Jurnalisme Era Digital
Oleh Gloria Fransiska
Minggu, 22 Juni 2014
Dihadiri: Sari, Dessy, Yunita, Eddy, Lukas, Gabriel, Jenni, Della, Tita, Agnes, Risdo, dan Vikth.
Pembicara: Ignatius Haryanto.
Bertempat di Kedai Seni Djakarte, Kota Tua, Komunitas Penulis Muda
Agenda 18 kembali melakukan aksi diskusi membedah buku Jurnalisme Era
Digital karya salah seorang mentor Agenda 18, Ignatius Haryanto.
Sekilas tentang Ignatius Haryanto, beliau adalah mantan jurnalis TEMPO dan Forum Keadilan. Saat ini beliau beraktivitas sebagai dosen jurnalistik di Universitas Multimedia Nusantara dan FISIP UI. Buku Jurnalisme Era Digital sesungguhnya adalah kumpulan esai Ignatius Haryanto tentang fenomena digital media yang mengubah perilaku jurnalisme.
Diskusi berlangsung cair dibuka dengan sesi
pertanyaan. Adapun fokus utama yang ditanyakan tentu saja tentang
penguasaan media di zaman digital oleh kelompok dan golongan tertentu.
Jurnalisme Era Digital adalah buku yang komprehensif, singkat, dan
menarik karena memunculkan konteks peran media di tengah konglomerasi
pemilik media.
Menurut salah satu peserta diskusi, Della Nadya,
kesalahan yang termaktub dalam buku Jurnalisme Era Digital terletak pada pendidikan
jurnalistik yang mencetak para wartawan. Karena kerap kali ditemukan
beberapa wartawan yang menulis berita tidak berdasarkan fakta yang
akurat dan cenderung tidak berpihak pada publik, alias tidak netral.
Menurut Ignatius Haryanto, jurnalis juga perlu memiliki sertifikasi seperti halnya lawyer, juga akuntan. Tujuan sertifikasi agar warga tahu bagaimana menjadi sosok yang profesional. Kadangkala permasalahannya berada bukan pada wartawan, tetapi pada pemilik medianya. Kerap kali pemilik media sudah membisikkan kepada editor bagaimana mengedit sesuai kemauan sehingga terjadilah krisis kepercayaan terhadap jurnalis itu sendiri.
Sementara itu, Gloria Fransisca
menanyakan tentang efektivitas media internet sebagai sarana aktivitas
jurnalistik. Gloria yang akrab dipanggil Tita mempertanyakan apakah berita online sepenuhnya dapat
dipercaya? Tidakkah karakteristik media online yang bebas lebih baik
digunakan sebagai interaksi saja seperti halnya kompasiana?
Ignatius Haryanto, selaku penulis pun menegaskan media sosial merupakan
salah satu informasi yang dapat digunakan wartawan, tetapi tetap perlu
diklarifikasi wartawan terkait kebenarannya. Tak hanya itu, sosial media
juga dapat digunakan sebagai alat kontrol bagi media mainstream,
contohnya TvOne. Media-media yang ada menampung banyak kritik
misalnya melalui twitter terkait ketidakberimbangan serta
independensinya. Penulis mengaku tengah melakukan pengamatan dalam masa
Pemilu terhadap media-media yang dipertanyakan independensinya, seperti
TvOne, Metro TV, dan media-media Hary Tanoesudibjo. Ambil saja contoh
Koran Sindo, yang ternyata konten headline dan pemberitaannya kerap
mengalami kegamangan yang berbanding lurus dengan pergerakan politik
pemiliknya.
Menurut Ignatius Haryanto, masih ada media-media
online yang tak hanya mementingkan kecepatan. Padahal saat ini kita
tidak bisa memungkiri demi bisnis dan laba tinggi, sekarang semua
menggunakan hitungan klik. Tawaran pasar soal klik ini mau tak mau mendorong perusahaan media membuat media online.
Di satu sisi, media sosial sesungguhnya bisa digunakan sebagai gerakan
sosial, ambil saja contoh change.org. Petisi online yakni dukungan dalam
bentuk sign tanda tangan dengan klik ini harua diakui punya kelemahan
yang signifikan. Adapun kelemahan itu adalah change.org belum mampu
memberikan kepastian komitmen dari para pendukungnya. Sekali lagi, cara
cara lama seperti tatap muka, turun aksi ke jalan, adalah bentuk nyata
implementasi komitmen. Kelemahan inilah yang perlu diingat para pegiat
sosial media.
Sosial media menunjukkan berita yang laku atau banyak
dikonsumsi masyarakat adalah yang berbau HVS, Horror, Violence, and Sex.
Hal ini dipaparkan oleh Sari. Jangan heran jika, seringkali kita kesal
karena banyak berita yang judulnya menipu, ambigu, tak sesuai dengan
isinya. Karena memang pada dasarnya, pemilik media hanya butuh klik
anda. Maraknya produk informasi seperti itu pada akhirnya tidak bisa
disebut produk jurnalistik, karena itu hanya bisa dikatakan sebagai
media jualan.
Jika berbicara mengenai isu, sebenarnya sosial media dan media mainstream tidak bisa dikatakan bahwa social media membuntuti isu dari media mainstream. Menurut Ignatius Haryanto, keduanya saling berkontribusi seperti kasus Ibu Ani Yudhoyono yang berita perilaku sosial medianya di media mainstream. Oleh sebab itu, dalam konteks gencarnya informasi, wartawan bertugas mengakses dan lebih jeli memverifikasi valid atau tidaknya berita tersebut.
Dalam sisi
lain, model bisnis media online yang nampak gencar sayangnya harus
diakui belum memiliki model bisnis yang sesuai. Jika ditelusuri kembali,
banyaknya berita di media online yang di edit sesuai keinginan pemilik
media massa, maka fungsi editot sudah tergantikan alias ternegasikan.
Jika berbicara tentang karakteristik anak muda, salah satu peserta,
Desy, yang adalah seorang guru menyatakan memang anak-anak zaman
sekarang memiliki tingkat kedalaman yang dangkal karena mulai sulit
membaca teks panjang. Itulah mengapa sosial media tak lantas banyak yang
tulisannya melebihi tiga scroll. Padahal tulisan yang panjang lebih
informatif.
Buku Jurnalisme Era Digital ini diakui Jenni Anggita
memang sangat khas dengan gaya bahasa Ignatius Haryanto. Tulisannya
singkat, namun dalam dan spesifik. Ignatius Haryanto mengemas tiap
tulisan esainya dengan asyik, mennyejajarkan pembaca dengan dirinya
sehingga tak terkesan menggurui. Ia mampu memaparkan berbagai fenomena
dari berbagai sudut pandang. Ia juga mengingatkan para jurnalis untuk
kembali pada kode etik.
0 komentar:
Post a Comment