Saturday, April 16, 2016

Peran Marco dalam Pergerakan Nasional





Dari sekian banyak tokoh yang memengaruhi gerak pemikiran bangsa Indonesia, Marco Kartodikromo mendapatkan tempat tersendiri dalam sejarah bangsa. Hal ini berkenaan dengan keunikan Marco sebagai pemikir. Jika pada umumnya para pemikir bangsa berangkat dari suatu teori dan kemudian mendapatkan sintesis pemikirannya untuk diwujudkan, Marco Kartodikromo tidak demikian.

Ia berangkat dari realitas sosial yang dihadapinya. Marco yang dilahirkan di Cepu pada Maret 1890, melihat bahwa di balik kemiskinan dan ketimpangan sosial-ekonomi yang terjadi, ada sistem yang menjadi akar dari ketidakadilan itu. Sistem tersebut adalah kolonialisme.

Meski Marco hanyalah seorang jurnalis berpendidikan rendah dibandingkan dengan beberapa pemikir bangsa yang lain, ia tetap dikenal karena gaya tulisannya yang khas. Tulisan Marco penuh dengan sindiran pada pihak kolonial dengan permainan kata yang tidak begitu lazim bagi penulis berbahasa Melayu ketika itu.

Pilihan Marco untuk menggunakan bahasa Melayu karena bahasa tersebut sangat egaliter dan dapat dimengerti berbagai golongan masyarakat, entah masyarakat pribumi, Belanda, Indo-Eropa, Tionghoa atau yang lain.

Langkah maju Marco ditunjukkan dalam pemikirannya mengenai kapitalisme yang mengisap darah dan memakan daging rakyat. Adanya golongan kaya dan golongan miskin bukanlah hal yang terjadi secara alamiah karena misalnya golongan kaya adalah orang-orang yang rajin dan golongan miskin adalah orang-orang yang malas. Tapi Marco melihat kenyataan tersebut sebagai akibat dari sistem yang tidak adil.

Melalui tulisan-tulisannya yang tersebar di beberapa surat kabar seperti Doenia Bergerak, Marco mendapatkan dukungan untuk membentuk persekutuan yang lebih luas melawan ketidakadilan (Takashi Shiraishi, 2005). Persekutuan itu kemudian menjadi dasar munculnya konsep “nasion” yang merupakan kombinasi antara pemikiran dan praktik.



Ia tidak hanya memberikan konsep yang abstrak, tapi juga mengumpulkan berbagai cerita ketidakadilan yang terjadi dan meramunya dalam narasi yang baru. Hilmar Farid (2012) mencatat bahwa secara konseptual Marco bukanlah “penemu”. Ia hanya cenderung menggunakan istilah yang sudah ada seperti inlander, anak Hindia atau boemipoetra dalam berbicara tentang masyarakatnya sendiri.

Menurut Hilmar, sejarah zaman bergerak (1912-1926) yang ditandai pergerakan Marco dan juga beberapa tokoh pada generasinya seperti Cokroaminoto, bukanlah pergeseran dari pemberontakan (petani) yang bersifat tradisional ke organisasi politik yang bersifat modern, tapi perpaduan antara pemberontakan dengan penyebaran ide dan juga pembangunan organisasi.

Di sana, peran Marco begitu penting. “Ia menjadi penghubung antara kaum intelektual yang berkiprah dalam berbagai surat kabar yang menyuarakan pendapat maupun kepentingan orang banyak, dan masyarakat secara luas di tingkat kampung,” tegas Hilmar.

Pergerakan Nasional. Pergerakan kebangsaan negara Indonesia sejak akhir abad ke-19 hingga awal abad ke-20 diwarnai dengan pergerakan-pergerakan bercorak sosialis. Namun, paham sosialis yang dianut para pendiri bangsa pada saat itu bukanlah paham sosialisme yang serupa dan sebangun dengan paham sosialisme yang ada di Barat.

Ada banyak pemikir yang mengekstrak paham sosialisme ini dengan pemikiran yang menandai konsep sosial Indonesia seperti yang tergambar dalam syair yang ditulis Marco pada 1917, Sama Rasa Sama Rata. Hal ini menunjukkan bahwa paham ini begitu memikat para pendiri bangsa untuk digunakan sebagai pisau analisis dan alat perjuangan.

Alasannya karena pemikiran Marx dan gagasan sosialisme berpihak pada nasib rakyat kecil dan kelas bawah. Dengan demikian, Marco dan juga para pendiri bangsa lain tidak melihat bahwa kemiskinan merupakan realitas deterministik melainkan suatu kejadian sosial yang disebabkan oleh sistem dan struktur yang memiskinkan rakyat. Sistem itu adalah kapitalisme yang melahirkan dan mendorong imperialisme.

Dalam Sarinah-nya, Sukarno mencanangkan perlunya revolusi nasional menuju revolusi sosial agar tercipta masyarakat sosialis tanpa kelas dan tanpa penindasan. Pemikiran ini telah dimulai sejak ia masih muda, yang sepertinya telah menuju ke arah sintesis pemikiran nasionalisme, Islamisme, dan Marxisme.

Di samping pengaruh pergerakan sebelumnya, ajaran-ajaran Sukarno mengenai sosialisme kerakyatan, nasakom, dan sosiodemokrasi merupakan konsep pemikiran yang menerima pengaruhya dari analisis Marxis dan keterarahannya pada kesatuan bangsa. Begitu juga Hatta yang tegas menolak pemerintahan otokratik dan fasis, yang ingin membangun kehidupan berbangsa yang kokoh atas dasar kerja sama dan rasa aman.

Berbeda dari Sukarno, Syahrir sangat membedakan sosialisme yang hendak diperjuangkannya di Indonesia dengan sosialisme yang ada di Barat. Eka Wenats Wuryanta (2015) mencatat bahwa sosialisme Syahrir adalah sosialisme yang didasarkan pada kepercayaan bahwa pada umunya bangsa Indonesia mampu menerima kebajikan yang jelas tampak dari sistem tersebut.

Perpaduan atau sinkretisme pemikiran seperti ini hendak menegaskan keterbukaan Indonesia pada pemikiran-pemikiran asing. Namun, pemikiran tersebut tetap dihadapi secara kritis dengan menempatkannya pada situasi sosial yang terjadi di Indonesia. Dengan kata lain, apa yang dilakukan Marco dan yang lain bukanlah suatu kelemahan tapi justru suatu kekuatan.

Masyarakat Indonesia dapat memilih dan memilah pemikiran-pemikiran yang ada dan menyesuaikannya dengan kebutuhan dan posisi politik Indonesia.



Tulisan ini sebelumnya sudah dipublikasikan: qureta.com

0 komentar:

Copyright © agenda 18 All Right Reserved