Peran Marco dalam Pergerakan Nasional
Dari sekian banyak tokoh yang memengaruhi gerak pemikiran bangsa
Indonesia, Marco Kartodikromo mendapatkan tempat tersendiri dalam sejarah
bangsa. Hal ini berkenaan dengan keunikan Marco sebagai pemikir. Jika pada
umumnya para pemikir bangsa berangkat dari suatu teori dan kemudian mendapatkan
sintesis pemikirannya untuk diwujudkan, Marco Kartodikromo tidak demikian.
Ia berangkat dari realitas sosial yang dihadapinya. Marco yang
dilahirkan di Cepu pada Maret 1890, melihat bahwa di balik kemiskinan dan
ketimpangan sosial-ekonomi yang terjadi, ada sistem yang menjadi akar dari
ketidakadilan itu. Sistem tersebut adalah kolonialisme.
Meski Marco hanyalah seorang jurnalis berpendidikan rendah dibandingkan
dengan beberapa pemikir bangsa yang lain, ia tetap dikenal karena gaya
tulisannya yang khas. Tulisan Marco penuh dengan sindiran pada pihak kolonial
dengan permainan kata yang tidak begitu lazim bagi penulis berbahasa Melayu
ketika itu.
Pilihan Marco untuk menggunakan bahasa Melayu karena bahasa tersebut
sangat egaliter dan dapat dimengerti berbagai golongan masyarakat, entah
masyarakat pribumi, Belanda, Indo-Eropa, Tionghoa atau yang lain.
Langkah maju Marco ditunjukkan dalam pemikirannya mengenai kapitalisme
yang mengisap darah dan memakan daging rakyat. Adanya golongan kaya dan
golongan miskin bukanlah hal yang terjadi secara alamiah karena misalnya
golongan kaya adalah orang-orang yang rajin dan golongan miskin adalah
orang-orang yang malas. Tapi Marco melihat kenyataan tersebut sebagai akibat
dari sistem yang tidak adil.
Melalui tulisan-tulisannya yang tersebar di beberapa surat kabar seperti
Doenia Bergerak, Marco mendapatkan dukungan untuk membentuk persekutuan yang
lebih luas melawan ketidakadilan (Takashi Shiraishi, 2005). Persekutuan itu
kemudian menjadi dasar munculnya konsep “nasion” yang merupakan kombinasi
antara pemikiran dan praktik.
Ia tidak hanya memberikan konsep yang abstrak, tapi juga mengumpulkan
berbagai cerita ketidakadilan yang terjadi dan meramunya dalam narasi yang
baru. Hilmar Farid (2012) mencatat bahwa secara konseptual Marco bukanlah
“penemu”. Ia hanya cenderung menggunakan istilah yang sudah ada seperti
inlander, anak Hindia atau boemipoetra dalam berbicara tentang masyarakatnya
sendiri.
Menurut Hilmar, sejarah zaman bergerak (1912-1926) yang ditandai
pergerakan Marco dan juga beberapa tokoh pada generasinya seperti Cokroaminoto,
bukanlah pergeseran dari pemberontakan (petani) yang bersifat tradisional ke
organisasi politik yang bersifat modern, tapi perpaduan antara pemberontakan
dengan penyebaran ide dan juga pembangunan organisasi.
Di sana, peran Marco begitu penting. “Ia menjadi penghubung antara kaum
intelektual yang berkiprah dalam berbagai surat kabar yang menyuarakan pendapat
maupun kepentingan orang banyak, dan masyarakat secara luas di tingkat
kampung,” tegas Hilmar.
Pergerakan Nasional. Pergerakan kebangsaan negara Indonesia sejak akhir
abad ke-19 hingga awal abad ke-20 diwarnai dengan pergerakan-pergerakan
bercorak sosialis. Namun, paham sosialis yang dianut para pendiri bangsa pada
saat itu bukanlah paham sosialisme yang serupa dan sebangun dengan paham
sosialisme yang ada di Barat.
Ada banyak pemikir yang mengekstrak paham sosialisme ini dengan
pemikiran yang menandai konsep sosial Indonesia seperti yang tergambar dalam
syair yang ditulis Marco pada 1917, Sama Rasa Sama Rata. Hal ini menunjukkan
bahwa paham ini begitu memikat para pendiri bangsa untuk digunakan sebagai
pisau analisis dan alat perjuangan.
Alasannya karena pemikiran Marx dan gagasan sosialisme berpihak pada
nasib rakyat kecil dan kelas bawah. Dengan demikian, Marco dan juga para
pendiri bangsa lain tidak melihat bahwa kemiskinan merupakan realitas
deterministik melainkan suatu kejadian sosial yang disebabkan oleh sistem dan
struktur yang memiskinkan rakyat. Sistem itu adalah kapitalisme yang melahirkan
dan mendorong imperialisme.
Dalam Sarinah-nya, Sukarno mencanangkan perlunya revolusi nasional
menuju revolusi sosial agar tercipta masyarakat sosialis tanpa kelas dan tanpa
penindasan. Pemikiran ini telah dimulai sejak ia masih muda, yang sepertinya
telah menuju ke arah sintesis pemikiran nasionalisme, Islamisme, dan Marxisme.
Di samping pengaruh pergerakan sebelumnya, ajaran-ajaran Sukarno
mengenai sosialisme kerakyatan, nasakom, dan sosiodemokrasi merupakan konsep pemikiran
yang menerima pengaruhya dari analisis Marxis dan keterarahannya pada kesatuan
bangsa. Begitu juga Hatta yang tegas menolak pemerintahan otokratik dan fasis,
yang ingin membangun kehidupan berbangsa yang kokoh atas dasar kerja sama dan
rasa aman.
Berbeda dari Sukarno, Syahrir sangat membedakan sosialisme yang hendak
diperjuangkannya di Indonesia dengan sosialisme yang ada di Barat. Eka Wenats
Wuryanta (2015) mencatat bahwa sosialisme Syahrir adalah sosialisme yang
didasarkan pada kepercayaan bahwa pada umunya bangsa Indonesia mampu menerima
kebajikan yang jelas tampak dari sistem tersebut.
Perpaduan atau sinkretisme pemikiran seperti ini hendak menegaskan
keterbukaan Indonesia pada pemikiran-pemikiran asing. Namun, pemikiran tersebut
tetap dihadapi secara kritis dengan menempatkannya pada situasi sosial yang
terjadi di Indonesia. Dengan kata lain, apa yang dilakukan Marco dan yang lain
bukanlah suatu kelemahan tapi justru suatu kekuatan.
Masyarakat Indonesia dapat memilih dan memilah pemikiran-pemikiran yang
ada dan menyesuaikannya dengan kebutuhan dan posisi politik Indonesia.
Tulisan ini sebelumnya sudah dipublikasikan: qureta.com
0 komentar:
Post a Comment