Kelas Menengah dan Kewajiban Mendidik Lingkungan*
oleh
Gloria Fransisca Katharina
Dalam
sebuah kesempatan, saya pernah membaca tulisan Herry Priyono di Kompas, 28 Mei
2009. Demikian bunyinya; “kehidupan
publik kita rupanya ditandai secara mendalam oleh sikap anti-intelekual."
Ada perasaan yang menggelitik saya seusai membaca tulisan ini. Apakah memang
kehidupan publik Indonesia sudah alergi terhadap hal-hal yang masuk dalam ranah
intelektual?
Ketika
saya berselancar kembali di laman blog saya, ternyata pasca membaca buku ‘Bumi
Manusia’ karangan Pramoedya Ananta Toer, saya pernah menuliskan salah satu
kalimat refleksi saya. Demikian bunyinya; “kamu
itu, yang sudah dianugrahi kepintaran tujuannya bukan untuk membodohi orang
lain”
Kepintaran
adalah sebuah akibat yang didapatkan dari pengetahuan. Dalam pemahaman saya
pribadi, kepintaran adalah tentang tercapainya keunggulan tertentu dalam
pengetahuan dibandingkan pencapaian orang lainnya. Oleh sebab itu orang disebut
‘pintar’, dimana ‘pintar’ merujuk pada kata sifat. Sebuah sifat positif (bisa
juga negatif) terkaiat aspek pemahaman manusia akan segala sesuatu yang
dipelajari, dicari, dan ditemukannya.
Kelas Menengah:
Berlomba Mencari Gelar
Apabila
Herry Priyono berujar bahwa fenomena masyarakat sekarang lebih tertarik pada
hal-hal populer dibandingkan hal-hal intelektual, apakah bisa saya menyatakan
bahwa pendidikan sebagai proses menuju ‘kepintaran’ kini sudah berubah menjadi
proses menuju pencapaian ‘prestise’?
Berlakunya
teori komodifikasi pada masa kini jelas sekali telah mengoyak hakikat
pendidikan sebagai sektor sosial yang memiliki misi memanusiakan-manusia.
Bagaimana tidak, saya membaca sebuah pernyataan dalam redaksi pembuka majalah
Indonesia 2014 tentang fenomena menarik dalam dunia pendidikan. Bahwasanya,
orang membangun institusi pendidikan dengan mengusung label ‘world class university’ bukan karena
ingin mengembangkan ilmu pengetahuan, tetapi karena banyak peminat institusi
dengan label tersebut dan bersedia meronggoh uang SPP semahal apapun. Disinilah
terlihat adanya benturan antara teori komodifikasi yakni mengubah nilai guna
menjadi nilai tukar dalam sektor pendidikan.
Tidak
adil menurut saya apabila pendidikan diperlakukan dengan teori komodifikasi.
Model ini dalam pengamatan saya akan nampak sia-sia untuk meningkatkan kualitas
sumber daya manusia Indonesia mengingat sulitnya melanjutkan pendidikan ke
perguruan tinggi akibat himpitan biaya. Meskipun Indonesia mengalami
perkembangan ekonomi yang cukup pesat hingg 9%, masih nampak sia-sia selama sumber
daya manusia Indonesia sebagian masih hidup dibawah kesejahteraan dan belum
banyak yang mendapatkan hak wajib belajar yang kini bukan lagi 9 tahun
melainkan 12 tahun. Lantas, dimana peran kelas menengah dalam menyelesaikan
permasalahan ini?
Kelas
menengah sesungguhnya adalah motor bagi perubahan sosial. Anggapan bahwa kelas
menengah tidak memiliki andil besar dalam perubahan, karena semuanya adalah
tanggung jawab dan tugas pemerintah sepenuhnya adalah kesalahan besar dalam
perspektif saya. Kelas menengah memiliki karakteristik berupa dominasi atau power dalam menggiring keputusan dan
kebijakan publik. Sebab, hanyalah kelas menengah yang memiliki bekal ilmu
pengetahuan, pengalaman, dan pemahaman yang dengan mudah didapatkan dari
berbagai sumber informasi. Oleh sebab itu, poros utama dari perubahan adalah
kelas menengah. Sudah layak dan sepantasnyalah kelas menengah menyadari hal
tersebut. Sayangnya,
maraknya teori komodifikasi yang memamerkan janji-janji kehidupan layak melalui
pendidikan justru semakin membuat kelas menengah di Indonesia memilih untuk
abai dan rakus.
Bambang
Setiawan, pada Kompas.com 8 Juni 2012 menuliskan dalam opini berjudul ‘Makin Konsumtif, Makin Konservatif’
bahwa pendidikan kelas menengah Indonesia kini rata-rata setingkat sarjana.
Alhasil, pencapaian tersebut mendorong merekauntuk selalu maju dalam karier.
Ada
beberapa dari kelas menengah atas tersebut dalam kacamata Bambang Setiawan termasuk
ke dalam kelompok ”gila karier” (achiever).
Tipe ‘gila karier’ ini dicirikan oleh keinginan yang kuat untuk terus meraih
kemajuan, berorientasi pada hasil, dan memiliki komitmen yang tinggi terhadap
keluarga. Terkesan sangat individualis dalam perspektif saya. Oleh sebab itu, dengan
kemauan dan kebutuhan yang besar, mereka aktif berada di pasar barang-barang
konsumsi kualitas atas. Bagi kelas menengah tersebut, prestise, kebanggaan dan
pengakuan, atau citra adalah sangat penting. Maka jangan heran apabila kelas
menengah Indonesia disebut pro pada pasar bebas, pada barang-barang impor
karena adanya kecenderungan barang-barang tersebut dapat mengangkat prestise.
Pernyataan
Bambang ini kalau saya boleh memberikan penilaian benar adanya, Apabila kita
lebih teliti di tengah lingkungan sekitar, banyak kelompok profesional muda
dari kelas menengah atas yang berusia di bawah 30 tahun bersaing keras meraih
banyak gelar-gelar, demi pencapaian hidup yang gemilang. Saya tidak merasa
heran apabila pada akhirnya pragmatisme membayang-bayangi dunia pendidikan.
Dunia pendidikan memberikan kesempatan dan hadiah berupa prestise gelar kepada
kelas menengah yang mampu mencapai jenjang pendidikan tinggi, sementara mereka
yang hidup di bawah garis kemiskinan dan sulit mendapatkan akses pendidikan,
selamanya akan hidup di bawah garis kemiskinan.
Jelas
bahwa satu-satunya tameng yang mampu menghalau dan membereskan berbagai
problema kebangsaan satu-satunya adalah dari pendidikan. Sayangnya, pendidikan
hanya memberikan ruang obral janji-janji kenikmatan kehidupan, bukan ruang
perenungan dalam mengolah gelisahan terkait kondisi pendidikan itu sendiri, dan
cerminannya dari kondisi bangsa dan negara.
Teori Komodifikasi dan
Ruang Kesadaran
Tidak
ada salahnya berpendapat bahwa pengimplementasian teori komodifikasi di sektor
ekonomi dan media massa tidaklah salah. Namun kita perlu sedikit berbesar hati
mengakui bahwa memang menjadi masalah ketika kecenderungan orientasi komersial
itu akhirnya meniadakan kehadiran sebuah kebenaran yang esensial. Kebenaran
yang sesungguhnya berperan melengkapi masyarakat dengan informasi yang dibutuhkan
untuk mengambil keputusan penting dalam kehidupan mereka. Sehingga dalam
konteks ini, teori komodifikasi adalah sebuah asas yang sangat manusiawi
tentang pilihan hidup manusia dalam ikatan hak individulismenya sendiri.
Kita
sendiri mungkin sering lupa bahwa manusia bertindak atas dasar apa yang ada dalam
pikiran mereka. Termasuk dalam upaya pemenuhan kebutuhan, tingkat persaingan
mengadu nasib dan belajar. Oleh sebab itu, kita mungkin tidak bisa sepenuhnya
melawan teori komodifikasi sebagai musuh bersama yang perlu dilawan, karena
secara sadar maupun tidak sadar, teori komodifikasi adalah realitas sempurna
kehendak manusia yang bukan hanya homo
socious tetapi juga homo eoconomicus.
Oleh
sebab itu, dalam beberapa kali perenungan, saya memberikan sebuah analisa bahwa
sebagai kaum terdidik dan mendapatkan peruntungan yang lebih baik dibandingkan
beberapa orang lain, kelas menengah seharusnya bisa memilah-milah cara
memperlakukan setiap sektor yang melingkupi ruang hidupnya.
Teori
Komodifikasi harus kita sadari terbilang cocok untuk diberlakukan dalam ranah
ekonomi, meliput sektor perdagangan dan sektor hubungan internasional. Namun,
untuk sektor pendidikan, apakah benar dan tepat apabila diperlakukan dengan
cara komodifikasi?
Setiap
bidang dalam kacamata saya, seharusnya diperlakukan dengan landasan filosofis,
kebijakan, dasar ideologi pengaturan yang berbeda-beda. Apabila disamaratakan
seperti yang tengah terjadi sekarang, akan berdampak buruk, bahkan mungkin akan
sangat berbahaya, seperti yang tengah terjadi saat ini di Indonesia. Pernyataan
ini bukan menandakan kita menjadi orang yang relatif dalam kolektivitas sebagai
bangsa dan menjadi apatis terhadap eksistensi dasar negara itu sendiri jika
semua bidang diperlakukan dengan cara yang berbeda-beda.
Saya
lebih mengerucutkan pandangan ini karena percuma adanya apabila kita
mengatasnamakan semua kebijakan sesuai dengan dasar negara, sebut saja,
Pancasila tetapi kita tidak bisa memaksimalisasi nilai keluhuran di semua
bidang tersebut. Lagipula, kita perlu kembali kepada hakikat Pancasila sendiri
sebagai ideologi bangsa Indonesia yang bertujuan memaksimalkan nilai keluhuran
manusia Indonesia.
Kembali
kepada landasan fundamental semestinya bisa lebih menyadarkan kelas menengah
akan tanggung jawabnya yang sementara perlu kita lepaskan dari otonomi dirinya
sebagai individu dan kita eratkan dengan kolektivitas dirinya sebagai bangsa.
Kesadaran itu bukan berarti memaksa individu menanggalkan kesadarannya sebagai
individu, dan dengan menjadi bangsa maka ia telah direbut hak-hak individunya
untuk bebas meraih kesuksesan dalam pendidikan dan mencapai kehidupan layak.
Bahwasanya, justru dengan menjadi individu, secara otomatis ia sudah membentuk
bangsa, posisi dirinya sebagai individu yang minoritas telah terselamatkan
dalam ruang kolektif yakni bangsa. Oleh sebab itu, konsekuensi logisnya adalah,
ada tumpukan tanggung jawab yang harus dituntaskan terkait menjadi bangsa.
Mendidik Individu
Mendidik Bangsa
Melihat
masih adanya ketidakadilan menimpa dunia pendidikan di Indonesia, tidak akan
ada faedahnya jika kita hanya ongkang-ongkang kaki melihat upaya pemerintah,
atau sebatas mengejar kepentingan intelektualitas-prestise kita sendiri.
Hendaklah
kita melawan arus yang sudah terlanjur kita ciptakan sendiri akibat trauma pada
kisah-kisah sejarah bangsa Indonesia sebagai bangsa budak, bangsa Indonesia
sebagai bangsa yang nihil pendidikan. Bukan karena trauma-trauma itu kita
lantas mengejar pendidikan tanpa menyadari konsekuensi nilai keluhuran yang
harus diperoleh dan disimpan hingga akhir hayat. Nilai keluhuran itu tentunya
adalah senada dengan prinsip humanisme transendental, yakni memanusiakan
manusia.
Dengan
menjadi manusia terdidik, utamanya kaum kelas menengah kita mengemban tugas
memanusiakan manusia lewat pendidikan. Upaya konkrit tentu saja dengan turut
menggiring opini publik kepada kebijakan pendidikan yang layak. Setidaknya,
kaum terdidik bisa membantu mengentaskan buta huruf sebagai langkah awal mendidik
sesama manusia. Selain itu kaum menengah pun mengganyang komentar dan pendapat
akan transparansi informasi. Kelas menengah memberikan
pemahaman-pemahaman tersebut kepada kaum-kaum yang sulit mendapatkan akses
informasi agar tidak terjerumus pada kata-kata opinion leader yang menyesatkan karena diboncengi
kepentingan-kepentingan politis.
Akhir
kata, ada baiknya kita selalu mengingat kata-kata Pramoedya Ananta Toer yang
dituliskannya dalam buku ‘Bumi Manusia’,
“Seorang terpelajar harus berbuat adil
sejak dalam pikiran apalagi dalam perbuatan”.
Esai ini menjadi pemenang ke-3 Kompetisi Badan Penerbitan Pers Mahasiswa Balairung Universitas Gadjah Mada http://www.balairungpress.com/pengumuman-pemenang-kompetisi/
Penulis adalah mahasiswi Jurnalistik Universitas Multimedia Nusantara
Agenda
18 Angkatan 5
0 komentar:
Post a Comment