Jumpa A18 dengan Linda Christanty
oleh Jenni Anggita
Jumpa terakhir A18 dengan Linda Christanty menutup tahun 2014 ini
dengan semangat menggelora untuk menghasilkan karya-karya bagus.
Tepatnya tanggal 20 November 2014 dengan menumpang Prasetiya Mulya
berkat Wiwiek, kami mendapatkan satu kelas bertaraf VVIP untuk diskusi. Maka,
setelah Mas Har (Ignatius Haryanto) dan Mbak Linda datang, kami langsung
memulai diskusi dengan pertanyaan yang dimulai dari Tita. Tita mulai dengan
pertanyaan bagaimana menghadapi narasumber yang adalah korban. Kemudian, lanjut
Wiwiek dengan pertanyaan bagaimana memilah data untuk menulis jurnalisme dan
sastra.
Linda Christanty, selain pernah menjadi wartawan di Aceh dengan
segudang pengalaman menegangkan, seru, dan lucu, dia juga menulis cerpen-cerpen
yang bagus. Kumpulan cerpen pertamanya berjudul Kuda Terbang Maria Pinto mendapat penghargaan Khatulistiwa Literary
Award kategori prosa pada tahun 2004. Selanjutnya, dia kerap kali diundang
sebagai pembicara sastra dan juri untuk lomba sastra.
Pertama kali Linda menginjak Aceh, satu tahun pascatsunami, tahun
2005. Dia mengaku ke sana karena ada kesempatan. Ada tawaran lembaga donor
untuk membangun Aceh. Tugasnya adalah selama tiga tahun meliput kerja lembaga
donor, memantau Aceh pascatsunami, dan pascaperdamaian dan demokrasinya. Jika
orang menyangka Linda nekat, dia menyanggahnya. “Saya penuh perhitungan.” Ada
alasan pribadi pula yang menyebabkan Linda yang berasal dari Bangka menyambut
tawaran itu, yaitu karena kakeknya, seorang pejuang perintis kemerdekaan
Indonesia, pernah selamat dan singgah di Aceh.[i]
“Ada situasi di Aceh korban tak punya suara. Selama konflik,
narasumbernya tentara, pascakonflik pun jarang tempat masyarakat bercerita,”
ungkap Linda mulai bercerita. Simpati kepada korban tentu ada, namun tak perlu
berlarut-larut. Harus ada sikap kritis. Tentu, awalnya kita datang tidak dengan
tangan kosong sama sekali. Dipelajari terlebih dahulu. Seringkali kesulitan
terletak pada narasumber yang tidak bersedia diwawancarai, sementara dalam
jurnalisme, perlu mewawancarai banyak narasumber. Sering di Aceh berita yang
ditulis itu tidak sesuai dengan fakta maka penting bagi seorang wartawan untuk
langsung terjun ke lapangan. Tulisan yang di dalamnya mengungkapkan kebenaran
berdasarkan fakta dapat mencegah konflik.
Baginya Aceh adalah laboratorium. Di sana tak pernah damai, begitu
dinamis, usai konflik dan perdamaian, terjadi tsunami. Pada Mei 2003 usai tanda
tangan perjanjian damai, pemerintah indonesia menyatakan darurat militer di
Aceh dan mengumumkan ingin menghancurkan GAM untuk selamanya. Bisa dibayangkan
situasi Aceh saat itu yang karut-marut ditambah dengan telah berlakunya Syariat
Islam di Aceh tahun 2001. Padahal, tak pernah masyarakat Aceh meminta syariat
tersebut. Menurut Linda, semua itu untuk menguasai dan mengontrol masyarakat
Aceh.
Perempuan yang mengaku tertarik pada politik dan belajar mengenai
konflik itu juga menceritakan bagaimana kekuasaan dengan politiknya mengubah
kebudayaan masyarakat Aceh. Masyarakat yang awalnya heterogen, kompleks,
multibudaya, dan multietnis, kemudian berperang dan terjadi pengkotak-kotakan
oleh tentara. Misalnya, timbul kecemburuan sosial dan kebencian pada para transmigran
yang berasal dari Jawa sehingga muncul konflik horisontal.
Pengalaman Linda di Aceh juga berbuah sejumlah cerpen-cerpen yang
berisi tentang Aceh dan perempuan. Baginya, baik tulisan fiksi maupun laporan
jurnalistik, keduanya perlu memiliki pengetahuan dengan bahan yang cukup. Untuk
fiksi bahkan perlu riset, apalagi yang berlatar belakang kisah nyata. Untuk
tulisan nonfiksi tentu diperlukan cerita yang lengkap, yang rinci, ada
kronologisnya serta motif-motif. Usahakan ketika terbit tidak ada pembaca yang
mempertanyakan ceritanya lagi. Sementara fiksi, perlu ada misteri sehingga
membuat pembaca penasaran. Nonfiksi dibaca karena kita ingin mengetahui sesuatu
hal, sedangkan fiksi memungkinkan adanya misteri atau cerita yang menggantung
yang diselesaikan oleh pembaca. Silahkan pembaca berimajinasi. Fiksi memang
menyumbang struktur ke jurnalisme naratif atau jurnalisme sastrawi sehingga
lebih mengasyikkan dibaca. Yang penting dalam tulisan nonfiksi tidak boleh ada
yang diimajinasikan, harus 100% fakta. Jika tulisan nonfiksi ada 1% saja
imajinasi maka sudah menjadi tulisan fiksi.
Sejak kecil Linda memang sudah disuguhi bacaan-bacaan berat dari
ayahnya seperti Sarinah dan
Habis Gelap Terbitlah Terang. Selain itu dia juga melahap buku dan
majalah anak-anak dalam dan luar negeri seperti Lima Sekawan Enid Blyton,
Bobo, Hai, Intisari yang kemudian berkembang ketika memasuki SMP dan SMA
seperti karangan Jane Austin, Hugo, Pabo Neruda, dan Kafka. Kini, dia tengah
gandrung membaca karya-karya Oliver Sacks, seorang neurolog Amerika yang
menulis novel berdasarkan pengalamannya menangani pasien-pasiennya.
Banyak tulisan-tulisan Linda juga yang tercipta karena terinspirasi
dari peristiwa nyata yang dialaminya. Dia mengaku suka membaca buku psikologi
untuk mengembangkan karakter tokoh-tokoh ceritanya. Selain itu, dia juga terkadang
menggunakan karakter orang-orang terdekatnya untuk menciptakan tokoh dalam ceritanya.
Pembicaraan berlanjut lagi ke Aceh, Jenni sempat menanyakan dampak
media, tempat Linda bekerja dalam mebangun Aceh. Waktu singkat Linda berada di
Aceh yang kurang dari 10 tahun ditambah dengan media yang tidak masif memang
sulit. Namun, semua tergantung siapa sasaran pembacanya. Waktu itu sasaran kami
adalah pengambil kebijakan, dosen, dan pengusaha. Media akan efektif apabila
tahu sasarannya, meskipun tidak dapat memepengaruhi secara masif. Di sana,
Linda sempat memperpanjang masa kerjanya 1,5 tahun tanpa bantuan donor.
Ternyata hal itu dirasa sulit dari waktu ke waktu.
Ignatius Haryanto juga mengungkapkan keprihatinannya terhadap Aceh.
Dia menyulut pertanyaan di akhir, bagaimana mengubah Aceh, apakah dengan
memperkuat perempuannya? Linda menjawab dengan sangat diplomatis. Menurutnya,
perlu ada gerakan bersama. Kesulitannya terletak pada orang-orang Aceh. Posisi
mereka dilematis. Namun, jika masyarakat mau dan bersatu untuk mendesak
pemerintah, Aceh bisa berubah. Khususnya terkait diberlakukannya Syariah Islam
di sana. Pemerintah harusnya dapat mencabut hukum tersebut ketika hukum itu
tidak memenuhi asas keadilan dan kemanusiaan.
Elite setempat memanfaatkan kondisi itu. Perempuan dan anak-anak yang
paling dirugikan. Ketika Linda berusaha bicara pada kaum perempuan mengenai
syariah, mereka justru menolak dan mengatakan tak perlu membahas hal tersebut. Mayoritas
orang-orang Aceh tak mau bicara isu kekerasan atas nama agama di sana. Ketika
ditanya hal yang sederhana, berani atau tidak lepas jilbab, mereka akan
menjawab tidak berani. Selain itu, potensi konflik selalu ada dari
kelompok-kelompok radikal. Semua tergantung pemerintah. Linda juga melontarkan
keprihatinannya pada generasi mendatang mengenang Aceh seperti apa. Padahal dulu,
kita bisa melihat Cut Nyak Dien misalnya, perempuan yang memperjuangkan Aceh
dari serangan Belanda.
Perbincangan kami tutup dengan menanyakan kegiatan Linda sekarang ini,
selain kegiatan sastranya. Siapa sangka kalau sekarang dia bekerja di sebuah
majalah fashion. Linda juga sempat
menceritakan pengalamannya meliput fashion
di Shanghai dan seputar plagiarisme yang tengah melanda tempatnya bekerja. Pengalaman
baru yang juga tak kalah seru dan lucu. Barangkali cerpen-cerpen Linda
selanjutnya berkaitan dengan dunia
fashion.
Terima
kasih mbak Linda, diskusi yang sangat menyegarkan, penuh tawa, dan menginspirasi. Sampai jumpa lagi. O ya,
kami juga sempat meminta Linda bersedia menjadi pembicara di pelatihan A18
selanjutnya...
[i] Kakek saya, Tubagus Abdul Malik Ismail, seorang yang tidak pernah tunduk. Menurut keterangan bekas ajudan pribadinya Amaruddin Jakfar kepada Ayah saya, Kakek dibuang Belanda ke Palembang menjelang Jepang berkuasa. Setelah Belanda menyerah kepada Jepang, dia pulang ke Pulau Bangka. Ternyata di Pulau Bangka Kakek ditangkap oleh tentara Jepang dan dibuang lagi ke Palembang. Di sana dia dipaksa menjadi romusha untuk membangun rel kereta api di Tanjung Enim. Kakek kemudian memimpin pemberontakan romusha melawan tentara Jepang di Tanjung Enim. Banyak romusha dan tentara Jepang terbunuh akibat pemberontakan itu. Sisa romusha yang masih hidup melarikan diri ke arah Jambi. Namun, hanya dua orang yang selamat dan akhirnya sampai di Aceh, yaitu Kakek dan temannya, Mamat bin Sanip (http://www.lindachristanty.com/index.php/blog/post/kakek-saya-opa-manusama-dan-opa-willem-oleh-linda-christanty).
0 komentar:
Post a Comment