Monday, December 23, 2013

Kelas Menengah dan Kewajiban Mendidik Lingkungan*


oleh Gloria Fransisca Katharina


Dalam sebuah kesempatan, saya pernah membaca tulisan Herry Priyono di Kompas, 28 Mei 2009. Demikian bunyinya; “kehidupan publik kita rupanya ditandai secara mendalam oleh sikap anti-intelekual." Ada perasaan yang menggelitik saya seusai membaca tulisan ini. Apakah memang kehidupan publik Indonesia sudah alergi terhadap hal-hal yang masuk dalam ranah intelektual?

Ketika saya berselancar kembali di laman blog saya, ternyata pasca membaca buku ‘Bumi Manusia’ karangan Pramoedya Ananta Toer, saya pernah menuliskan salah satu kalimat refleksi saya. Demikian bunyinya; “kamu itu, yang sudah dianugrahi kepintaran tujuannya bukan untuk membodohi orang lain”

Kepintaran adalah sebuah akibat yang didapatkan dari pengetahuan. Dalam pemahaman saya pribadi, kepintaran adalah tentang tercapainya keunggulan tertentu dalam pengetahuan dibandingkan pencapaian orang lainnya. Oleh sebab itu orang disebut ‘pintar’, dimana ‘pintar’ merujuk pada kata sifat. Sebuah sifat positif (bisa juga negatif) terkaiat aspek pemahaman manusia akan segala sesuatu yang dipelajari, dicari, dan ditemukannya.


Kelas Menengah: Berlomba Mencari Gelar
Apabila Herry Priyono berujar bahwa fenomena masyarakat sekarang lebih tertarik pada hal-hal populer dibandingkan hal-hal intelektual, apakah bisa saya menyatakan bahwa pendidikan sebagai proses menuju ‘kepintaran’ kini sudah berubah menjadi proses menuju pencapaian ‘prestise’?

Berlakunya teori komodifikasi pada masa kini jelas sekali telah mengoyak hakikat pendidikan sebagai sektor sosial yang memiliki misi memanusiakan-manusia. Bagaimana tidak, saya membaca sebuah pernyataan dalam redaksi pembuka majalah Indonesia 2014 tentang fenomena menarik dalam dunia pendidikan. Bahwasanya, orang membangun institusi pendidikan dengan mengusung label ‘world class university’ bukan karena ingin mengembangkan ilmu pengetahuan, tetapi karena banyak peminat institusi dengan label tersebut dan bersedia meronggoh uang SPP semahal apapun. Disinilah terlihat adanya benturan antara teori komodifikasi yakni mengubah nilai guna menjadi nilai tukar dalam sektor pendidikan.

Tidak adil menurut saya apabila pendidikan diperlakukan dengan teori komodifikasi. Model ini dalam pengamatan saya akan nampak sia-sia untuk meningkatkan kualitas sumber daya manusia Indonesia mengingat sulitnya melanjutkan pendidikan ke perguruan tinggi akibat himpitan biaya. Meskipun Indonesia mengalami perkembangan ekonomi yang cukup pesat hingg 9%, masih nampak sia-sia selama sumber daya manusia Indonesia sebagian masih hidup dibawah kesejahteraan dan belum banyak yang mendapatkan hak wajib belajar yang kini bukan lagi 9 tahun melainkan 12 tahun. Lantas, dimana peran kelas menengah dalam menyelesaikan permasalahan ini?

Kelas menengah sesungguhnya adalah motor bagi perubahan sosial. Anggapan bahwa kelas menengah tidak memiliki andil besar dalam perubahan, karena semuanya adalah tanggung jawab dan tugas pemerintah sepenuhnya adalah kesalahan besar dalam perspektif saya. Kelas menengah memiliki karakteristik berupa dominasi atau power dalam menggiring keputusan dan kebijakan publik. Sebab, hanyalah kelas menengah yang memiliki bekal ilmu pengetahuan, pengalaman, dan pemahaman yang dengan mudah didapatkan dari berbagai sumber informasi. Oleh sebab itu, poros utama dari perubahan adalah kelas menengah. Sudah layak dan sepantasnyalah kelas menengah menyadari hal tersebut. Sayangnya, maraknya teori komodifikasi yang memamerkan janji-janji kehidupan layak melalui pendidikan justru semakin membuat kelas menengah di Indonesia memilih untuk abai dan rakus. 
 
Bambang Setiawan, pada Kompas.com 8 Juni 2012 menuliskan dalam opini berjudul ‘Makin Konsumtif, Makin Konservatif’ bahwa pendidikan kelas menengah Indonesia kini rata-rata setingkat sarjana. Alhasil, pencapaian tersebut mendorong merekauntuk selalu maju dalam karier.

Ada beberapa dari kelas menengah atas tersebut dalam kacamata Bambang Setiawan termasuk ke dalam kelompok ”gila karier” (achiever). Tipe ‘gila karier’ ini dicirikan oleh keinginan yang kuat untuk terus meraih kemajuan, berorientasi pada hasil, dan memiliki komitmen yang tinggi terhadap keluarga. Terkesan sangat individualis dalam perspektif saya. Oleh sebab itu, dengan kemauan dan kebutuhan yang besar, mereka aktif berada di pasar barang-barang konsumsi kualitas atas. Bagi kelas menengah tersebut, prestise, kebanggaan dan pengakuan, atau citra adalah sangat penting. Maka jangan heran apabila kelas menengah Indonesia disebut pro pada pasar bebas, pada barang-barang impor karena adanya kecenderungan barang-barang tersebut dapat mengangkat prestise.

Pernyataan Bambang ini kalau saya boleh memberikan penilaian benar adanya, Apabila kita lebih teliti di tengah lingkungan sekitar, banyak kelompok profesional muda dari kelas menengah atas yang berusia di bawah 30 tahun bersaing keras meraih banyak gelar-gelar, demi pencapaian hidup yang gemilang. Saya tidak merasa heran apabila pada akhirnya pragmatisme membayang-bayangi dunia pendidikan. Dunia pendidikan memberikan kesempatan dan hadiah berupa prestise gelar kepada kelas menengah yang mampu mencapai jenjang pendidikan tinggi, sementara mereka yang hidup di bawah garis kemiskinan dan sulit mendapatkan akses pendidikan, selamanya akan hidup di bawah garis kemiskinan.

Jelas bahwa satu-satunya tameng yang mampu menghalau dan membereskan berbagai problema kebangsaan satu-satunya adalah dari pendidikan. Sayangnya, pendidikan hanya memberikan ruang obral janji-janji kenikmatan kehidupan, bukan ruang perenungan dalam mengolah gelisahan terkait kondisi pendidikan itu sendiri, dan cerminannya dari kondisi bangsa dan negara.

Teori Komodifikasi dan Ruang Kesadaran
Tidak ada salahnya berpendapat bahwa pengimplementasian teori komodifikasi di sektor ekonomi dan media massa tidaklah salah. Namun kita perlu sedikit berbesar hati mengakui bahwa memang menjadi masalah ketika kecenderungan orientasi komersial itu akhirnya meniadakan kehadiran sebuah kebenaran yang esensial. Kebenaran yang sesungguhnya berperan melengkapi masyarakat dengan informasi yang dibutuhkan untuk mengambil keputusan penting dalam kehidupan mereka. Sehingga dalam konteks ini, teori komodifikasi adalah sebuah asas yang sangat manusiawi tentang pilihan hidup manusia dalam ikatan hak individulismenya sendiri.

Kita sendiri mungkin sering lupa bahwa manusia bertindak atas dasar apa yang ada dalam pikiran mereka. Termasuk dalam upaya pemenuhan kebutuhan, tingkat persaingan mengadu nasib dan belajar. Oleh sebab itu, kita mungkin tidak bisa sepenuhnya melawan teori komodifikasi sebagai musuh bersama yang perlu dilawan, karena secara sadar maupun tidak sadar, teori komodifikasi adalah realitas sempurna kehendak manusia yang bukan hanya homo socious tetapi juga homo eoconomicus.

Oleh sebab itu, dalam beberapa kali perenungan, saya memberikan sebuah analisa bahwa sebagai kaum terdidik dan mendapatkan peruntungan yang lebih baik dibandingkan beberapa orang lain, kelas menengah seharusnya bisa memilah-milah cara memperlakukan setiap sektor yang melingkupi ruang hidupnya.

Teori Komodifikasi harus kita sadari terbilang cocok untuk diberlakukan dalam ranah ekonomi, meliput sektor perdagangan dan sektor hubungan internasional. Namun, untuk sektor pendidikan, apakah benar dan tepat apabila diperlakukan dengan cara komodifikasi?

Setiap bidang dalam kacamata saya, seharusnya diperlakukan dengan landasan filosofis, kebijakan, dasar ideologi pengaturan yang berbeda-beda. Apabila disamaratakan seperti yang tengah terjadi sekarang, akan berdampak buruk, bahkan mungkin akan sangat berbahaya, seperti yang tengah terjadi saat ini di Indonesia. Pernyataan ini bukan menandakan kita menjadi orang yang relatif dalam kolektivitas sebagai bangsa dan menjadi apatis terhadap eksistensi dasar negara itu sendiri jika semua bidang diperlakukan dengan cara yang berbeda-beda.

Saya lebih mengerucutkan pandangan ini karena percuma adanya apabila kita mengatasnamakan semua kebijakan sesuai dengan dasar negara, sebut saja, Pancasila tetapi kita tidak bisa memaksimalisasi nilai keluhuran di semua bidang tersebut. Lagipula, kita perlu kembali kepada hakikat Pancasila sendiri sebagai ideologi bangsa Indonesia yang bertujuan memaksimalkan nilai keluhuran manusia Indonesia. 

Kembali kepada landasan fundamental semestinya bisa lebih menyadarkan kelas menengah akan tanggung jawabnya yang sementara perlu kita lepaskan dari otonomi dirinya sebagai individu dan kita eratkan dengan kolektivitas dirinya sebagai bangsa. Kesadaran itu bukan berarti memaksa individu menanggalkan kesadarannya sebagai individu, dan dengan menjadi bangsa maka ia telah direbut hak-hak individunya untuk bebas meraih kesuksesan dalam pendidikan dan mencapai kehidupan layak. Bahwasanya, justru dengan menjadi individu, secara otomatis ia sudah membentuk bangsa, posisi dirinya sebagai individu yang minoritas telah terselamatkan dalam ruang kolektif yakni bangsa. Oleh sebab itu, konsekuensi logisnya adalah, ada tumpukan tanggung jawab yang harus dituntaskan terkait menjadi bangsa.

Mendidik Individu Mendidik Bangsa
Melihat masih adanya ketidakadilan menimpa dunia pendidikan di Indonesia, tidak akan ada faedahnya jika kita hanya ongkang-ongkang kaki melihat upaya pemerintah, atau sebatas mengejar kepentingan intelektualitas-prestise kita sendiri. 

Hendaklah kita melawan arus yang sudah terlanjur kita ciptakan sendiri akibat trauma pada kisah-kisah sejarah bangsa Indonesia sebagai bangsa budak, bangsa Indonesia sebagai bangsa yang nihil pendidikan. Bukan karena trauma-trauma itu kita lantas mengejar pendidikan tanpa menyadari konsekuensi nilai keluhuran yang harus diperoleh dan disimpan hingga akhir hayat. Nilai keluhuran itu tentunya adalah senada dengan prinsip humanisme transendental, yakni memanusiakan manusia.

Dengan menjadi manusia terdidik, utamanya kaum kelas menengah kita mengemban tugas memanusiakan manusia lewat pendidikan. Upaya konkrit tentu saja dengan turut menggiring opini publik kepada kebijakan pendidikan yang layak. Setidaknya, kaum terdidik bisa membantu mengentaskan buta huruf sebagai langkah awal mendidik sesama manusia. Selain itu kaum menengah pun mengganyang komentar dan pendapat akan transparansi informasi. Kelas menengah memberikan pemahaman-pemahaman tersebut kepada kaum-kaum yang sulit mendapatkan akses informasi agar tidak terjerumus pada kata-kata opinion leader yang menyesatkan karena diboncengi kepentingan-kepentingan politis.

Akhir kata, ada baiknya kita selalu mengingat kata-kata Pramoedya Ananta Toer yang dituliskannya dalam buku ‘Bumi Manusia’, “Seorang terpelajar harus berbuat adil sejak dalam pikiran apalagi dalam perbuatan”.

Esai ini  menjadi pemenang ke-3 Kompetisi Badan Penerbitan Pers Mahasiswa Balairung Universitas Gadjah Mada http://www.balairungpress.com/pengumuman-pemenang-kompetisi/

Penulis adalah mahasiswi Jurnalistik Universitas Multimedia Nusantara
Agenda 18 Angkatan 5

0 komentar:

Copyright © agenda 18 All Right Reserved