Media Massa: Dua Mata Pisau Dalam Agama*
Oleh: Gloria Fransisca
Katharina Lawi
Dalam
sebuah diskusi beberapa bulan yang lalu bersama Forum Muda Paramadina, saat
menonton film ‘The Imam and the Pastor’, saya
tergelitik dengan pernyataan-pernyataan yang dipaparkah oleh pendeta Jacky Manuputty
dan teman-teman dari Gong Perdamaian bahwasanya media juga berperan
besar dalam memupuk konflik agama. Berdasarkan beberapa kisah yang dilontarkan
oleh peserta yang hadir, saya pun yang juga termasuk dalam salah satu peserta,
berkesimpulan media memang berperan besar dalam memupuk konflik. Hal ini
semakin ditunjang dengan kenyataan masih terjadi pencekalan dan kasus kekerasan
terhadap Ahmadiyah, Syiah, lalu pelarangan dan penolakan atas pembangunan gereja,
contohnya pembangunan gereja katolik Santa Bernadeth di Bintaro, Sudimara.
Padahal Izin Mendirikan Bangunan (IMB) sudah resmi dikeluarkan oleh pemerintah
selama proses penantian selama nyaris 15 tahun.
Tiba-tiba
seorang perempuan bernama Maria, seorang wartawan TEMPO yang juga turut hadir
dalam acara tersebut memberikan komentar. Sebuah tanggapan yang saya mencium
itu sebagai bentuk penyangkalan ketika media dianggap terlalu membingkai kasus
pemberitaan agama secara berlebihan dan menjadi pemicu konflik berkelanjutan.
Perempuan itu pun menyanggah bahwasanya konflik Agama di Ambon dulu bukannya
tanpa ‘apa-apa’, namun memang terjadi ‘apa-apa’. Dia mengisahkan pengalamannya
ketika meliput konflik di Ambon, dia terpisahkan dari rekan-rekan wartawan lainnya.
Para pewarta kabar tersebut dibagi-bagi, dipisahkan-pisahkan sesuai agamanya.
Mereka diamankan di desa-desa yang berlabelkan agama.
Mendengar
pernyataan perempuan itu, seketika perasaan saya diserbu kesalutan sekaligus
kekalutan. Saya juga seperti halnya perempuan itu, seorang katolik, dia seorang
jurnalis, dan saya (kelak) adalah jurnalis juga. Saya berpikir, apa yang
dialami perempuan itu mungkin saja akan menimpa saya di masa depan.
Menurut
Ayu Utami, novelis dan mantan wartawan, dia pernah berujar dalam salah satu
workshop penulisan, ‘dalam jurnalistik, fakta adalah suci’. Maka, dalam
memberitakan hal-hal terkait agama, seorang pewarta kabar harus ingat pada
prinsip fundamental ini, fakta adalah suci. Lantas,
bagaimana dengan kenyataan bahwa ‘fakta’ di media massa adalah hasil
konstruksi?
Fakta
yang kita asup dari media massa sesungguhnya adalah hasil konstruksi realitas.
Sialnya, dalam konteks fakta pemberitaan agama, ada jurang lebar antara
cita-cita agama menjadi pemberi harapan, menjadi cara hidup manusia (way of life), dan cara manusia memahami
dunia (Bellah : 2000) dengan fakta pemberitaan agama sengaka dieksploitasi
untuk menjadi alat politisasi, menjadi corong untuk menanamkan benih-benih
fundamentalisme. Oleh sebab itulah, media sesungguhnya berperan besar dalam
membantu meningkatkan pemahaman manusia dalam memahami dunia yang terus berubah
dan bahkan terkadang diluar kendali mereka.
Seperti
yang tercantum dalam kata pengantar editor buku ‘Wajah Agama di Media’ oleh Hanif Suranto dan P. Bambang Wisudo,
kini menjadi sangat relevan saat ini untuk mempertanyakan sejauh mana peran
media dalam turut mengembangkan kehidupan agama yang pluralis dan toleran.
Peran media dalam konteks ini pun menurut saya tidak akan pernah terlepas dari
perspektif berpikir pewarta kabar itu sendiri, seperti halnya kita mengingat
kisah kebalikan dari yang ditutukan Maria, wartawan TEMPO tersebut. Hal ini pun
tentu semakin diperkuat dengan laporan dari Setara Institut pada akhir November
2010 dari hasil opini publik disimpulkan sikap dan pandangan keagamaan
masyarakat Jabodetabek memperlihatkan kecenderungan intoleran. Saya hanya
terkesima dengan laporan ini, karena bukankah wilayah Jabodetabek boleh saya
katakan dihuni oleh manusia dari taraf kelas menengah. Apa yang menyebabkan
kelas menengah masih masuk dalam bagian yang cenderung intoleran ketika
memiliki banyak akses informasi dibandingkan masyarakat kelas bawah dan
masyarakat daerah?
Kelas
menengah hidup diantara bingkai-bingkai informasi, ketika kita belajar komunikasi
kita mengenal teori Agenda Setting,
bahwa media membingkai apa yang akan dicecokkannya kepada masyarakat. Di lain
pihak, ada pula teori Uses and
Gratification, bahwa publik justru memiliki kemampuan berkehendak sendiri
dalam memilih media mana yang akan diambil dan dibacanya. Teori keduanya adalah
benar, tetapi untuk kalangan kelas menengah yang aspek intelektualitasnya lebih
diprioritaskan maka saya berkesimpulan tentunya kelas menengah akan tergolong
dalam teori Uses and Gratification
tersebut. Sehebat apapun media menebar benih toleransi atau bisa juga
intoleransi, masyarakat sendiri yang bisa memilih untuk menuai yang mana.
Anehnya, masyarakat kelas menengah masih masuk dalam golongan intoleran.
Kejanggalan ini tentu perlu menjadi perhatian khusus.
Kita
tidak perlu lagi menutup mata, dengan perkembangan globalisasi dan era
transformasi komunikasi saat ini semakin mudah bagi media mempengaruhi pola
berpikir masyarakat. Social media
atau internet semakin melancarkan kampanye pluralisme tetapi di satu sisi juga
dipergunakan untuk menajamkan pemikiran fundamentalisme. Akibatnya
kecenderungan pemberitaan toleransi berbanding lurus dengan nuansa pemberitaan
yang cenderung ke arah kekerasan dalam keagamaan. Alhasil, pembaca yang terbius
akan turut berperilaku dalam konteks yang serupa dengan apa yang dibacanya. Tak
hanya itu, kognisi sosial tiap individu hasil bentukan keluarga juga turut
mempengaruhi cara seseorang berperilaku, merespon, dan mengambil keputusan.
Termasuk merespon dan berinteraksi dengan orang-orang yang secara identitas
keagamaan berbeda dengannya.
Maka
yang seharusnya disadari bahwa konteks Indonesia yang sangat plural ini
memerlukan metode baru bagi setiap lapisan masyarakat agar peka terhadap
pluralisme tersebut. Masyarakat memerlukan ‘ruang
belajar pluralisme bersama’ selain dari agenda-agenda media massa. Hal itu
adalah tugas keluarga selaku agen sosial primer individu, didukung oleh
pemuka-pemuka agama dan lembaga pendidikan dalam menggiring individu termasuk
pada keputusannya memilih media.
Oleh
sebab itu saya ingin menguliti media massa, lalu mengerucut kepada pekerja
media alias jurnalis tersebut sebagai individu. Saya meyakini bahwa bukan hanya
ideologi media saja yang akan mengarahkan jurnalis dalam menciptakan berita. Bukan
hanya fakta akan adanya tekanan ideologis dan tekanan kepentingan tersebut.
Seperti contoh harian Kompas dengan ideologi humanisme transendental sangat
mengempanyekan pluralisme, tetapi di lain pihak ada pula harian-harian online
yang marak beredar kini justru mengempanyekan ide-ide peperangan atas nama
Tuhan dan agama.
Latar
belakang individu itu sendiri juga turut mempengaruhi. Kita perlu berbesar hati
dan lapang dada mengakui keterbelakangan media saat ini adalah ketidakmampuan
media dalam mendidik dan mengasah profesionalitas pekerjanya. Hal tersebut
menjadi PR utama bagi instansi-instansi media massa dalam mendidik
jurnalis-jurnalis sehingga mereka kaya akan perspektif dalam meliput
kasus-kasus keagamaan. Langkah utama ini adalah fondasi bagi terciptanya
jurnalis yang terampil dan bisa menjadi pendekar-pendekar pencerahan bagi
publik.
Langkah
ini tentunya akan bertabrakan dengan prinsip-prinsip yang mengakar langsung
dalam diri jurnalis sebagai individu. Nilai-nilai dasar yang diterima sejak
kecil dari lingkungannya yang mungkin saja bersebrangan dengan apa yang
kemudian diterimanya. Media massa harus mengingat integritasnya dalam berkarya,
oleh sebab itu, diperlukan penyuluhan agar terciptalah individu-individu
pekerja media yang open minded serta
memiliki niat yang baik dalam bertugas. Sebab kita tidak bisa abai pada
kenyataan jurnalisme adalah tindakan intervensi terhadap realitas.
Selain
itu, pekerja media yang seringkali terbentur dengan tekanan ideologi dan kebijakan
internal kerap kali nampak abai atau tidak merespon cepat terhadap suatu
fenomena keagamaan. Ambil saja kembali kasus beberapa bulan yang lalu Gereja
Santa Bernadeth Bintaro dicekal massa yang ‘mengaku’ forum Islam setempat. Umat
yang tengah beribadah didemo pada pagi hari. Tidak ada satu pun pemberitaan
muncul , dari media online sekalipun. Ribut-ribut hanya berlangsung diruang
publik maya yakni twitter dan facebook. Berita tersebut baru muncul
pertama kali di Tempo.co pukul satu malam, esok harinya. Sebuah kenyataan pahit
dalam ruang redaksi yang harus saya terima sebagai calon pelaku media. Miris.
Fenomena
ini membawa saya kepada kesimpulan bahwa kaitan media massa dan agama adalah
seperti dua mata pisau. Ada unsur independensi individu dalam menuturkan
realitas berdasarkan latar belakangnya. Tetapi ada pula kepentingan internal
untuk menyelamatkan diri dari ancaman publik yang masih intoleran. Pengalaman
traumatis mungkin dengan kaum fundamentalis turut membuat media tidak menjadi
yang paling depan dalam menghadapi pergolakan. Maka, tugas besar kini adalah
media dan pewarta kabar seharusnya mengikis intoleransi yang ternyata adalah
tiang pancang dari berbagi konflik dengan wacana demokrasi dan perdamaian.
*Esai
ini memenangkan lomba esai sebagai Juara II di Institiut Universitas Islam
Negeri Syarif Hidayatullah (UIN)
0 komentar:
Post a Comment