Yang Melukai Halimunda, Kerabat Macondo Itu
Tentu judul di atas akan mengingatkan anda pada dua novel tebal yang sempat menarik perhatian para penikmat sastra dan buku itu. Ya benar! Macondo adalah kota imajiner dalam Seratus Tahun Kesunyian (STK) karya Gabriel Garcia Marquez dan Cantik Itu Luka (CIL) karya Eka Kurniawan berkisah di Halimunda. Tentu sudah sering kedua tempat dan kedua karya ini dibahas dalam berbagai kaca mata pembacaan. Karya sastra memang tak kering untuk dibahas. Lihatlah Layar Terkembang, Romeo dan Juliet, atau Madame Bovary. Apakah ketiganya sudah bosan diperbincangkan? Menurut hemat saya tidak.Kreatifitas pengarang bisa dipandang sebagai kerja tanpa sadar dalam mengungkapkan sesuatu yang tidak disadari pula. Jadi, karya sastra mengungkapkan sesuatu yang tak disadari dalam keadaan yang tak sadar (Kutha Ratna, 2008). Di sinilah peran pembacaan karya nampak; mencari yang tak disadari, buah dari kerja yang tanpa disadari pula. Maka, setiap pembacaan dengan sudut pandang apa pun sangat mungkin mengungkapkan hal-hal yang menyusup tanpa sadar ke dalam karya sastra. Sama dengan hasil pembacaan saya atas STK dan CIL yang berkelindan-bersetubuh dengan hasil pembacaan saya atas hasil pembacaan-pembacaan terhadap STK dan CIL lainnya yang terkristalkan dalam tulisan ini; mencoba mengungkapkan sesuatu yang (mungkin) tak terungkap.
***
Kenapa saya sebut Halimunda adalah kerabat Macondo? Pasalnya, dalam pembacaan sepintas pun terlihat bagaimana kesamaan antara keduanya; pertama sama-sama menggunakan gaya realisme magis. Realisme magis sendiri merupakan gaya penulisan yang menggunakan surealisme dan realisme secara bersamaan serta tak terpisahkan. Istilah ini diambil dari kasanah seni lukis oleh kritikus sastra untuk mencandrakan karya Marquez, Grass (The Tin Drum) Borges, Okri serta Eka Kurniawan. Elleke Boehmer (dalam Bandel, 2003) mengatakan, bahwa gaya realisme magis sangat cocok bagi penceritaan tanah-tanah pascakolonial untuk menceritakan dirinya dengan kaca matanya sendiri. Kedua, STK dan CIL punya atribut-atribut cerita yang hampir-hampir mirip.
Salah satu yang paling kentara adalah kedua novel ini menyertakan pohon silsilah. STK tentang silsilah keluarga Buendia sedangkan CIL silsilah anak cucu Ted Stammler. Keduanya mengambil latar tempat kota imajiner, seperti yang diungkapkan pada awal tulisan ini. Peristiwa moksa terdapat pada keduanya; Maman Gendeng di CIL dan Si Cantik Remedios pada STK. Perlindungan terhadap keperawananpun terdapat pada keduanya; Ursula dengan “…celana dalam yang panjang buatan ibunya dari kain layar yang diperkuat dengan tali kulit yang disiliang-menyilang dan bagian depannya ditutup dengan gesper besi tebal.” (STK, hal.27). Sedangkan Alamanda dalam CIL menggunakan “…celana dalam terbuat dari logam dengan kunci gembok yang tampaknya tak memiliki lubang anak kunci untuk membukanya.” (CIL, hal. 248) Bahkan, Alamanda menggunakan semacam mantra khusus. Perkawinan sedarah muncul tak putus-putus dalam kedua novel ini. Si Cantik Remeditos muncul kembali dalam persamaan berikut; keluguan dua tokoh perempuan yang cantiknya tak terkira, bahkan akibat kecantikan itu, laki-laki yang melihatnya dipastikan akan demam tinggi dalam beberapa minggu; Rengganis Si Cantik dalam CIL dan Si Cantik Remeditos dalam STK. Bedanya, Si Cantik Remeditos akhirnya moksa. Berarti, kecantikan dan keluguannya tak tersentuh apa pun. Sedangkan Rengganis Si Cantik diperkosa oleh saudaranya sendiri, Krisan, hingga melahirkan seorang anak. Kedua novel berakhir dengan pandangan yang cenderung nihilis; STK dengan ketak-bersisaan ‘dinasti’ keluarga Buendia di Macondo dan CIL diakhiri dengan kenyataan, bahwa kutukan Ma Gedik ternyata akan terus berlanjut.
***
Menengok pendapat Elleke Boehmer di atas, tentu kedua novel menjanjikan sesuatu ketika dibaca dengan sudut pandang postkolonialisme. Kaca mata satu ini yang adalah varian postmodernisme mengandaikan adanya pengetahuan sejarah kolonial dari tanah pascakolonial tempat karya itu lahir. Maka dengan penuh kerendahan hati, tulisan ini akan lebih fokus pada CIL dengan terkadang menengok sebentar pada STK.
Adalah menarik ketika melihat tokoh sentral CIL adalah Dewi Ayu. Walau pun banyak yang mengatakan, bahwa cerita ini bercerita tentang keturunan Ted Stammler, kata Stammler sendiri sangat jarang muncul. Saya lebih condong menyebut cerita ini sebagai kisah Dewi Ayu dan keturunannya. Dewi Ayu adalah seorang indo tiga perempat Belanda, seperempat pribumi Indonesia. Indo merupakan warisan kolonial yang paling nyata. Biasanya, seorang Indo (pada masa penjajahan) akan lebih condong pada darah Belandanya. Ini akan ditujukan pula dengan penggunaan nama Belanda di antara mereka. Sekolah-sekolah modern barat a la Belanda sangat berperan dalam konstruksi pembeda-bedaan ini. Sekolah-sekolah Belanda bahkan akan menamakan semua muridnya dengan nama Belanda. Minke dalam tetralogi Buruh Pramoedya serta Corrie dalam Salah Asuhan pun demikian. Adalah sesuatu yang aneh ketika Henri Stamler dan Aneu Stamler menamai anak mereka Dewi Ayu; sebuah nama yang sangat pribumi. Namun baiklah kita menerima Dewi Ayu sebagai Indo yang lebih memilih Indonesia ketimbang Belanda. Hal ini semakin dibuktikan dengan kekeras-kepalaan Dewi Ayu untuk tetap tinggal di Halimunda ketika semua keluarganya meninggalkan Indonesia.
Dewi Ayu bisa dilihat pula sebagai simbol tanah Indonesia pasca VOC yang masih tetap eksotis, indah dan menantang untuk disetubuhi. Kolonialis cenderung menampilkan diri sebagai laki-laki, maskulin, agresif dan tanah jajahan kerap disimbolkan dengan perempuan perawan, cantik rupawan, lugu dan siap ditaklukan laki-laki.
Kolonialisme Indonesia dalam CIL adalah Indonesia pasca VOC (yang ditandai dengan Dewi Ayu: nama Indonesia dengan darah campuran: warisan VOC). Maka tak heranlah ketika Komandan Bloedenkamp (mewakili Jepang) menghadapi Dewi Ayu (simbol Indonesia) yang menyerahkan diri tanpa syarat, Komandan itu memperkosa dengan “…menyerangnya dengan ganas, langsung tanpa basa-basi…” (CIL, hal. 77) sedangkan Dewi Ayu hanya bisa menghindar ketika laki-laki itu hendak mencium bibirnya. Itulah kali pertama Dewi Ayu benar-benar disetubuhi laki-laki.
Dalam ketakberdayaan sebagai “pelacur karena keadaan”, Dewi Ayu bukan tak melakukan perlawanan. Berkali-kali ketika prajurit Jepang menyetubuhinya, Dewi Ayu hanya berbaring saja, tidak melakukan apa pun, seakan pasrah, sama sekali tak berusaha mengimbangi permainan cinta menggebu-gebu para prajurit itu. Nampak di sini kemiripan cara perlawanan Dewi Ayu dengan perlawanan a la Gandhi.
Selepas kepergian Jepang, Dewi Ayu beberapa kali diperkosa para gerilyawan. Ketika kemerdekaan Indonesia (yang ternyata di Halimunda diketahui belakangan) Dewi Ayu menjadi pelacur primadona di Halimunda. Bila masih mau mengartikan Dewi Ayu sebagai tanah negara pascakolonial Indonesia ini, ditemukanlah betapa kita semua adalah pengkhianat tanah ini. Dewi Ayu bukan saja ditiduri prajurit Jepang, tubuhnya juga dinikmati tentara gerilya, preman kesohor Halimunda (Maman Gendeng), orang yang ditunjuk sebagai pemimpin TKR (Shondanco) dan juga oleh hampir semua lelaki di Halimunda.
Tanah Indonesia yang disimbolkan Dewi Ayu tetap menjadi tanah jajahan, tanah kolonial bahkan ketika ia sudah merdeka. Para imperialis sekarang adalah anak-anak tanah itu sendiri. Maman Gendeng, Shodanco, Kamerad Kliwon dan semua lelaki yang meniduri pelacur Dewi Ayu adalah simbol hampir semua orang di negeri ini yang di satu sisi begitu hebohnya merayakan hari kebangkitan nasional, namun di sisi lain mewarisi dan terus melestarikan semangat imperialis. Maka, siapa yang melukai Halimunda, kota imajiner representasi Indonesia itu?
CIL mengakhiri dunianya dengan sebuah kenyataan, bahwa kutukan Ma Gedik akan terus berlanjut. Itu berarti, semangat imperialis yang terus dilestarikan dan diidap itu akan terus ada. Maka, ia pun sebenarnya menyisakan pertanyaan ; apakah kita harus hidup terus dalam kutukan atas warisan kolonial ini?
-Pendar Pena No. 6 thn I Mei 2008 (edisi sastra)
0 komentar:
Post a Comment