baru sadar harus beranjak dari kenyamanan akan ketidaktajaman berpikir. Ketika inovasi merajalela, manusia dituntut mengikutinya. Mungkin mau tak mau, manusia juga harus berubah ketika menghadapi wajah-wajah baru dengan karakter yang sama. Ibarat anak sekolah, bertemu guru baru setiap naik kelas, tetapi pembelajarannya tidak akan pernah selesai.

Berubahlah! Ingat, tak boleh gagap menghadapi crowd business, crowd politics, crowd participation.

***

Referensi:

Hidayatullah, Muhammad Syarif. Ubernomics. Harian Bisnis Indonesia. 23 Maret 2016.

Kasali, Rhenald. Selamat Datang Sharing Economy. Kompas.com. Maret 2016.

Andi, R Ferdian. Mengatur Relawan Politik. Republika. 29 Maret 2016.

Rasidi, Pradipa P. Ilusi Ekonomi Berbagi Angkutan Online. Koran Tempo. 29 Maret 2016.

Foto dari: Bossfight.co



Tulisan ini sebelumnya sudah dipublikasikan oleh youthproactive.com pada April 2016

Copyright © agenda 18 All Right Reserved