Tuesday, March 18, 2008

Pers, Perempuan dan Privasi

KOMPAS Senin, 28-07-2003. Halaman: 45

Artis cantik Bella Saphira luar biasa mengamuk ketika ia ditanyai oleh seorang wartawan hiburan, apakah betul bahwa ia juga berprofesi sebagai wanita panggilan. Peristiwa ini terjadi awal Juli lalu ketika Bella menghadiri sebuah acara dan ditemui sejumlah wartawan. Saat itu beberapa wartawan menanyakan padanya soal hobi barunya menekuni bela diri Aikido. Tapi, tiba-tiba saja seorang wartawan "dari tabloid terbitan Jakarta" bertanya, "Maaf Bel, katanya kamu bisa di-booking sama om-om. Komentar kamu gimana?"


Bella yang langsung berubah raut muka memarahi wartawan itu, "Gila, kok bisa kamu tanya seperti itu! Enggak sopan banget! Saya ini bukan pemain baru, Mas! Kalau mau tanya baik-baik dong,enggak sopan banget pertanyaannya!" (Warta Kota, 8/7).

Sebelumnya, selebriti perempuan lainnya, Sarah Sechan, juga mengatakan sangat terganggu privasinya saat ia melangsungkan pernikahan, dan ia banyak menolak pertanyaan wartawan pada dirinya. Apalagi lalu muncul gosip bahwa Sarah menikah karena ia sudah berbadan dua sebelumnya. Mantan VJ MTV yang kini menjadi orang media,
juga sebagai wakil Pemimpin Redaksi majalah Cosmo Girl, menyatakan bahwa dirinya sangat ingin memelihara hidup privasi. Ia dan pihak manajemennya sampai harus menggelar konferensi pers tersendiri,menjelaskan sikap mereka kepada para wartawan.

Hampir setiap hari masyarakat ditaburi dengan berbagai tayangan televisi soal kehidupan selebriti yang berkisar dari soal pacaran, perkawinan, kelahiran anak, perceraian, dan kematian. Belum lagi puluhan tabloid di sekitar yang menjajakan banyak hal yang berkaitan dengan dunia selebriti, seolah-olah selebriti itu adalah dunia yang perlu dicermati sedemikian detail tiap sisi kehidupannya dan perlu
jadi panutan bagi para pembaca atau penontonnya.

Memang ada hukum besi di antara orang-orang pers bahwa salah satu syarat berita yang layak adalah jika menyangkut tokoh penting (name makes news, begitu doktrinnya). Kalau definisi layak berita salah satunya adalah menyangkut soal nama-nama besar, memang menurut sejumlah orang media, dua kasus yang diangkat dalam permulaan tulisan, masuk dalam kategori berita pula. Mereka-mereka ini akan berkilah, "Kalau toh si sumber menolak tudingan tersebut, itu pun sudah jadi berita."

Hukum besi macam ini sendiri memang harus dicermati dengan kritis, seberapa jauh sebuah institusi bernama media, dan mereka yang berprofesi sebagai jurnalis punya hak untuk masuk dalam kehidupan pribadi seseorang (terutama karena dia adalah orang terkemuka, atau ternama, atau seorang selebriti). Rasanya persoalan ini jarang
diangkat ke permukaan dan penulis merasa sudah waktunya ada waktu yang sedikit dicurahkan untuk membicarakan masalah ini.

Beberapa minggu lalu, Komisi I DPR mengundang sejumlah artis ke DPR dan dari pertemuan itu muncul keluhan dari para artis bahwa media banyak membulan-bulani mereka dengan berbagai pemberitaan yang sudah mengoyak hidup pribadi seorang artis. Tak kurang entertainer seperti Dedy ÆMiingÆ Gumelar dan Ayu Azhari pun mengeluhkan kehidupan pribadi mereka yang disobek-sobek dengan aneka berita di media massa.

Leviathan yang menghibur
Fenomena kehidupan artis yang diangkat ke permukaan lewat media massa bukanlah perkara baru. Itu sudah terjadi sejak puluhan tahun lalu, dan sebagaimana definisi berita diungkap di atas, maka sejak pemberitaan dijadikan industri hal tentang kehidupan artis pun menjadi akrab dengan pembacanya. Namun, fenomena makin maraknya
kehidupan pribadi diangkat ke permukaan, tak bisa dilepaskan dari maraknya industri media di Indonesia selepas represi puluhan tahun di bawah rezim Soeharto.

Memang membaca kehidupan artis-yang dibayangkan masyarakat sebagai dunia gemerlap, penuh kecantikan, kegantengan, dan kekayaan materi-sangatlah menarik. Masyarakat selalu ingin tahu macam apa kehidupan pribadi seorang artis yang di layar kaca tampil dengan sangat meyakinkan dan tampil sangat cantik. Memang, salah satu fungsi
media ketika ia dirumuskan adalah juga untuk memberikan hiburan kepada masyarakat.

Namun, masalahnya ada dua hal. Pertama, seberapa jauh institusi media dan profesi wartawan bisa masuk dalam urusan-urusan kehidupan pribadi (dalam hal ini tidak hanya menyangkut para artis, bisa para pejabat, atau politisi) serta apa pula urusannya untuk mengurusi kehidupan pribadi seseorang. Kedua, walaupun berita-berita tersebut
dikategorikan menghibur daripada memberikan informasi-apalagi pendidikan-sebagai fungsi lain dari media massa, namun apakah benar bahwa masyarakat melulu membutuhkan hiburan dan perlu terus dihibur setiap hari sehingga melupakan banyak hal lain yang lebih penting dalam kehidupan mereka.

Dalam kaitan dengan hal terakhir ini, dunia hiburan bisa menjadi semacam "leviathan baru", "leviathan yang menghibur", yang mencengkeram masyarakat dengan hiburan setiap hari tanpa sadar bahwa ia telah melupakan banyak hal yang lebih penting dalam kehidupan ini. Penulis pernah mengungkapkan gagasan ini dalam tulisan lain ("Leviathan yang Menghibur", sisipan Bentara, Kompas, 2 Agustus 2002).

Memang situasi ekonomi terpuruk, pejabat tak habis-habisnya korupsi, anggota DPR lebih pikir diri sendiri daripada yang mereka wakili, dan buat sebagian orang ini menjadi legitimasi bahwa masyarakat kemudian perlu dihibur dengan berbagai tayangan tersebut. Namun apakah betul argumen ini bisa diterima?

Jangan-jangan ini hanya sekadar argumen yang dipakai mereka-mereka yang selama ini menangguk keuntungan dari gunjang-ganjingnya kehidupan para artis, melempar gimmick kepada artis agar terus bisa menulis atau menyiarkan sesuatu dari dunia tersebut. Kecurigaan lain yang perlu diwaspadai adalah maraknya intrusion of privacy ini lahir
dari persaingan antarindustri media pula. Semakin heboh, semakin banyak yang akan membaca atau menonton. Kehidupan pribadi para artis jadi komoditas yang enak dan laku dijual.

Tapi masalahnya, kenapa hanya perempuan yang lebih disoroti kehidupan pribadinya? Kenapa menjadi sangat penting untuk media tertentu dengan siapa sang perempuan ini berjalan, dengan siapa ia bergandengan tangan, dengan siapa ia makan bareng, atau dengan siapa ia tidur bareng?

Tayangan atau bacaan seperti itu hanyalah mengukuhkan stereotyping media terhadap perempuan yang tidak adil, tidak seimbang, dan menjadikan perempuan korban dalam sorotan media. Bias jender macam begini bukanlah baru, tapi justru perkembangan menunjukkan bahwa fenomena ini makin menekan para perempuan dan mengukuhkan citra dominasi atau tirani media atas perempuan khususnya dalam dunia hiburan. apitalisasi industri media pada akhirnya menjadi latar makin terpinggirkannya para perempuan dalam media.

Menentukan batas
Raymond Wacks, seorang guru besar hukum di University of Hongkong, menulis buku yang sangat menarik dalam kaitannya dengan kasus ini, Privacy and Press Freedom (Blackstone Press, 1995). Dengan mengutip C Munro, Prof Wacks menyebutkan sejumlah pemikiran yang perlu dipertimbangkan ketika media hendak mengangkat hal-hal pribadi
dari para selebriti kita, dengan terutama mengaitkannya dengan kepentingan publik.

Munro mengajukan sejumlah pertanyaan yang menantang: "Seberapa jauh pengaruh dari kecenderungan perilaku seks seorang dokter terhadap legitimasi sang dokter di mata pasiennya? Seberapa jauh pengaruh dari seorang guru sekolah yang memuja setan terhadap legitimasinya sebagai seorang guru di mata orangtua murid? Apakah ada
urusan publik yang dibahas ketika media menyuguhkan perilaku sesungguhnya dari para artis atau olahragawan, yang sering kali menjadi idola dari ribuan penggemarnya? Dan bisa pula seorang anggota parlemen mempunyai affair dan karenanya ia berbohong pada keluarganya seberapa jauh hal ini berpengaruh pada kepemimpinannya dalam parlemen
tersebut?

Sangat jelas di sini, perlu sangat dibedakan mana yang merupakan kepentingan umum dan mana yang merupakan kepentingan pribadi. Dan untuk itu media harusnya lebih mengutamakan kepentingan umum daripada kepentingan pribadi sang media.

Kalaupun seorang Bella Saphira adalah juga seorang wanita panggilan, so what? Kalaupun seorang Sarah Sechan telah hamil sebelum ia menikah, so what? Adakah kepentingan umum yang terlanggar di sana? Yang terjadi justru adalah kepentingan pribadi dari contoh-contoh ini yang menjadi sangat terganggu.

Buat kalangan media sendiri, praktik seperti ini menunjukkan media kurang peka membedakan mana soal yang bisa dikonsumsi umum dan mana yang merupakan hak pribadi sang selebriti. Bukan tak mungkin, sang selebriti menuntut balik pada media tersebut atas urusan pelanggaran hak pribadi.

Masyarakat pun rasanya perlu lebih jeli dalam menyeleksi konsumsi media yang ada di sekitar kita dan tak menelannya bulat-bulat. Apakah persoalan pacar baru seorang artis seksi lebih penting daripada masalah sejumlah bupati yang menjadi terdakwa dalam kasus korupsi di berbagai daerah? Apakah soal perselingkuhan aktor ganteng dan keren lebih penting dari soal kegagalan panen para petani di suatu tempat? Atau betulkah masyarakat lebih memilih mengonsumsi berita tentang pesta ulang tahun ratusan juta dari seorang aktor muda daripada ratusan juta yang sama yang bisa membangun puluhan sekolah untuk daerah konflik seperti di Aceh, misalnya. Berita-berita yang seolah-olah menghibur itu sering kali ibarat candu, terasa nikmat sehingga melupakan kita dari berbagai soal serius yang seharusnya memang kita hadapi. Itulah tesis yang dikemukakan oleh Neil Postman ketika ia menulis buku Amusing Ourselves Till Death (1985). Apa kita memang mau terbius terus-menerus dengan hiburan-hiburan di sekitar kita? (*)

Ignatius Haryanto
Wakil Direktur Lembaga Studi Pers dan Pembangunan di Jakarta

1 komentar:

Anonymous said...

wah mas har, artikel yang gres dan menarik sekali. Saya juga baru merhatiin, ternyata yang selama ini diekspos memang kebanyakan perempuan yah. Insightnya bagus banget karena memberikan wacana bahwa pers harusnya menjaga privasi/kepentingan pribadi, pertanyaan2 harus diarahkan kepada yang berpengaruh ke pertanyaan yang bisa menjadi konsumsi publik. Buku "Amusing Ourselves Till Death" juga kelihatannya menarik.. karena gak cuma berita-berita gosip gembel saja yang sering jadi candu buat kita. Chatting, friendster, facebook juga terkadang menghalangi diri kita untuk menjadi produktif. hehe.. termasuk saya sendiri juga merasakan banget XP

Copyright © agenda 18 All Right Reserved