Monday, October 7, 2013

Jurnalisme Sastrawi dalam Diskusi Bulanan A18


Ketika dua atau tiga orang berkumpul, bukan hanya Tuhan yang datang, ide dan pemikiran-pemikiran baru pun datang. Begitulah pada suatu minggu siang, 29 September 2013, di sebuah rumah sewa Remotivi, yang untuk mencapainya setiap orang harus mengalami tersesat lebih dulu, 10 orang anggota Agenda 18 berkumpul.


Tiap-tiap orang memberikan kesan setelah membaca buku Jurnalisme Sastrawi. Mas Daniel terkesan dengan tulisan Alfian Hamzah: Kejarlah Daku Kau Kusekolahkan. Ia mengibaratkan tulisan Alfian sebuah lukisan indah, namun masih dipertanyakan keakuratannya. Beberapa tulisannya tidak tepat seperti kronologi waktu yang membingungkan, istilah “bin” yang dipakai untuk nama laki-laki. Menurut mas Daniel, tulisan ini bisa dijadikan sebuah film yang menarik.
Mbak Wiwiek yang tampaknya antusias membaca buku Jurnalisme Sastrawi, memberikan komentar bahwa tulisan-tulisan di buku itu disampaikan dengan angle yang berbeda. Pada tulisan Chick Rini: Sebuah Kegilaan di Simpang Kraft, Chick Rini menggambarkan konflik di Aceh dengan adegan tentara yang menembaki warga, sesuatu yang belum kita ketahui sebelumnya. Demikian juga Alfian Hamzah menuliskan pengalamannya bersama tentara menyerbu markas-markas GAM. 

Ambar juga Della menilai tulisan Linda Christanty: Hikayat Kebo sebagai tulisan yang menarik. Meski belum menyelesaikan membaca seluruh tulisan di buku, Ambar tertarik dengan istilah jurnalisme sastrawi. Belum sempat mencari artinya, Ambar menyampaikan pertanyaan: bagaimana perkembangan jurnalisme sastrawi di Indonesia saat ini.

Indah, teman yang diajak Roy menambahkan: dari google,  diperoleh informasi: jurnalisme sastrawi adalah genre tulisan yang lahir di Amerika tahun 1970an. Indah pun terkesan dengan tulisan Alfian Hamzah. Dalam tulisan Alfian, dapat dijumpai sisi personal penulis dan pengalaman serta pengamatan yang dialami penulis. Berbagai menu makananan dan jenis senjata dijelaskan dengan detail. Demikian juga hal-hal sentimental para tentara yang jauh dari keluarga. Hal-hal seperti itulah yang membuat tulisan Alfian menarik.

Dari tulisan Alfian, Roy menilai adanya perubahan mental penulis di awal tulisan sampai akhir. Seperti perasaan penulis pada pembunuhan atau kekejaman tentara. Meskipun demikian, ada sisi-sisi kemanusiaan yang ditunjukkan oleh penulis. Ada hal-hal kejam yang tidak perlu ditunjukkan. Gaya penulisannya menggunakan simbol-simbol atau kode-kode yang menunjuk pada suatu kejadian.  

Lalu seperti apakah jurnalisme sastrawi itu? Apakah tulisan-tulisan di buku ini termasuk dalam genre Jurnalisme Sastrawi? Mas Her menjawab dengan sebuah pertanyaan: Apakah 2 aspek jurnalisme dan sastrawi itu ada dan terwujud maksimal tulisan-tulisan itu? Atau ada salah satu yang dikorbankan?


Kedua aspek jurnalisme dan sastrawi ada tetapi bobotnya menjadi tidak maksimal ketika digabungkan. Ada sisi jurnalistik yang dikorbankan untuk memperoleh kesan dramatik. Sastra yang dimaksud di sini juga tak seindah “sastra”. Yang pasti ada unsur drama, alur, lengkap dengan dialognya. Saat membuat tulisan jurnalisme sastrawi pun ada banyak kekhawatiran. Tulisan bisa saja dibuat seindah mungkin karena harus memenuhi unsur sastra. Istilah sastra justru menjadi jebakan yang bisa mengurangi aspek jurnalistik.

Maka lebih mudah jika jenis tulisan-tulisan di buku Jurnalisme Sastrawi digolongkan pada Narative Jurnalism (Jurnalisme Narasi). Kekuatan tulisan bukan hanya pada bahan atau apa yang ditulis melainkan cara menulisnya melalui bercerita. Lengkap dengan detail tempat dan waktu.

Mas Har menambahkan tulisan jenis ini menjadi tren di tahun 2001-2002, masa jaya majalah Pantau. Dan menurut pengakuan Mas Har yang pernah menulis di majalah itu, honornya dibayar per kata. Bayangkan, jika panjang sebuah tulisan di buku Jurnalisme Sastrawi 25-30 halaman, berapa rupiah yang bisa didapat.

Meski termasuk tulisan yang panjang karena kedalamannya, tulisan jenis jurnalisme narasi ini selalu saja ada pembacanya. New Yorker, majalah Amerika yang lahir lewat jenis tulisan itu tetap terbit hingga saat ini. Sedangkan di Indonesia tidak banyak media yang memberi ruang akan jurnalisme narasi. Beberapa penulis memilih membuat buku dengan gaya menulis itu.


Terima kasih pada teman-teman yang sudah datang: mas Her, mas Har, mas Daniel, Roy, Indah, mbak Wiwiek, Ambar, Della, dan Jenni. 
Semoga teman-teman yang lain bisa ikut bergabung bulan depan.

Salam,
Niken

0 komentar:

Copyright © 2025 agenda 18 All Right Reserved
Media Free Blogger Templates | Design modified by eddy sukmana @ Open w3