Membangun Jakarta Jangan Buta Sejarah
oleh Pradipa P. Rasidi
15 Februari 2016
![]() |
Agnes Rita dan Marco Kusumawijaya pembicara dalam peluncuran buku RKT |
Banyak yang bisa dipelajari dari sejarah dalam
membangun Jakarta. Terutama bila mengingat bahwa pengalaman tata kelola ibukota
ini dipenuhi
berbagai kepentingan dan visi politik tertentu. Visi-visi tersebut
kerapkali abai terhadap pengalaman pengelolaan Jakarta di masa lampau.
Ahli tata kota Marco
Kusumawijaya dari Rujak Center for Urban Studies mengambil contoh di masa Fauzi
Bowo (Foke). Pernah ada ide membangun transportasi sungai Ciliwung seperti di
Venesia, Italia, ide yang dianggap tak masuk akal oleh Marco. “Ini pernah dicoba
di masa kolonial, tapi gagal. Sungai Jakarta tidak cocok, kalau surut terlalu
rendah, kalau pasang terlalu tinggi,” jelas Marco saat mengisi diskusi
peluncuran buku Rumah Kota Kita, Jakarta (13/2).
Ketidakpekaan sejarah
(ahistoris) ini yang, menurut Marco, sayangnya mewarnai pembangunan Jakarta
beberapa dekade ini. Ia mengambil contoh lain, tentang pelebaran sungai
Ciliwung yang diwarnai penggusuran berunsur kekerasan. Di masa Foke, pelebaran
sungai bisa berlangsung tertib tanpa menumbalkan warga.
Di Jogja pun demikian.
Di tahun 1983, Romo Mangun, ahli tata kota yang juga agamawan, menggagas
pembangunan konsep kampung susun bagi warga di pinggiran Kali Code. Sungai bisa
dirapikan tanpa perlu menumbalkan warga.
“Romo Mangun sangat
menentang pembangunan bertumbal,” ujar Marco.
Pembangunan
kota harus inklusif
Bila belajar dari
sejarah, mestinya pembangunan seperti yang dilakukan Romo Mangun bisa jadi
inspirasi bagi pembangunan di kota lain. Marco berpendapat harusnya
pejabat publik sudah tidak bertanya apakah bisa melakukan pembangunan tanpa
penumbalan, tapi bertanya bagaimana meningkatkan kreativitas agar tidak
mengorbankan siapa pun. Pembangunan inklusif harus jadi cita-cita dalam tata
kota.
Ia menyayangkan
anggapan yang menjadi tren belakangan ini, bahwa warga miskin lazim dikorbankan
dalam pembangunan. Warga miskin
kerap disalahkan dalam pembangunan. Jarak psikologis dan geografis
antara kelas ekonomi mampu dan kurang mampu semakin melebar. Di masa kolonial
justru sebaliknya: warga kelas menengah dan warga miskin berada dalam satu
kompleks yang sama.
“Rancangan kota
[Thomas] Karsten sangat berpengaruh dalam tata kota kolonial,” sebutnya. Thomas
Karsten adalah arsitek Belanda yang menata kota-kota seperti Jakarta, Semarang,
dan Bandung.
Kompleks superblok
dalam artian tata kota kolonial adalah kompleks yang menggabungkan pemukiman
kelas menengah dengan miskin. Menurut tata kota Karsten, lapisan pertama
superblok adalah pemukiman kelas menengah, lapisan kedua adalah pemukiman warga
miskin, dan di lapisan berikutnya adalah tempat umum seperti pasar.
“Kita masih bisa lihat
rancangan Karsten di Mlaten, Semarang,” papar Marco, “Ada juga sebagian di
Bandung.”
Ia juga
menyinggung soal penggusuran yang menabrak aturan. Padahal peraturan tentang
penggusuran diatur dalam kovenan internasional yang diratifikasi Indonesia dan
undang-undang.
Komite PBB untuk
Hak-Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya menyebutkan penggusuran hanya bisa dilakukan
sebagai jalan terakhir, setelah diberikan pengumuman, dan mendapat persetujuan
warga. Syarat-syarat
ini tidak dipenuhi dalam kasus penggusuran Kampung Pulo. Warga
sempat mengeluhkan pengumuman penggusuran yang mendadak, bahkan ketika warga
masih berada di dalam rumah. Belum lagi situs-situs sejarah yang dikorbankan
begitu saja oleh pemerintah.
Tanah
dikuasai semakin sedikit orang
Ahli tata kota Rujak
Center ini menyebutkan bahwa tren penggusuran berkaitan dengan sejarah
kepemilikan tanah di Jakarta dalam beberapa dekade terakhir.
“Kita sedang melihat
perubahan kepemilikan tanah di kota-kota besar seperti Jakarta,” sebut Marco.
“Ratusan hektar tanah yang tadinya dimiliki secara majemuk, bisa dimiliki 50
orang lebih, sekarang cuma dikuasai segelintir orang.”
Penguasaan tersebut,
menurut Marco, terjadi lewat penggusuran dan reklamasi. Tanah dimiliki oleh
pemodal-pemodal besar yang dimanfaatkan untuk investasi mereka sendiri,
alih-alih pemenuhan hak dasar seperti kebutuhan tinggal.
Penguasaan tanah ini
menyebabkan proses penjauhan: orang-orang tinggal makin jauh dari orang tuanya.
Proses ini semakin
umum terjadi di Jakarta. “Ada yang orang tuanya tinggal di Menteng, tapi
anaknya tinggal di Bekasi,” sebutnya. Harga tanah semakin mahal dan dikuasai
segelintir orang, hingga warga tak bisa memperoleh akses ke lingkungan tempat
orang tuanya bermukim dulu. Warga Jakarta semakin terusir jauh dari tempat
kegiatan ekonomi dan sosialnya. Komuter menjadi hal yang dilazimkan.
Wartawan Harian
KOMPAS Agnes Rita menyebutkan bahwa daya kritis diperlukan anak muda dalam
melihat pembangunan kota hari ini. “Kita biasa melihatnya sebagai business
as usual tanpa
mengkritisi. Padahal ‘kan kota bukan cuma kota, tapi juga tempat
tinggal,” ujar Rita.
Daya kritis anak muda
ini yang dilihat Rita dalam buku Rumah
Kota Kita terbitan komunitas Agenda 18. Di buku yang menjadi tajuk
diskusi hari itu, penulis-penulis muda yang tergabung dalam komunitas penulis
Agenda 18 menyampaikan gagasan dan keluh-kesahnya tentang Jakarta. Agenda 18 sendiri adalah kelompok penulis muda
yang berlandaskan Katolik dan berusaha menjadi wadah pertukaran pengalaman dan
pengetahuan, terutama dalam bidang penulisan.
0 komentar:
Post a Comment