Tuesday, October 8, 2013

Fernando Flores dan Kalimat Aksi (1)

oleh Her Suharyanto

TAK BANYAK  orang Chile yang namanya dikenal dunia selain Augusto Pinochet, Evita Peron dan tentu saja pemain sepak bolanya. Tetapi para pelaku manajemen dengan visi global pasti mengenal nama Fernando Flores, yang sejatinya justru seorang “tukang insinyur”, politikus, dan filsuf.  
Fernando Flores

Pasti bahwa Fernando Flores adalah musuh politik Pinochet. Tapi tanpa sang diktator, bisa jadi Flores tidak akan dikenal [masyarakat bisnis] dunia seperti sekarang.

Ketika Flores baru berusia 29 tahun, oleh pemerintahan Salvador Allende dia diangkat menjadi anggota kabinet, sebagai menteri keuangan. Pengangkatan itu dilakukan karena Flores berhasil memimpin satu program komputerisasi dalam lingkungan pemerintahan Allende, satu program yang bahkan “membuat gemetar” negara-negara maju seperti Amerika Serikat.


Program komputeriasai Chile dilakukan atas rekomendasi seorang super-engineer, Stafford Beer. Presiden Allende menyetujui gagasan itu, karena pakar komputer asal Inggris tersebut meyakinkan bahwa Chille bisa membangun super komputer untuk mengalola perekonomian nasional. Mereka akan memiliki satu ruang kontrol canggih, yang menampung seluruh data perekonomian nasional terkini. Dengan demikian berbagai keputusan ekonomi bisa dilakukan dengan cepat, tepat, dan efisien.

Sebagai catatan, ide ini muncul tahun 1970, ketika istilah komputer baru dikenal oleh segelintir orang. Bahkan Amerika pun belum mempunyai sistem sebagaimana diusulkan Beer. Dan hebatnya lagi, Presiden Allende, seperti melompat dari zamannya,  menyetujui proposal itu. Pada tahun 1973 program tersebut pun  jadi.

Maka tibalah hari sang presiden melihat karya besar itu.  Dia duduk di satu ruang besar. Di hadapannya, pada satu sisi dinding, ada layar monitor besar berpigura kayu. Di depan monitor itu duduk sejumlah operator. Dari tempat duduknya Presiden Allende meminta data A, lantas data B, kemudian data C, dan seterusnya. Dan ajaib.Semuanya terpenuhi dengan cepat. Hari itu Chile menjadi negara komputer pertama di dunia.

Tetapi apakah barat, termasuk medianya, pernah rela melihat kemajuan datang dari negara dunia ketiga?

Koran Observer yang terbit di London, jelas telah salah menafsir fakta tersebut (yang menggelikan untuk ukuran sekarang). Menurut koran ini, Chile akan diperinta holeh satu sistem komputer… satu mesin yang jauh dari ciri-ciri kemanusiaan. Tak punya hati, tak punya perasaan. Observer menulis bahwa sistem komputer itu berada si atas manusia-manusia di jajaran pemerintahan. Karena mesin hanya bekerja berdasarkan logika matematis, dan dia diberihak memerintah, maka Chile berada dalam ancaman diktator baru. Mesin. Begitu pesan Observer. Sementara itu Amerika juga tidak tinggal diam. Presiden Nixon, yang tahu persis proyek yang dibangun sejak 1970 itu, semakin gelisah.

Allende sudah tidak disukai Amerika jauhsebelum tokoh sosialis itu menjadi presiden. Karena itu sang negara adidaya melakukanberbagai upaya agar Allende tidak terpilih. Tetapi rakyat Chile terlanjur marahterhadap kediktatoran, sehingga Allende mendapatkan dukungan praktis penuh.

Maka ketika Allende “berulah” dengan membangun sistem komputasi itu, beranglah Uwak Sam. Damninteresting.com melaporkan bahwa sang Uwak melakukan operasi untuk memperlambat gerak ekonomi di Chile. Pengucuran kredit dipersulit, pengiriman barang diperlambat, suku cadang menjadi barang langka, dan yang terparah adalah tiba-tiba saja permintaan akan tembaga dari Chile menguap ditelan bumi. Allende merespon situasi itu dengan menaikkan gaji pegawai negeri dan mendesak swasta melakukan hal yang sama. Efeknya? Inflasi melejit, dan ekonomi berantakan.

Itulah awal petaka bagi Allende, termasuk bagi Fernando Flores. Pada tanggal 11 September 1973 [terus terang ingatan saya langsung pada 11 September 2001, ketika Amerika diserang teroris panglim aangkatan udara Chile, Augusto Pinochet, dengan tegas mengabaikan perintah Allende. Bahkan kemudian Pinochet memimpin perlawanan terhadap sang presiden. Maka, tokoh sosialis yang terpilih secara demokratis itu pun tewas terbunuh dalam satu kudeta berdarah.

FERNANDO FLORES memulai babak baru dalamh idupnya. Di penjara, dan harus bertahan di sana tiga tahun lamanya. Dia dibebaskan berkat kerja keras Amnesty International, satu lembaga swadaya yang bergerak di bidang hak azasi manusia. Begitu dibebaskan, Flores diterbangkan ke Amerika, dan kemudian mengikuti program doktor di University of California, Berkeley.

Dalam riset doktoralnya dia mencoba menggabungkan beberapa disiplin ilmu seperti linguistik (filsafat bahasa), komputasi, metodologi riset, dan manajemen. Dalam studi itu dia jatuh cinta setengah mati pada filsuf Jerman, Martin Heidegger, dengan diktumnya yang sangat terkenal, Bahasa adalah rumah bagi kehidupan manusia. Berdasarkan diktum itulah Flores masuk dalam studi pribadi tentang hubungan antara kata-kata dengan diri (hidup seseorang). Dari Heidegger, Flores belajar bahwa bahasa bukan hanya mengekspresikan informasi, tetapi juga komitmen. Karena itu, menurut Flores, tingkah laku manusia sangat ditentukan oleh apa yang dikatakannya. Dari orang yang berbicara tegas dan teguh bisa diharapkan tindakan yang sebanding.

Apakah kemudian Flores sampai pada kesimpulan bahwa kita bisa menilai seseorang dari apa yang dikatakannya?

Ya, tapi bagi Flores itu bukan bagian yang terpenting. Yang lebih penting adalah bagaimana orang bisa mengubah cara hidupnya dengan mengubah cara berbicara. Dan dalam tataran yang lebih luas, sebuah organisasi bisa berubah, bahkan bertransformasi, dengan mengubah cara berbicara orang-orang yang ada di dalamnya. Flores memperkenalkan apa yang disebut dengan “kalimat aksi”.

Semua orang dalam satu organisasi, menurut Flores, harus belajar menggunakan “kalimat aksi”. Apa maknanya? Pertama, dalam satu interpretasi, istilah itu bisa diterjemahkan sebagai say what you do, do what you say (katakan [hanya] yang Anda lakukan, dan lakukan [hanya] yang Anda katakan).

Kedua, “kalimat aksi” memiliki makna yang lebih dalam lagi, yakni bahwa setiap orang [dalam organisasi] harus selalu dengan sadar memberi “muatan aksi” pada setiap kalimat yang diucapkannya. Kalau dalam sebuah organisasi [bisnis maupun non bisnis] semua pihak mampu melakukan komunikasi dengan “bahasa aksi”, maka hal itu akan membuka mata pada berbagai kemungkinan baru, baik secara internal maupun eksternal (pelanggan, pasar).

Bagaimana bentuk “kalimat aksi” yang dimaksud Flores? Bagaimana semua itu bisa ditularkan dalam satu komunitas atau organisasi? Bagaimana hasilnya? Silakan tunggu sampai tulisan berikutnya selesai.

0 komentar:

Copyright © agenda 18 All Right Reserved