Monday, May 2, 2016

Jejak Mata Pyongyang: Sebuah Catatan Perjalanan

oleh Bernadeta Niken



Judul Buku: Jejak Mata Pyongyang
Teks dan Foto: Seno Gumira Adidarma
Genre: Graphic Travelogue
Penerbit: PT. Mizan Pustaka
Tahun: 2015
ISBN: 978-979-17708-9-7

Pyongyang dikenal sebagai ibukota negara Republik Rakyat Demokratik (RRD) Korea. Secara politis bagi bangsa Korea, tidak dibenarkan atau dihindari menyebut 'Utara' dan 'Selatan', maka selanjutnya kita sebut saja RRD Korea. Berbeda dengan negara komunis lain seperti Rusia, Tiongkok, Vietnam, RRD Korea justru masih ortodoks dan tertutup dengan dunia luar. Maka menariklah bagi Seno Gumira Ajidarma (SGA) ketika mendadak ia menggantikan menjadi juri sebuah festival film di Pyongyang. Bersama 2 orang lain dari Indonesia yang filmnya ikut dalam festival Film Negara-Negara Non-Blok dan Berkembang Lainnya ke-8, SGA berangkat menuju Pyongyang. 10 tahun berlalu, SGA berpikir perjalanannya ke negeri komunis itu tidak boleh lewat begitu saja. Maka ia mengumpulkan semua dokumentasi dan ingatan akan pengalamannya di sana selama 17 hari.

Jangan mengharap sisi politis dalam kisah perjalanan SGA di buku ini, bukan pula mengenai film dari festival film yang dinilainya. Justru ia mengambil posisi sebagai seorang wartawan yang mengamati  dan menggambarkan sebuah negeri komunis ortodoks masih 'hidup' di jaman ini. Selain 1 tulisan pengantar dan 1 cerita pendek, ada 10 tulisan esai disertai foto-foto bidikan kamera manual Nikon FM2.

SGA mengisahkan perjalanannya menuju Pyongyang dari mengurus visa hingga menaiki pesawat 'gemuk' buatan Rusia tanpa pramugari di tulisan pertamanya. Lalu menikmati makanan yang disajikan tanpa menu di restoran tak bernama melainkan bernomor dan tinggal di lantai 42 sebuah hotel yang sepi. Televisi disediakan di dalam kamar, meski isinya hanya propaganda melalui film-film patriotik dan lagu-lagu mars.

Kisahnya makin seru saat SGA ditempel intel karena ia mulai gencar memotret sekeliling. Ia sering disodori pertanyaan-pertanyaan penuh selidik bahkan sering ditegur ketika sudah keterlaluan dalam memotret.

Sebuah pertanyaan tentang agama sempat dilontarkan sang intel. Ini membuat SGA terperangah karena ia datang dari sebuah negeri berketuhanan. Bangsa RRD Korea memang dikenal tak beragama, tapi  dalam pengertian SGA, Marxisme dan Leninisme berusaha dileburkan ke dalam ‘kearifan lokal’ melalui konsep Juche atau menentukan nasib sendiri dan bagaimana manusia menjadi tuan atas dirinya sendiri (Hal 21). Fungsi tuhan pun digantikan oleh sang pemimpin negara. Selain Pemimpin Besar, Kim II-Sung juga mendapat julukan Pemimpin Abadi. Seperti inilah yang didoktrinkan negara kepada rakyatnya.


Hitam Putih Pyongyang


Dalam foto-fotonya yang hitam putih, pembaca diajak membayangkan suasana di ibukota negara komunis itu. Baik lelaki maupun perempuan busana atasannya hampir selalu putih dan berlengan pendek. Sementara para pejabat berbaju putih lengan panjang dan mengenakan jas. Seperti tidak ada fashion di sana, atau terbatas sama sekali (Hal. 24). Warna busana pun tak jauh dari hitam, putih dan abu-abu. Warna semarak baru muncul ketika ada pagelaran tari kolosal. RRD Korea ingin menampilkan keberadaan artistiknya yang tinggi dalam tari kolosalnya. Meski demikian, kegiatan kesenian tetap diatur oleh negara. Anak-anak yang memiki bakat seni diasah untuk mendukung citra negara. Betapa berkuasanya negara ini terhadap kehidupan pribadi manusia.

Modernitas ala Komunis


Meski kapitalisme adalah musuh ideologi komunis, usaha untuk menjadi 'modern' bukan omong kosong bagi negara RRD Korea. Pemukian penduduk bersolek dalam wajah modern. Bakat-bakat seni digembleng untuk memamerkan pencapaian sebagai bangsa modern kepada dunia. Representasi modern pun diperlihatkan dalam berbagai kesempatan seperti pengalaman SGA di sebuah perpustakaan. Ia diminta menyebutkan sebuah buku dari Indonesia dan buku itu akan keluar sendiri dalam satu menit. Bukan menggunakan komputer untuk menunjukkan tempatnya disimpan, melainkan dari pengeras suara ke balik dinding perpustakaan. Memang belum satu menit buku dari Indonesia itu keluar, tapi yang dilihat SGA dari lubang kecil adalah para petugas yang bergegas ke sana kemari setengah berlari, mencari buku-buku yang judulnya disampaikan pengeras suara. Luar biasa!

Di lain kesempatan, SGA bersama petugas KBRI pernah menjumpai sebuah kasino di lantai dasar hotel tempatnya menginap. Ada orang berjudi, memasang taruhan dan segala macam. Seperti kemunafikan, dengan segala ideologi antikapitalismenya, negara justru mengelola permainan kapitalis seperti itu.

Di akhir perjalanan sebagai juri sebuah festival film, SGA masih sering tertegun melihat hubungan antara rakyat dengan negara. Rakyat yang terus-terusan dicekoki situasi revolusioner, bahwa mereka masih sedang berjuang demi kemakmuran dalam tekanan musuh-musuh mereka yakni imperialis Amerika Serikat dan segala anteknya. Dan betapa percayanya rakyat kepada apapun yang disampaikan negara (Hal. 112).

Memposisikan diri sebagai wartawan yang berusaha mengungkap ketertutupan, SGA tidak mau menilai negera ini. Di akhir tulisannya bahkan ia mengaku tak punya kapasitas untuk itu. SGA menyadari semuanya adalah pilihan yang diambil oleh negara RRD Korea.

Perjalanan selalu memberi kisahnya sendiri. Catatan perjalanan SGA ini mampu memberi kesan yang berbeda bagi pembacanya. Bukan tentang tempat yang harus dikunjungi ala buku traveling, tapi sebuah sisi lain kehidupan. Dibalut dengan tulisan ringan bercerita dan disertai foto-foto serta poster,


Jejak Mata Pyongyang memberi sudut pandang lain dari sebuah negara komunis.


0 komentar:

Copyright © agenda 18 All Right Reserved