Tuesday, April 12, 2016

Jakarta dan Kompleksitasnya Ulasan Buku “Rumah Kota Kita”


Setiap kota selalu memiliki masalahnya sendiri. Namun, Jakarta memiliki tingkat kompleksitas yang sangat tinggi. Hal ini terlihat dari aktivitas warga dan hiruk pikuk lingkungannya sebagai ibukota. Karena itu, banyak seniman, sejarawan, pengamat kota dan sebagainya memiliki perhatian khusus kepadanya.
Dari kalangan seniman, kita masih ingat sebuah lagu dari Koes Plus tentang Jakarta berjudul “Kembali ke Jakarta”. Dari kalangan sejarawan dan pengamat kota, kita bisa menyaksikan bagaimana mereka mengadvokasi masyarakat pinggiran yang ada di Jakarta.
Sepertinya hal ini pula yang melatarbelakangi munculnya Rumah Kota Kita yang ditulis Agenda 18, sebuah komunitas penulis muda yang berbasis Katolik dan berwawasan plural. Mereka berusaha menyegarkan kembali isu-isu yang telah lama berkembang tapi cenderung “terabaikan” karena terlihat sangat biasa.
Isu-isu tersebut mereka tuliskan ke dalam sebuah buku agar masyarakat sadar akan berbagai masalah yang ada di ibukota selama ini. Selain itu, kegelisahan yang dirasakan para penulis buku ini merepresentasikan kegelisahan masyarakat secara umum. Paling tidak, berbagai kegelisahan yang mereka sampaikan di dalamnya terangkum dalam lima hal: (1) transportasi, (2) kemiskinan, (3) tata ruang/penggusuran, (4) prostitusi, dan (5) HAM.
Kelima hal tadi memang merupakan bagian dari masalah-masalah klasik. Tapi, belum ada solusi yang memuaskan sampai sekarang. Hal ini bisa diketahui dari curahan hati para penulis yang mendapatkan berbagai kesulitan dalam melakukan aktivitas sehari-hari mereka. Meski demikian, ada juga yang merasakan hal berbeda dan merasa beruntung.
Salah satu yang mendapatkan kesulitan adalah Maria Brigita Blessty. Ia bercerita tentang aktivitasnya sebagai pengguna transportasi umum sejati untuk berangkat dari rumah ke kampus dengan susah payah membawa pernak-pernik kebutuhan kuliah. Blessty karenanya mengeluhkan pembagian jalan antara bus umum dan bus Transjakarta yang halte-haltenya relatif jauh dari rumahnya dan tanggung dijangkau dengan angkutan umum.
Berbeda dari Blessty, Rio Noto merasakan betapa membantunya keberadaan Transjakarta. Baginya, bus Transjakarta berpotensi mengurangi kemacetan di mana bus tersebut mendapatkan jalur khusus meski Rio tak menafikan adanya beberapa hal perlu ditingkatkan seperti pembenahan sarana transportasi lain dan penyempitan jalan karena akibatnya, dan menyediakan fasilitas jembatan penyeberangan bagi para pejalan kaki.
Selain transportasi, kemiskinan di Jakarta menjadi topik aktual yang diceritakan. Kita tidak perlu berdebat lagi dalam hal ini karena banyaknya gelandangan dan permukiman kurang layak menjadi bukti nyata. Tapi, sayangnya berbagai data yang disajikan dalam buku ini tentang angka kemiskinan kurang mutakhir karena proses penulisan dan pencetakan buku yang lumayan lama.
Kita tak perlu menyesalinya karena angka kemiskinan mutakhir dapat diakses dengan mudah. Yang perlu disesali adalah ketersedian ruang publik dan penggusuran yang terjadi di Jakarta. Hal ini terekam dalam tulisan Christina Dwi Susanti.

Menurutnya, ruang publik di Jakarta harus tetap diperjuangkan karena dari ruang publik, muncul ruang solidaritas terhadap seksama. Di antaranya korban HAM yang tercermin dalam aksi Kamisan dan korban penggusuran. Dengan adanya ruang publik, muncul pula pendidikan politik, hukum dan HAM kepada masyarakat.
Christina menulis:
 Secara tidak langsung aksi Kamisan menjadi sebuah pendidikan politik bagi publik. Meluasnya isu penegakan HAM, penyebaran budaya HAM serta menguatnya jaringan solidaritas untuk korban merupakan bentuk pendidikan polit[i]k yang terjadi. 
Jenni Anggita punya pendapat berbeda dalam melihat Jakarta sebagai ruang publik. Ia justru mendapatkan kesenangan tersendiri di sana. Alasannya adalah begitu banyaknya komunitas di mana ia bisa mendapatkan banyak wawasan bermakna.
Jakarta menurut Jenni, merupakan kota dengan 1001 komunitas yang membuat kehidupan di dalamnya begitu berwarna. Adanya berbagai komunitas tersebut memberikan ruang-ruang alternatif sebagai tempat berinteraksi untuk melepaskan diri sejenak dari berbagai persoalan yang ada di ibukota.
Dalam soal prostitusi, Pemda DKI sepertinya masih mencari solusi yang tepat untuk mengatasinya. Sebab, prostitusi bukanlah persoalan yang unik. Persoalan tersebut juga terjadi di kota-kota lain atau bahkan negara-negara lain. Karena itu, isu ini menjadi seksi untuk dikampanyekan para politisi di Jakarta secara khusus.

“Kritik sebagai Vitamin, Pujian sebagai Camilan”
Buku yang lahir dari para penulis muda ini menarik dibaca. Selain terdiri dari esai-esai, buku ini dilengkapi kalimat-kalimat penghubung dari satu esai ke esai lain sebagai refleksi personal. Sehingga, membacanya tidak bosan. Buku ini cocok sekali dibaca siapa saja yang ingin tahu lebih dalam apa persoalan mendasar yang ada di Jakarta selama ini.
Meski demikian, tak ada gading yang tak retak. “Kalau ada, ya retakkan!” kata seorang teman. Salah satu keretakan (atau kelemahan) buku ini adalah jatuhnya para penulis ke dalam asumsi-asumsi moral. Sehingga, faktor sistem atau kondisi sosial-ekonomi dan kemanusiaan nyaris terabaikan.
Soal prostitusi di antaranya dibahas dengan menggunakan argumen-argumen moral di mana ia bersifat personal. Moral atau akhlak (akhlaq) dalam filsafat etika Ibn Miskawayh memang merupakan sebuah perangkat  untuk menentukan yang baik dan yang buruk. Ia bersifat universal tapi persoalan yang baik dan yang buruk dalam praktiknya bersifat partikular.
Dengan mendasarkan teorinya pada etika Aristoteles, Ibn Miskawayh mendefinisikan kebaikan sebagai tujuan akhir dari segala sesuatu. Kita karenanya sulit menentukan apakah sebuah perbuatan orang lain itu baik atau buruk karena setiap individu punya tujuan akhir atau argumen moral yang sangat personal. Begitu juga persoalan prostitusi selama ini.

Judul: Rumah Kota Kita | Penerbit: @agenda18 | Penulis: Agenda18 V | Terbit: 2015 | Tebal: 253 Halaman




0 komentar:

Copyright © agenda 18 All Right Reserved