Pergerakan Perempuan dalam "Sarinah"
Oleh Maria Brigita Blessty
Ketika Indonesia baru saja merdeka, Sukarno mengatakan bahwa
suatu negara tidak dapat disusun jika soal perempuannya belum dipelajari secara
sungguh-sungguh. Ada beberapa pertanyaan yang muncul. Ada apa dengan perempuan?
Apa persoalan mereka? Bagaimana cara perempuan menunjukkan “geliat”
permasalahan mereka?
Dalam bukunya, Sarinah:
Kewajiban Wanita dalam Perjuangan Republik Indonesia, cet. III
(1963), Sukarno menunjukkan geliat pergerakan perempuan di dunia ini serta pada
posisi mana pergerakan perempuan memberikan hasil.
Pergerakan perempuan yang
dibahas Sukarno adalah pergerakan yang terjadi di Barat. Sebab, di dunia
Baratlah pergerakan perempuan ini mula-mula muncul bersamaan dengan Revolusi
Amerika dan Revolusi Prancis. Dalam dua revolusi ini, para perempuan Barat
melakukan suatu aksi yang sistematis untuk menuntut hak-haknya sebagai manusia,
sebagai anggota masyarakat dan sebagai warga negara.
Sebelum terjadi,
pergerakan perempuan hanya terbatas pada “temu kangen atau onderonsje" yang
dilakukan perempuan kelas atas. Menurut Sukarno, kegiatan tersebut bukan suatu
pergerakan yang menyusun aksi perlawanan, melainkan hanya suatu kegiatan untuk
mengisi waktu luang perempuan-perempuan kelas atas tersebut.
Kegiatan ini disebut
sebagai tingkat pertama atau tingkatan “Main Putri-Putrian” oleh
Sukarno. Sebab, kegiatan kumpul-kumpul ini hanya mengurusi masalah
kerumahtanggaan, menyempurnakan perempuan sebagai istri dan ibu dan sama sekali
tidak menyinggung perbandingan hak antara laki-laki dan perempuan. Dengan kata
lain, kegiatan ini hanya untuk melanggengkan “fungsi” perempuan dalam sistem
patriarkal.
Sukarno mengatakan bahwa
tujuan lain dari kegiatan ini adalah mendidik gadis-gadis muda agar mahir
mengurus rumahtangga, dengan mendirikan “sekolah-sekolah” yang tidak lain
adalah “sekolah rumahtangga”. Mereka mendidik gadis-gadis ini supaya “laku” di
kalangan pemuda bangsawan dan hartawan.
Mereka dididik bukan untuk
menjadi manusia yang memiliki pemikirannya sendiri agar dapat berperan aktif
dalam masyarakat, tapi untuk lebih sempurna dalam mengabdi pada laki-laki.
Sedangkan, orang-orang yang mendidik gadis-gadis muda tersebut adalah
perempuan-perempuan yang merasa diri lebih sempurna dalam urusan rumahtangga.
Jika si gadis muda tidak
mendapatkan kebahagiaan, bagi para “pendidiknya” itu disebabkan kurang
sempurnanya gadis tersebut dalam mengurus rumahtangga dan meladeni suami, bukan
karena tidak adilnya perbandingan antara perempuan dan laki-laki. Pergerakan
ini dipromotori oleh Madame de Maintenon di Prancis dan AH Francke di Jerman.
Kegiatan “Main
Putri-Putrian” ini tidak lama dan segera digantikan dengan pergerakan yang
menurut Sukarno, sudah secara sadar membantah kelebihan hak kaum laki-laki.
Selanjutnya Sukarno memaparkan bahwa munculnya pergerakan tingkat kedua atau
disebut sebagai pergerakan feminis ini berdasarkan suatu kesadaran bahwa hampir
di segala aspek kehidupan, perempuan tidak diberikan kesempatan yang sama
luasnya dengan laki-laki. Hampir semua hal kemasyarakatan menjadi monopoli
laki-laki (hlm. 149).
Sukarno menjelaskan bahwa tuntutan ini berkenaan dengan kepentingan
perempuan kelas atas akan lapangan pekerjaan, pendidikan dan peran serta dalam
politik. Jika dulu perempuan kelas atas beranggapan bahwa keburukan nasib
mereka terjadi karena kekurangan pada diri mereka, sekarang keburukan nasib itu
ialah akibat ketiadaan hak-hak perempuan dalam masyarakat.
Sukarno menunjukkan bahwa
ketiadaan hak-hak perempuan ini tidak hanya dirasakan perempuan kelas atas tapi
juga perempuan kelas bawah dan inilah titik temu tuntutan perempuan kelas atas
dan perempuan kelas bawah. Mereka bergerak bersama untuk satu tujuan yang sama:
kesetaraan.
Di bawah kepemimpinan
Mercy Otis Waren dan Abigail Smith Adams pada tahun 1776 di Amerika, mereka
menuntut hak perempuan diakui dalam undang-undang dasar Amerika. Aksi ini
berpengaruh pada pergerakan perempuan di Eropa, terutama di Inggris dan Prancis
(hlm. 150).
Perempuan-perempuan
Prancis menuntut persamaan hak dengan kaum laki-laki. Pergerakan perempuan di
Prancis memiliki dua penggerak yang berbeda. Dari kelas atas, gerakan tersebut
dipimpin Madame Roland. Sedangkan dari kelas bawah, pergerakan perempuan
dipimpin Olympe de Gouges, Rose Lacombe dan Theroigne de Mericourt.
Bagi Sukarno, ide
pergerakan ini memang muncul dari kelas atas, namun yang pertama kali
menggerakannya dengan struktur organisasi yang baik adalah perempuan kelas
bawah dengan Olympe de Gouges sebagai penggeraknya.
Meski begitu, pergerakan
ini ditinggalkan perempuan kelas bawah karena perbedaan isi tuntutan. Mereka
memang sama-sama menuntut hak perempuan diakui. Tetapi dalam pandangan Sukarno,
kalangan kelas atas lebih menekankan hak mereka untuk memiliki kesempatan yang
sama luasnya dengan laki-laki dalam hal pekerjaan, pendidikan dan politik.
Secara singkatnya, perjuangan mereka ditujukan untuk membebaskan perempuan dari
kurungan dalam rumah.
Sementara itu, yang
dialami perempuan kelas bawah sama sekali berbeda. Sejak munculnya
industrialisme, perempuan kelas bawah menghabiskan sebagian besar waktunya
untuk bekerja di pabrik. Mereka hanya bisa melihat anak-anaknya pada waktu
malam saja. Upah yang mereka terima juga sangat minim. Selain itu, sesampai di
rumah mereka masih harus mengerjakan pekerjaan rumahtangga yang “membongkokkan
punggung”.
Perempuan kelas bawah
menuntut pemanusiaan dirinya dalam hal pekerjaan, sebagaimana hak-hak
pemanusiaan yang diterima laki-laki. Ini terutama terkait dengan persoala jam
kerja dan upah yang diterima. Mereka adalah ibu sekaligus istri yang selalu
ingin menunjukan afeksi mereka pada anak dan suami. Sukarno menunjukkan bahwa
di sinilah letak perbedaan tuntutan tersebut.
Menurutnya, masalah
perempuan yang sesungguhnya terletak dalam sistem kapitalistis yang berlaku di
masyarakat. Sukarno menjelaskan secara perlahan masalah perempuan kelas atas
dan kelas bawah yang disebabkan sistem kapitalistis tersebut.
Perempuan-perempuan kelas atas yang sudah dibukakan kesempatannya untuk
bekerja, belajar dan berpolitik, tidak serta mendapatkan kesempatan tersebut.
Masyarakat kapitalistis
tidak selalu memberikan kesempatan bekerja pada semua orang yang mau bekerja
(hlm. 85). Parahnya lagi, masyarakat kapitailstis itu juga tidak serta merta
memberikan kesempatan kawin pada mereka yang mau kawin. Karena itu, banyak
gadis yang terus melajang walaupun ia sudah mandiri dan tidak bergantung.
Sistem masyarakat
kapitalistis ini pula yang menjadikan perempuan kelas bawah menjadi kuda beban
di tempat kerja mereka dan di dalam rumah. Sehingga, mereka tidak merasa
“dimanusiakan” dalam pekerjaannya. Sukarno mengutip Henriette Roland Holst yang
dalam pidatonya (hlm. 156) mengatakan:
Semua kesengsaraan wanita
ini adalah terikat pada bentuk masyarakatnya yang burdjuis, kepada cara
produksi yang sistemnya kapitalistis. Malah juga kepada sebagian besar wanita
atasan dan pertengahan, kepada mereka yang dapat bersuami dan beranak,
pergerakan wanita burdjuis itu tidak dapat mendatangkan kemerdekaan, tidak
dapat mendatangkan pemecahan soal-hidup mereka yang paling sulit.
Dengan keyakinan inilah
dalam pandangan Sukarno, berkembang gerakan perempuan yang ketiga, yaitu
pergerakan dalam aksi sosialis. Tujuan mereka adalah untuk mendatangkan dunia
baru, di mana laki-laki dan perempuan sama-sama bahagia, dengan tidak adanya
lagi pemerasan satu kelas terhadap kelas yang lain; tiada penindasan satu sekse atas sekse yang
lain.
Mengenai gerakan ketiga
ini, Sukarno melihat perempuan tidak lagi bergerak sendirian. Tidak ada lagi
pergerakan yang dikotak-kotakan berdasarkan jenis kelamin. Tapi, yang ada
adalah laki-laki dan perempuan bergerak bersama, bahu-membahu dalam satu
gelombang pergerakan yang sama menuju kemerdekaan kelas dan kemerdekaan sekse.
Jika
aksi feminis melawan laki-laki, maka aksi pergerakan ketiga ini bergerak
bersama laki-laki. Dengan tercapainya “tingkat ketiga” ini, tercapai juga
tingkat yang tertinggi dari perjuangan Sarinah mengejar nasib
yang lebih layak.
Tulisan ini sebelumnya sudah dipublikasikan oleh qureta.com
0 komentar:
Post a Comment