Thursday, July 18, 2013

Menulis Itu Hidup Yang Menghidupi

 oleh Gloria Fransisca

Mengapa Aku Ingin Menjadi Penulis? Sebuah pertanyaan yang terasa klasik, mudah, tetapi tidak semudah itu untuk mejawabnya. Sebuah pertanyaan, “mengapa” yang hanya bisa kita jawab dengan sebuah alasan.

Menulis bukan hanya sekadar melampiaskan emosi atau adu kreasi. Awalnya, bagi saya menulis adalah harapan. Saya tergelitik melihat tagline Agenda 18 "Menulis untuk Selamanya". Sebuah petunjuk untuk menggapai, merealisasikan, apa yang tidak bisa saya jelaskan secara verbal kepada orang-orang di sekitar saya.

Saya hanyalah seorang perempuan muda yang sedari kecil sangat suka membaca berbagai buku dan majalah koleksi kedua orangtua saya. Di usia yang baru 2-3 tahun saya terbiasa membuka-buka berbagai majalah, khususnya majalah AyahBunda milik Ibu saya. Kebiasaan lain yang membuat saya nyaman berada di tumpukan buku salah satunya karena sewaktu kecil setiap malam saya pergi ke kios koran terdekat dari rumah untuk membeli beberapa koran. Kala itu saya hanya menemani ayah saya membeli lalu membaca koran dengan serius. Siapa sangka, saya justru ingin tahu, mulai mencoba membaca, lalu ketagihan membaca, berimajinasi, dan mencoba menuliskannya.
Semakin bertambah usia, saya semakin merasakan bahwa membaca merupakan kebutuhan tersendiri. Lingkungan membuat saya begitu cinta dengan buku. Di kala sakit pun, sepulang dokter ayah saya selalu membawa saya ke toko buku seberang praktik dokter dan membiarkan saya membeli berbagai buku yang saya sukai. Alhasil, saya begitu suka mengoleksi berbagai banyak jenis buku antara lain, buku sejarah rakyat daerah di Indonesia dan buku seri tokoh dunia.

Ibu saya mantan seorang guru. Sebagai seorang Ibu, ia tahu saya hobi membaca dan menulis. Bentuk dukungannya kepada saya adalah membelikan saya banyak buku-buku referensi pelajaran diluar buku yang saya dapatkan dari sekolah. Saya membaca buku-buku tersebut untuk menambah pengetahuan karena tidak semuanya bisa saya dapatkan dalam buku pelajaran yang diberikan dari sekolah.

Ibu tidak pernah memaksa saya untuk belajar, beliau membiarkan saya belajar sendiri, mencari solusi atas suatu kasus seorang diri. Semua solusi tersebut sedikit demi sedikit saya temukan dari buku-buku yang dibelikan Ibu saya. Oleh sebab itu saya mulai memahami pepatah bahwa "membaca adalah jendela dunia."

Saya pun memutuskan untuk mulai mencoba membuat cerpen sebagus mungkin untuk dipajang di majalah dinding SD Marsudirini. Guru Bahasa Indonesia sangat menyukai karya tersebut, dan cerpen tersebut menjadi cerpen perdana saya yang dipublikasikan di depan umum, meskipun masih dalam ruang lingkup yang kecil yaitu SD Marsudirini. Peristiwa tersebut semakin mendorong saya untuk menulis dan menetapkan cita-cita yang semula hendak menjadi dokter dan ingin menjadi penulis.

Saya sangat suka berimajinasi dan membayangkan banyak hal yang mungkin tidak pernah dibayangkan oleh anak-anak seusia saya kala itu. Saya sering melamun, namun dengan otak penuh alur akan kehidupan manusia, atau sebuah karakter yang saya ciptakan di alam pikiran sadar saya. Lalu saya menulisnya di sebuah buku tulis bekas dan menjadi rangkaian cerpen-cerpen anak yang tersimpan rapi di meja belajar. Mungkin kecintaan saya pada buku, akhirnya yang membuat saya berimajinasi: pasti keren kalau suatu saat saya bisa membuat buku.

Seiring berjalannya waktu, memasuki jenjang Sekolah Menengah Pertama (SMP). Saya memutuskan untuk mencari suasana baru dengan pindah dari SD Marsudirini, Bekasi ke SMP Bunda Hati Kudus, Kota Wisata, Cibubur. Disanalah saya menemukan kecintaan saya pada Ilmu Pengetahuan Alam. Saya semakin senang karena saya memiliki guru Biologi yang sangat menginspirasi saya. Tidak hanya jago di bidang Biologi karena lulusan FMIPA Universitas Gadjah Mada guru panutan saya tersebut merupakan pembimbing ekstrakurikuler jurnalistik di SMP Bunda Hati Kudus. Pak Agung, yang sewaktu kuliah aktif dalam pers mahasiswa Universitas Gadjah Mada ini mendorong saya untuk aktif di majalah sekolah dan bergabung dalam esktrakurikuler Jurnalistik. Akhirnya saya pun mulai menggeluti dunia jurnalisik sejak SMP.

Pengalaman pertama menjadi wartawan cilik ketika memegang rubrik Info BHK dan Events, membuat saya aktif mewawancarai teman-teman saya serta guru-guru saya. Saya menggali informasi tentang kejadian terbaru seputar sekolah kami. Contohnya prestasi teman-teman saya yang memenangkan Olimpiade Matematika. Selain itu membuat laporan atas perjalanan live in dan retret siswa/i SMP Bunda Hati Kudus.
Saya pun akhirnya diangkat menjadi Editor majalah sekolah SMP Bunda Hati Kudus, yakni “Bravo BHK”. Saya mulai terbiasa bermain kata-kata dan mengedit artikel apabila terjadi kesalahan mengetik maka saya yang akan memperbaikinya. Pekerjaan yang dianggap membosankan ini tidaklah membosankan bagi saya. Dengan menjadi editor inilah saya dituntut untuk semakin teliti, karena pada awalnya saya masih sempat melakukan kesalahan-kesalahan. Kesalahan itu adalah sebuah pelajaran agar tidak diulangi,” demikian kata Pak Agung menanggapi permohonan maaf saya.

Tibalah saya pada titik keyakinan, bahwa saya membutuhkan pemahaman, bukan sekedar pengalaman atau hobi menulis. Saya membutuhkan jiwa, bukan hanya nyawa untuk menulis. Berada di tengah kerumunan orang-orang yang lebih baik, dengan kecintaan yang sama, akan semakin menginspirasi saya. Oleh sebab itu saya sangat tertarik untuk bergabung dengan komunitas menulis. Saya berharap dalam pelatihan bersama Agenda 18 bisa menuntun saya menuju pemahaman dan keyakinan bahwa menulis adalah bukan lagi sebongkah harapan untuk hidup, tetapi menulis adalah hidup untuk menghidupi. Seperti kata pepatah yang menjadi pegangan saya. Pepatah singkat yang dicetuskan oleh tokoh feminis yang namanya sama dengan nama saya, Gloria Steinem, ’If I’m not writing, I’m not breathing’.
 
 
Penulis adalah mahasiswi Jurnalistik Universitas Multimedia Nusantara
Agenda 18 Angkatan 5

0 komentar:

Copyright © 2025 agenda 18 All Right Reserved
Media Free Blogger Templates | Design modified by eddy sukmana @ Open w3