Tuesday, March 18, 2008

Wihara Cinta

Aku tertegun. Bau tajam menusuk lewat rongga hidung mencari saraf penciuman. Otak kecilku dipaksa berputar cepat menelisik kenangan-kenangan usang tertinggal. Mungkin karena aku tidak lahir di jaman Pentium hingga sulit mengenali bau yang sekian tahun lalu pernah tersimpan datanya di folder kenangan. File cinta kuberikan namanya, di hardisk Remaja (C:). Sengaja kupartisi hardisk otakku untuk memisahkan kenangan indah dan buruk. Yang indah kubuat foldernya di partisi bagian C, mewakili singkatan kata cinta. Entah logika mana kupakai memberikan nama itu. Biarlah semua yang indah atas nama cinta. Cinta untukku dan cinta orang-orang di sekitarku.

Kelahiranku tidak jauh dari seputaran waktu ditemukannya mikroprosesor. Benda kecil dengan kemampuan besar yang jadi cikal bakal prosesor pentium jaman ini. Tidak bisa dibandingkan perbedaan kemampuan keduanya. Mungkin membandingkan semut dengan gajah. Tapi kalau lobang yang dimasuki lobang semut, kenapa harus memakai gajah. Mungkin bisa tapi gajah harus dipotong kecil-kecil seukuran semut lalu ditarik dengan serat pohon pisang yang dalam bahasa batak daerahku disebut riman. Pekerjaan melelahkan bukan?

Hio ya… hio. Sekejap kenangan tentangmu berputar-putar kembali seperti gasing di atas ubin merah darah tigapuluh kali tigapuluh centimeter. Ngilu di hati ketika gasing bertumpu di cluster memori yang menyimpan duka.

Aku tidak bisa berhenti begitu saja mengenangkannya. Kedalaman cengkraman tangannya tak tergoyahkan hentakan-hentakan kepala memaksanya keluar dari telinga. Kini ia malah berteriak mengumandangkan namanya. Kenangan itu.

Perlu kutusuk-tusuk gendang telingaku hingga berlubang-lubang. Suara itu tetap tidak berhenti. Dia makin marah dan menggila. Menempel di ujung saraf pendengaran. Aku tidak berani menariknya satu persatu. Takut otakku ikut terseret juga. Bisa-bisa aku jadi manusia tanpa kenangan. Amnesia.

Ada bagian indah yang tidak ingin kubuang dari sana. Termasuk kamu. Tapi aku tidak pernah suka ketika yang muncul hanya deraan kesakitan yang pernah terlintas di perjalan hidup, perjalanan cinta yang buruk.

Tidak bisa kuisolasi pedih itu. Virusnya cepat berbiak mengisi segala sudut. Anti virus khusus otak sekarat tidak mampu memperbaiki rusak file kenangan yang terjangkiti. Padahal baru seminggu lalu ku update. Untuk megkarantina pun tidak sanggup. Anti virus bedebah sialan. Pilihan di delete, hilang permanen. Tidak. Aku tidak mau. Bagaimana pun ada kenangan manis di sana meski secuil.

Kutinggalkan amarahku di meja engkoh penjual Hainam campur. Tidak jadi aku pesan kesukaanku. Irisan tipis daging merah yang kuangankan sejak dari rumah tidak menarik lagi. Aku sudah terlalu muak dengan satu hal yang sangat kubenci ketika hendak makan di warung. Beberapa pengalaman jelekku entah kenapa selalu terjadi di warung engkoh. Entah di kantin kampus dan daerah Kota.

Lima daftar menu disodorkan tepat di mukaku disertai suara keras berebutan menarik perhatian menawarkan jualan. Seolah aku ucok kecil yang tidak bisa baca dan sedikit tuli. Mungkin aku harus teriak : ” Aku ini sarjana meski IP dua lebih sedikit. Tahu baca dari ini Budi sampai Das Kapital Karl Max. Telingaku juga beres kata dokter THT dua minggu lalu. Mungkin dengan teriakanku mereka semua akan menciut seperti keong masuk ke rumahnya.

Aku bisa baca kalau dua dari daftar menu menyediakan Hainam campur. Ada pula dikasih nama Hainam campur Singapore. Apa babinya dari Singapura atau penjualnya dari Singapura. Pertanyaan terakhir lebih masuk akal. Untuk apa megimpor sekedar daging babi dari negeri tetangga. Di Banten sana beratus babi bule gemuk diternakkan di kandang-kandang berlantai semen dan beratap seng. Babi bule yang putih semua bulunya meski sebenarnya cenderung ke pink.

Kenapa juga harus disodor-sodorkan hampir kena muka. Berteriak lagi.
“Hainam campur”
“Bakmi…bakmi”
“Hainam campur”
“Boleh…boleh, silahkan”
“Ya nanti sebentar lagi”
“Kwetiau?”
“Ya, nanti”
“The botol, fruit tea, atau apa?”

Aku menoleh. Wanita. Tak sanggup aku marah atau mendongkol padanya dalam hati sekalipun.
“Es teh manis”

Ee… dia balik badan tanpa mengucapkan terima kasih. Mata duitan umpatku. Dasar kapitalis tambahku. Segala cara untuk uang. Produk laku itu lebih penting. Manusia itu cuma aset. Kapitalis, umpatku kembali. Tentunya dalam hati.

Jalan becek melewati los penjual ikan segar masih seperti dulu. Kecuali baunya semakin menjadi. Bertumpuk-tumpuk ikan tongkol digelar dekat ikan bawal, kegemaranku.
Toko kelontong Sejahtera. Masih bercat hijau muda di bagian luar. Sama seperti dulu kecuali lebih kusam dan beberapa bagian tertutup tenda-tenda biru berdebu. Sebagian halaman depan pun tertutup jualan bumbu-bumbu dapur. Bau bumbu campur aduk mengalahkan bumbu bakmi di atas penggorengan.

Aku terbayang kelezatan rasa mi hangat baru diangkat dari penggorengan. Dihidangkan di atas piring ceper. Piring dari bahan yang sama untuk membuat kursi metromini. Pantulan kilau mi akibat minyak berlimpah menerbitkan liur.

Dulu aku begitu tertarik untuk menikmatinya ketika memcium harumnya uap yang keluar dari penggorengan. Tidak menunggu lama pesanan sudah di atas meja ditemani segelas air putih. Sepasang sumpit bambu berbungkus pelastik kuraih dari tempatnya di ujung meja. Cuka makanan, sambal dan saus tomat tak ingin kutambahkan untuk harum mi seenak ini.

Jepitan-jepitan mi menunggu masuk mulut tidak bertahan lama di udara terangkat dari piring. Sehitungan beberapa detik melucur ke mulut. Ujungnya kusedot dengan tarikan napas sambil memoyangkan bibir. Ujung lainnya yang masih tertinggal di piring kudorong pelan-pelan dengan sumpit.

Bibir berminyak-minyak menambah lancar barisan mi itu meluncur ke rongga mulut lalu dikunyah lembut untuk menikmati lama-rama racikan bumbu yang nikmatnya luar biasa. Ingin aku punya istri pintar memasak mi senikmat ini. Mungkin tidak perlu lagi aku makan nasi. Tiga kali sehari hanya makan mi berminyak. Lupakan kolesterol yang makin tinggi dan darah yang makin tinggi sampai ke langit, jantung juga biar kelelahan memompa darah ke seluruh tubuh. Kenikmatan di atas segalanya.

Di ujung jepitan sepasang sumpitku terakhir tanganku berhenti. Gadis itu membuatku mematung. Rambutnya hitam legam jatuh lurus di bahunya. Kulit putih wajahnya bercahaya seperti matahari. Aku seperti klorofil daun mengharapkan sinar dari wajahnya. Kemana pun dia bergerak aku mengikut terus walau akibatnya tangkai daunku harus berkelok-kelok mengikut gerak sinar matahari dari wajahnya.

Mata sipit seperti mengintip saja melihat segala sesuatu. Astaga aku cukup lama terpaku melihat gerak bibirnya naik turun ketika berbicara pada ayahnya yang sedang menghitung uang di kasir. Tebakanku asal saja karena kulihat mereka mirip. Sama sipit dan kulitnya hampir serupa putihnya. Rambut pun sama hitamnya. Tapi kalau dibandingkan dengan lelaki sipit yang baru saja meninggalkan kasir sambil membawa bungkusan juga mirip. Aku sulit membedakan mereka. Bagiku semuanya sama saja. Seperti melihat orang Amerika, sama saja. Seolah mereka semua sama. Berambut pirang dan bertubuh jangkung. Ternyata bukan hanya aku saja yang berpendapat begitu. Teman-temanku pun sama. Bahkan aku pernah bertemu orang Jepang dari rombongan kesenian bertanya kemana saudara perempuanku. Aku bingung. Saudara perempuanku ada di Sumatera, tidak pernah kubawa bertemu dia. Setelah dia menerangkan ternyata teman perempuanku yang beberapa kali kubawa bertemu dengannya. Dia juga melihat kita orang Indonesia sama semua. Dianggapnya bersaudara. Dia tidak tahu kalau di Ambon pernah perang.

Cepat-cepat kulap mulut dengan tisu di atas meja. Membayar di kasir setelah meminum seperempat gelas air putih yang dihidangkan. Rupanya dia pamit ke ayahnya entah hendak kemana. Aku ikuti saja. Aku seperti kutub utara magnet mengikuti dia si kutub selatan. Tarikannya begitu kuat seperti tersedot pusaran tornado. Menarik ke tengah pusaran, membuatku pusing di tengah pusarannya yang menyedot siapa saja di sekitarnya.

Aku tidak bisa melepaskan kesempatan ini begitu saja. Aku ingin kenalan dengannya. Tidak harus berharap menjadi pacarnya. Menjadi temannya pun tak apa. Siapa tahu istriku kelak bisa belajar membuat mi enak darinya.

Wajah-wajah yang kutemui saat berpapasan gelap semua. Memandang hanya lurus ke depan tidak peduli dengan aku yang menabrak alur arah mereka yang berjalan cepat di tengah para pembeli. Hanya wajahnya bercahaya di siang ini. Dengan mudah kuikuti pergerakan cahaya yang keluar dari wajahnya. Ternyata bukan cahaya dari wajahnya saja. Seluruh tubuhnya bercaya di tengah orang banyak. Seolah satu-satunya sumber cahaya di tengah jagad raya maha luas.

Mataku tertumbuk pada pinggulnya yang bergerak ke kiri kekanan mengikuti langkahnya. Bahkan bagian itu sungguh sempurna. Pinggul besar di bawah pinggang ramping konon bagus untuk melahirkan anak. Tapi aku tidak ingin melahirkan anakku dari rahimnya. Suatu hal yang mustahil kalau pun aku menginginkan. Banyak sekali hambatan yang harus kulalui bila berani membayangkan ia menjadi istri. Bukan hanya aku yang akan kesulitan. Dia dan anak-anak kami terutama akan sulit memperoleh sepucuk surat pengakuan memiliki sesuatu dari RT.

Di tempatku berdiri sekarang ini dia dulu berhenti. Di tengah angin dengan bau hio yang tajam dia berhenti. Menolehkan wajahnya ke belakang. Sontak aku menghentikan langkah dan menahan napas melihat senyum di bibirnya. Ia mengganggukkan kepalanya sambil tersenyum. Aku jadi memperhatikan leher putihnya. Kutahan mataku untuk tidak berfokus ke bawah lehernya karena takut dia menganggap aku laki-laki yang bukan-bukan.

Kuikuti ia masuk gerbang kelenteng Darma Bakti. Sepanjang jalan masuk berbaris pengemis. Kuperhatikan kulitnya sama denganku dan matanya pun sama seperti mataku. Aku menunduk malu sejenak lalu hanya menatap lurus ke depan mengikuti kemana ia mengarah. ,p> Aku berhadapan dengan barisan hio ditancap di atas pedupaan. Merah hio kontras dengan warna abu-abu yang dihasikan setelah terbakar habis sedikit demi sedikit lalu jatuh menjadi gundukan abu. Sudah pasti bau tajam pun menusuk hidung lebih tajam sebab hio terbakar hanya beberapa meter di depanku.

Kulihat ia membelok masuk ke ruangan yang penuh dengan asap dan barisan orang menyembah naik turut tidak serempak. Masing-masing khusuk dengan doanya sendiri sambil bibir komat-kamit meluncurkan doa kepada dewa. Di pintu masuk tempat ia berbelok kulihat patung dewa kegembiraan. Kesebut kegembiraan karena mulutnya tertawa. Entah pemberian namaku benar atau tidak. Sepertinya terbuat dari besi kuningan, tapi bisa saja emas. Kudengar seniman patung kelenteng sangat tinggi cita rasanya. Penghormatan terhadap dewa sungguh besar hingga layak dibuatkan patungnya dari emas murni.

Kursi kosong dari semen sekeliling halaman wihara membuatku memilih duduk di salah sudut. Wihara dan kelenteng pun aku tidak tahu apakah sama atau berbeda. Kuanggap saja sama karena aku memang tidak tahu apa-apa. Bahkan alat-alat peribadatan agamaku pun aku tidak begitu tahu. Aku hanya tahu altar dan meja persembahan. Bagiku tidak penting mengetahui segalanya. Yang penting aku bisa berhubungan dengan Tuhanku di atas sana kalau memang ada. Sejarah telah mencatat banyak orang yang pintar tidak mengakui lagi ada Tuhan di atas sana atau tinggal di hati manusia. Aku memang tidak se ekstrim mereka yang berani mengatakan Tuhan itu ada. Aku percaya Tuhan ada tapi sedang sakit mata. Kenapa demikian? Beberapa hari lalu aku jalan kaki dari lapangan Banteng menuju harmoni lewat jalan depan Katedral. Kulihat bentangan tali di antara pohon pinggir jalan. Digantungi pakaian-pakian kumal bermacam ragam. Beberapa potong celana kumal, rok dan celana dalam buluk. Cahaya lampu jalan remang-remang menembus lewat celah dedaunan membuatnya terlihat semakin kumal. Mungkin Tuhan yang di Katedral sedang sakit matanya, tidak melihat ada gelandangn tidur di bawah pohon sini. Atau ia tertalu tinggi berdiri di atas menara hingga tidak melihat manusia dibawah di seberang jalan. Ini kan jaman modern. Setidaknya dia bisa pakai teropong atau webcam, di sebar beberapa titik di seputar halaman hingga bisa mengamati keamanan sekitar lewat komputer. Tenaga Tuhan sedikit hemat, tidak perlu lagi naik turun tangga ke menara.

“Hi”. Pikiranku tentang Tuhan sakit mata sekejap bubar tak berbekas. Aku mengangguk dan tersenyum tak bisa berkata menatap wajah dihiasi bibir tersenyum seindah… aduh aku bahkan tidak tahu dibandingkan dengan benda seindah apa. Kuterima uluran tangannya dengan dada yang masih berdebar.
“Kenapa mengikutiku?”
“Aku tidak mengikuti anda”
“Kalau begitu mengapa tidak berdoa ke dalam”
“Ah em.. ah”
“Menunggu saudara?”

Kusadari kebodohanku berbohong. Jelas-jelas aku duduk di sini menunggu dia keluar. Aku tidak bisa berkata lebih lanjut. Malah menghindari jawaban dengan bertanya. Pertanyaanku sebenarnya pengakuan bahwa aku memang mengikutinya. “Bagaimana bisa tahu kalau saya mengikuti anda?”
“Tiga pedagang bumbu memperingatkan kalau aku diikuti lelaki dengan tatapan mata aneh”
“Mataku tidak aneh”. Astaga mungkin penjual bumbu itu sedang melihatku menatap pinggulnya yang bergerak-gerak ketika berjalan menuju wihara ini. Aku jadi sedikit malu.
“Maafkan saya”
“Tidak ada yang perlu dimaafkan”
“Siapa yang kau doakan” Dia diam sesaat.
“Seseorang”
“Seseorang?” Jangan-jangan aku yang didoakan agar tidak berbuat jahat kepadanya. “Tidak. Aku tidak mau berbuat jahat kepadamu. Sumpah”
“Bukan kamu tapi tindakanmu mengingatkan aku padanya. Bukankah kamu yang tadi makan di warung kami?
“Ya”
“Sama betul. Seseorang itu juga selesai makan di warung lalu mengikutiku ke sini”
“Anda punya pengalaman buruk tentang seseorang itu?”
“Sama sekali tidak. Malah sebaliknya”

Kuperhatikan betul-betul bibirnya komat-kamit menceritakan tentang seseorang itu. Aku seperti menunggu sepasang bibir itu jatuh kutanah lalu memuntut untuk memasangkannya kembali di wajahnya. Bibir itu terlau indah untuk bergerak memamerkan kecantikannya.

Dia mengambil tempat di sebelahku menghindari matahari sore. Aku memang mengambil tempat di dekat pohon cery menghindari panas.

Perkenalannya dengan pemuda. Ia sangat mencintainya. Pertama kali duduk dengan pemuda itu juga sama seperti posisiku saat ini dengannya. Kenapa semuanya serba sama pikirku. Jangan-jangan dia mengarang cerita.

Di wihara ini kami berjanji untuk saling mencintai lalu membangun keluarga untuk melahirkan keturunan kami. Di sini cinta kami bermula. Cinta kuharap abadi yang tak akan hilang walau wihara ini harus dirubuhkan untuk dibangun pusat perbelanjaan. Aku begitu mencintainya. Sudah kuberikan apa yang menjadi haknya di atas pelaminan.
“Dia meninggalkan anda?”

Bodoh sekali. Pertanyaanku malah menerbitkan air mata dari kedua mata indahnya. Aku siap menunggu kata-kata terakhirnya bila saja dia harus pergi dengan pertanyaanku yang telah menerbitkan sedihnya.

“Dia meninggal ditempat anda duduk sekarang. Lima perampok terpaksa membunuhnya untuk mendapatkan uang di sakunya.
Di wihara ini cintaku lahir dan mati.
Selamat sore ! Dia meninggalkanku berdiri setelah terlonjak kaget. Wihara cinta, gumanku.

Jakarta, 23 Oktober 04
Dimuat di Rayakultura

1 komentar:

Anonymous said...

Paulus,
cerpen ini bgus! Gw suka! Cerita sih biasa. Tapi detil2 yg terdapat di dalamnya amat lain dari cerpen2 kebanyakan. Mantap!

Copyright © agenda 18 All Right Reserved