Saturday, July 19, 2008

Haruskah Aku Menangis?

Mencermati geliat pendidikan di indonesia, ada masa di mana pendidikan itu terasa "bergairah". Sayangnya gairah itu selalu disertai dengan kesedihan dan tak jarang ada amarah di dalamnya. Hal itu dikarenakan tidak sedikit pelajar yang harus menelan pil pahit dari Ujian Akhir nasional. Bagaimana tidak jika hampir setiap tahunnya ada ratusan bahkan ribuan siswa di indonesia harus mengulang atau bahkan tidak lagi melanjutkan pendidikannya setelah hampir tiga tahun mengenyam pendidikan.

Ironisnya, pelajarlah yang selalu menjadi kambing hitam dari permasalahan tahunan itu. Mereka dicap pemalas, tidak belajar dengan tekun atau bahkan tidak berprestasi. Jika cap-cap itu menempel, lalu mereka harus apa. Padahal, pada kenyataanya yang gagal menembus dinasti Ujian Akhir Nasional itu, tidak sedikit pelajar-pelajar yang memiliki banyak prestasi bahkan unggul dalam pelajaran.

Orientasi dari Ujian Akhir Nasional terlihat hanya pada hasil. Tujuannya yang dibungkus dengan istilah "untuk menguji kemampuan" hanyalah menjadi sebuah kamuflase dari lemahnya penilaian pada UAN. Maka, tidak salah lah jika tidak sedikit orang yang terjebak pada budaya instan yang menutup sebelah mata proses yang dilakukan untuk mencapai tujuan.

Kita sering kali tidak menyadari bahwa sebenarnya proses lebih dahulu dari pada hasil. Yang lebih banyak kita pahami adalah hasil merupakan ukuran untuk melihat bahwa seseorang mampu atau tidak. Sebagai sebuah analogi, saat seseorang lahir, yang petama kali dilakukannya adalah menangis bukan bernyanyi. Apakah kita tau saat anak itu lahir bahwa ia akan menjadi seorang penyanyi. Proseslah yang akan menunjukan bahwa ia akan menjadi penyanyi atau tidak.

Lemahnya kebiasaan yang mengabaikan proses membuat ungkapan-ungkapan seperti, “kamu anak bodoh”, ”kamu anak malas”, “kamu anak tidak berprestasi” mudah terucapkan. Jika sebuah proses itu di hargai maka niat untuk berusaha pun akan tumbuh. Tetapi jika tidak ada rasa penghargaan
terhadap proses, maka akan semakin banyak orang berpikir, ”untuk apa bersusah payah mengusahakan sesuatu jika kemungkinan gagal masih ada?”

Untuk dapat membawa penilaian pada orientasi proses, perlu ada inovasi terhadap bentuk dari UAN. Selama ini bentuk yang ada adalah soal-soal pertanyaan, dan yang dijadikan nilai adalah benar dan salah. Jika benar dapat nilai. Jika salah, ya sudah mau diapakan lagi? Untuk dapat mengarah pada orientasi proses maka bentuk ujiannya pun harus sesuai. Untuk ujian bahasa indonesia, siswa tidak selalu harus menjawab pertanyaan teoritis. Dapat saja dalam jangka waktu satu tahun, sendiri atau secara kelompok, mereka membuat kumpulan cerpen atau novel. Dari situ mereka akan lebih banyak belajar bahkan menerapkan teori-teori yang pernah diajarkan. Sekolah atau pihak penerbit umum dapat menerbitkan hasil mereka sebagai bentuk penghargaan kerja keras yang dilakukan.

Selain itu, untuk bidang matematika, pelajar dapat diuji dengan cara melakukan praktek mengajar untuk teman-temannya, adik kelasnya atau bahkan untuk anak-anak jalanan. Dengan berbagi ilmu seperti itu, dapat dilihat pehaman pelajar terhadap materi yang telah dipelajari. Dan yang pasti tidak hanya berguna untuk dirinya tetapi juga bagi orang-orang yang mendapat kesempatan dibantu dalam belajar.

Untuk dapat melakukan hal itu, peranan sekolah pun harus aktif melakukan proses dan memberikan penilaian objektif pada proses yang dilakukan pelajar secara berkesinambungan.

Semoga pendidikan di Indonesia tidak lagi menuai tangis dan kekecewaan dari peserta didiknya, namun kembali bergairah dan mampu mengargai serta memberi tempat pada proses yang dilakukan.

0 komentar:

Copyright © agenda 18 All Right Reserved