Tuesday, March 18, 2008

Hadiah Untuk Lautku

Langit masih pekat. Sejauh mata memandang hanyalah kegelapan yang tampak, selimuti bumi di tengah deru kesunyian. Perlahan tapi pasti, semburat lemah kemerahan berpendar lembut dari kedalaman cakrawala. Berpasang-pasang mata menanti penuh harap. Berat tubuh diserahkan pada pagar anjungan, sebuah kamera stand by di tangan, dan mata awasi lekat-lekat. Cahaya itu berpendar sedikit lebih terang. Saat berikutnya sang bintang mengintip dari balik singgasananya. Tangan-tangan bergerak lincah, arahkan bidikan tepat sasaran dan mulai menembak. Kehidupan di atas mulai tercipta, membangunkan kehidupan lain di bawahnya. Makhluk terpintar di dunia itu tiba-tiba saja meloncat ke atas, tembus batas antardunia, menyatu dengan dunia atas. Kemunculannya yang mendadak itu menimbulkan decak kagum para penghuni dunia atas, melebarkan senyum yang telah terbentuk semenjak cahaya kehidupan itu menampakkan diri. Makhluk itu kembali menyapa dan tanpa menyia-nyiakan waktu, detik yang menyenangkan itu kan jadi abadi di atas selembar kertas.

Kau tahu? Itulah salah satu mimpiku. Aku dan teman-teman berdiri bersandar pada anjungan pagar, menikmati hangatnya mentari yang baru saja menggantikan rembulan, dan menghabiskan roll film di kameraku, mengabadikan saat-saat lumba-lumba yang lincah itu melompat ke permukaan air dengan latar belakang matahari terbit.

Namun, tampaknya mimpi itu semakin mustahil bagiku. Bagaimana kita sebagai makhluk darat dapat menikmati laut bila makhluk laut sendiri tidak dapat lagi menikmati dunia mereka? Lihat saja lempengan hitam kerak minyak mentah yang pernah menutupi sepajang pantai di muara Cimanuk Lama, Indramayu, pada Januari 2003 lalu. Buruknya lagi, pencemaran ini juga merambat sampai ke Pantai Tirtamaya yang merupakan aset wisata kebanggaan Indramayu.

Meskipun usaha pembersihan kembali muara Cimanuk Lama dan daerah sekitarnya telah dilakukan, daerah itu telah mengalami perubahan. Ekosistem di sana terganggu. Ikan-ikan keracunan dan terumbu-terumbu karang semakin sulit hidup. Hal ini tentu saja menurunkan harga daerah wisata tersebut. Pertama-tama mereka harus menutup sementara areal tersebut selama proses pembersihan. Kemudian mencoba memulihkan kehidupan di bawah air tersebut. Barulah kemudian mereka dapat berharap para wisatawan akan kembali mengunjungi daerah tersebut. Sungguh saat-saat yang tidak menyenangkan.

Aku memang bukan anak pantai yang mengalami sendiri perjuangan mempertahankan sekaligus dua alam kehidupan, laut dan darat (kelangsungan hidup para penghuni laut sekaligus kelangsungan hidup para pengelola taman wisata laut yang menggantungkan hidup pada taman wisata tersebut). Perasaan ini semakin sulit diselami ketika untuk mempertahankan hidupkita malah menghancurkan kehidupan lain, buka memperjuangkannya seperti yang dilakukan para pengelola taman wisata. Dapatkah kau bayangkan? Apa yang dapat mereka jual bila areal wisata tersebut mengalami kerusakan seperti di Indramayu?

Bayangkan bila hal serupa terjadi serentak juga di Taman Wisata Laut Bunaken dan taman laut lainnya. Belum lagi usaha penangkapan ikan yang merusak di berbagai perairan. Para nelayan masih saja membandel dan mencuri pakai berbagai bahan peledak, pukat harimau, atau alat-alat lainnya untuk mendapatkan hasil tangkapan sebanyak mungkin.semakin banyak hasil tangkapan, semakin berbangga pula para nelayan. Mereka merasa berhasil menaklukkan laut, seperti halnya nenek moyang kita. Namun, apakah kebanggaan yang dirasa para nelayan masa kini sama dengan kebanggaan nelayan kita terdahulu? Apakah merusak laut demi hasil tangkapan yang tak mau disebut sebagai menguras habis hasil laut dapat dibanggakan? Sudah begitu banyak media yang menjerit melihat kejadian ini. Tak perlu lagi kujelaskan betapa berbahayanya peralatan-peralatan tersebut.

Berbagai alternatif cara pemanfaatan hasil laut telah ditawarkan. Namun, apakah cara-cara tersebut cukup aman? Lihat saja usaha penangkapan ikan-ikan hias di salah satu perairan lain di Asia Tenggara ini. Di sana para nelayan menggunakan gas karbon dioksida untuk membius ikan-ikan hias sehingga mudah ditangkap. Memang, hasil tangkapan mereka bertambah. Dengan demikian mereka dapat memperoleh lebih banyak dari hasil penjualan beragam ikan menarik tersebut. Hanya saja mereka berusaha menutup mata terhadap resiko penangkapan tersebut. Ikan-ikan yang ditangkap tersebut tak sedikit yang berumur pendek, mati begitu saja setelah berhasil terjual. Terumbu karang yang menjadi rumah ikan-ikan tersebut juga merasakan efek dari gas karbon dioksida yang disemprotkan tersebut. Bagaimana mungkin? Para pemburu mengerjar ikan-ikan hingga ke celah-celah terumbu karang. Di sanalan para pemburu menyemprotkan karbon dioksida pekat. Setelah ikan-ikan itu pingsan, mereka dimasukkan dalam plastik dan siap dijual di daratan. Karbon dioksida tersebut telah membuat terumbu karang kesulitan mendapatkan oksigen dan mati perlahan-lahan. Tidak ada terumbu karang berarti tidak ada rumah bagi makhluk laut kecil yang biasa berlindung di antara tentakel-tentakelnya. Tidak ada makhluk laut kecil berarti tidak ada makanan bagi ikan-ikan yang lebih besar. Dan begitulah rantai kehidupan di laut terputus.

Mudah saja bagi instansi kelautan untuk memasang spanduk dan menebarkan tulisan di berbagai tempat: Selamatkan Terumbu Karang atau Selamatkan Ekosistem Kelautan. Namun, seberapa efektifkah seruan-seruan tersebut? Kebanyakkan orang hanya membaca tulisan-tulisan tersebut sambil lalu dan tak mau ambil pusing. Mengapa? Hal ini dikarenakan ketidaktahuan masyarakat terhadap kondisi laut kita, laut Indonesia terutama. Padahal, laut merupakan salah satu sumber daya alam yang dapat menyumbang banyak bagi kehidupan kita.

Program ‘membuka mata’ inilah yang sebaiknya lebih digalakkan. Lalu, kita bertanya-tanya, bagaimana caranya menyadarkan masyarakat perihal kelautan ini? Promosi keindahan laut sebenarnya memiliki daya tarik tersendiri yang mampu menggerakkan masyarakat untuk memelihara alam kelautan. Penayangan liputan mengenai kelautan, misalnya saja program national geographic channel - under the sea, sebenarnya mampu menarik minat masyarakat. Namun, tak dapat dipungkiri bahwa proram telvisi semacam itu dianggap membosankan. Oleh karena itu, menjadi tugas pemerintah bersama para pemerhati lingkungan kelautan untuk membuat program semacam itu menjadi lebih menarik, mungkin dengan lebih mengekspos potensi laut nasional Indonesia.

Semoga saja dengan informasi yang cukup mengenai kekayaan laut Indonesia dan potensi-potensinya, masyarakat perkotaan yang bosan dengan asap kota memikirkan kunjungan ke berbagai taman wisata laut yang tersebar di Indonesia ini sebagai alternatif tujuan liburan. Kunjungan ini selain diharapkan dapat memuaskan keinginan manusia untuk menyatu dengan alam dan mendapatkan penghiburan dari alam, juga bertimbal balik dengan sumbangan ‘perhatian’ dari para wisatawan pada objek wisata itu sendiri.

Program ini akan semakin baik bila diimbangi dengan sarana dan prasarana yang menunjuang. Jalan yang memadai, tidak perlu mewah, bahkan terkadang tanah padat yang sedikit dirapikan, dapat menambah kenikmatan berkunjung. Akan lebih baik bila penduduk lokal turut terlibat dalam program ini. Mereka dapat berpartisipasi dengan menjadi pemandu wisata atau pengelola rumah singgah dan mengakomodir kebutuhan sehari-hari para wisatawan dengan hasil alam yang tersedia di tempat tersebut. Dengan demikian, selain melestarikan areal wisata kelautan itu sendiri, kekhasan suatu daerah wisata pun dapat ditonjolkan yang juga dapat semakin memupuk rasa cinta tanah air.

Pemberian hadiah wisata ke taman-taman laut juga dapat dipikirkan sebagai alternatif cara pelestarian laut. Selama ini hadiah suatu lomba atau sayembara biasanya berkisar pada tiket wisata ke Bali, voucer menginap di hotel bintang lima, atau voucer makan di restoran ternama. Mengapa tidak diadakan hadiah wisata ke taman laut Bunaken atau ke Pantai Tirtamaya di Indramayu? Orang berkata bahwa promosi lisan biasanya berhasil lebih baik. Tidak tertutup kemungkinan bahwa setelah kunjungan tersebut, para peserta wisata mempromosikan daerah wisata pada rekan-rekannya dan semakin banyak lagi wisatawan yang berkunjung yangberarti semakin besar pula dana yang diperoleh untuk pemeliharaannya - dengan catatan tidak disalah gunakan.

Pepatah lama menyebutkan ‘tak kenal maka tak sayang’. Dengan program pengenalan semacam ini diharapkan semakin banyak warga Indonesia yang sayang akan negaranya. Semoga saja rasa sayang yang mungkin tercipta ini memberi dampak psikologis yakni pengalihan energi masyarakat Indonesia yang beberapa tahun terakhir ini ‘panas’ menjadi energi untuk mengembangkan ‘bakat terpendam’ Indonesia – sumber daya alam yang selama ini terlupakan. Bukankah lebih baik aksi pengembangan taman wisata daripada aksi pengrusakan atau mogok makan?!

Laut Indonesia telah memberi begitu banyak kehidupan bagi masyarakatnya, di laut maupun di darat. Sudah sepentasnya kita memberi hadiah yang setimpal bagi mereka. Aksi pemeliharaan dan pengembangan ini dapat menjadi hadiah yang manis bagi alam kelautan kita, juga hadiah yang manis bagi keturunan kita kelak.


*Juara III Lomba penulisan Esei tingkat remaja/pelajar SMU se-Jabotabek dan Wilayah Sangatta Propinsi Kalimantan Timur yang diselenggarakan oleh Dharma Wanita Persatuan Kementrian Lingkungan Hidup dan PERISKA P.T. Kaltim Prima Coal (KCP) (2004)

0 komentar:

Copyright © agenda 18 All Right Reserved