Jakarta dan Kompleksitasnya Ulasan Buku “Rumah Kota Kita”
15 Feb 2016
Setiap kota
selalu memiliki masalahnya sendiri. Namun, Jakarta memiliki tingkat
kompleksitas yang sangat tinggi. Hal ini terlihat dari aktivitas warga dan
hiruk pikuk lingkungannya sebagai ibukota. Karena itu, banyak seniman,
sejarawan, pengamat kota dan sebagainya memiliki perhatian khusus kepadanya.
Dari kalangan seniman, kita masih ingat
sebuah lagu dari Koes Plus tentang Jakarta berjudul “Kembali ke Jakarta”. Dari
kalangan sejarawan dan pengamat kota, kita bisa menyaksikan bagaimana mereka
mengadvokasi masyarakat pinggiran yang ada di Jakarta.
Sepertinya hal ini pula yang
melatarbelakangi munculnya Rumah
Kota Kita yang
ditulis Agenda 18, sebuah komunitas penulis muda yang berbasis Katolik dan
berwawasan plural. Mereka berusaha menyegarkan kembali isu-isu yang telah lama
berkembang tapi cenderung “terabaikan” karena terlihat sangat biasa.
Isu-isu tersebut mereka tuliskan ke
dalam sebuah buku agar masyarakat sadar akan berbagai masalah yang ada di
ibukota selama ini. Selain itu, kegelisahan yang dirasakan para penulis buku
ini merepresentasikan kegelisahan masyarakat secara umum. Paling tidak,
berbagai kegelisahan yang mereka sampaikan di dalamnya terangkum dalam lima
hal: (1) transportasi, (2) kemiskinan, (3) tata ruang/penggusuran, (4)
prostitusi, dan (5) HAM.
Kelima hal tadi memang merupakan bagian
dari masalah-masalah klasik. Tapi, belum ada solusi yang memuaskan sampai
sekarang. Hal ini bisa diketahui dari curahan hati para penulis yang
mendapatkan berbagai kesulitan dalam melakukan aktivitas sehari-hari mereka.
Meski demikian, ada juga yang merasakan hal berbeda dan merasa beruntung.
Salah satu yang mendapatkan kesulitan
adalah Maria Brigita
Blessty. Ia bercerita tentang aktivitasnya sebagai pengguna
transportasi umum sejati untuk berangkat dari rumah ke kampus dengan susah
payah membawa pernak-pernik kebutuhan kuliah. Blessty karenanya mengeluhkan
pembagian jalan antara bus umum dan bus Transjakarta yang halte-haltenya
relatif jauh dari rumahnya dan tanggung dijangkau dengan angkutan umum.
Berbeda dari Blessty, Rio Noto merasakan
betapa membantunya keberadaan Transjakarta. Baginya, bus Transjakarta
berpotensi mengurangi kemacetan di mana bus tersebut mendapatkan jalur khusus
meski Rio tak menafikan adanya beberapa hal perlu ditingkatkan seperti
pembenahan sarana transportasi lain dan penyempitan jalan karena akibatnya, dan
menyediakan fasilitas jembatan penyeberangan bagi para pejalan kaki.
Selain transportasi, kemiskinan di
Jakarta menjadi topik aktual yang diceritakan. Kita tidak perlu berdebat lagi
dalam hal ini karena banyaknya gelandangan dan permukiman kurang layak menjadi
bukti nyata. Tapi, sayangnya berbagai data yang disajikan dalam buku ini
tentang angka kemiskinan kurang mutakhir karena proses penulisan dan pencetakan
buku yang lumayan lama.
Menurutnya, ruang publik di Jakarta
harus tetap diperjuangkan karena dari ruang publik, muncul ruang solidaritas
terhadap seksama. Di antaranya korban HAM yang tercermin dalam aksi Kamisan dan
korban penggusuran. Dengan adanya ruang publik, muncul pula pendidikan politik,
hukum dan HAM kepada masyarakat.
Christina menulis:
Secara tidak langsung aksi Kamisan
menjadi sebuah pendidikan politik bagi publik. Meluasnya isu penegakan HAM,
penyebaran budaya HAM serta menguatnya jaringan solidaritas untuk korban
merupakan bentuk pendidikan polit[i]k yang terjadi.
Jenni Anggita punya pendapat berbeda
dalam melihat Jakarta sebagai ruang publik. Ia justru mendapatkan kesenangan
tersendiri di sana. Alasannya adalah begitu banyaknya komunitas di mana ia bisa
mendapatkan banyak wawasan bermakna.
Jakarta menurut Jenni, merupakan kota
dengan 1001 komunitas yang membuat kehidupan di dalamnya begitu berwarna.
Adanya berbagai komunitas tersebut memberikan ruang-ruang alternatif sebagai
tempat berinteraksi untuk melepaskan diri sejenak dari berbagai persoalan yang
ada di ibukota.
Dalam soal prostitusi, Pemda DKI
sepertinya masih mencari solusi yang tepat untuk mengatasinya. Sebab,
prostitusi bukanlah persoalan yang unik. Persoalan tersebut juga terjadi di
kota-kota lain atau bahkan negara-negara lain. Karena itu, isu ini menjadi
seksi untuk dikampanyekan para politisi di Jakarta secara khusus.
“Kritik
sebagai Vitamin, Pujian sebagai Camilan”
Buku yang lahir dari para penulis muda
ini menarik dibaca. Selain terdiri dari esai-esai, buku ini dilengkapi
kalimat-kalimat penghubung dari satu esai ke esai lain sebagai refleksi
personal. Sehingga, membacanya tidak bosan. Buku ini cocok sekali dibaca siapa
saja yang ingin tahu lebih dalam apa persoalan mendasar yang ada di Jakarta
selama ini.
Meski demikian, tak ada gading yang tak
retak. “Kalau ada, ya retakkan!” kata seorang teman. Salah satu keretakan (atau
kelemahan) buku ini adalah jatuhnya para penulis ke dalam asumsi-asumsi moral.
Sehingga, faktor sistem atau kondisi sosial-ekonomi dan kemanusiaan nyaris
terabaikan.
Soal prostitusi di antaranya dibahas
dengan menggunakan argumen-argumen moral di mana ia bersifat personal. Moral
atau akhlak (akhlaq)
dalam filsafat etika Ibn Miskawayh memang merupakan sebuah perangkat
untuk menentukan yang baik dan yang buruk. Ia bersifat universal tapi
persoalan yang baik dan yang buruk dalam praktiknya bersifat partikular.
Dengan mendasarkan teorinya pada etika
Aristoteles, Ibn Miskawayh mendefinisikan kebaikan sebagai tujuan akhir dari
segala sesuatu. Kita karenanya sulit menentukan apakah sebuah perbuatan orang
lain itu baik atau buruk karena setiap individu punya tujuan akhir atau argumen
moral yang sangat personal. Begitu juga persoalan prostitusi selama ini.
Judul: Rumah
Kota Kita | Penerbit: @agenda18 | Penulis: Agenda18 V | Terbit: 2015 | Tebal:
253 Halaman
0 komentar:
Post a Comment