Tuesday, April 1, 2008

Ekspresi Identitas Dalam Dunia Cyber

KOMPAS Minggu, 04-06-2000. Halaman: 18

" MILIS ini untuk dipakai oleh siapa saja, pengamat burung,pemerhati, atau sekadar memperoleh, mengikuti kabar burung serta lingkungannya... konon kabarnya, kabar burung lebih asyik daripada burungnya sendiri..."

Jangan dulu berasosiasi macam-macam dengan persoalan burung dan kabar burung di atas, karena kalimat di atas tersebut dipetik dari "welcoming message" dari suatu milis para penggemar burung yang ada dalam grup diskusi eGroups.

Milis 'burung' di atas dibuat untuk mereka yang berminat untuk berbicara, berdiskusi, saling tukar informasi sebagai sesama pencinta burung. Milis para pencinta burung ini sejauh datanya tertera pada www. egroups.com & http://www. egroups.com & beranggotakan enam orang, dan milis semacam ini hanya satu dari sekian ratus (ribu?) milis yang dibuat oleh orang-orang Indonesia dengan menggunakan media internet sebagai sarana diskusi.

Jumlah kelompok diskusi ini kalau kita tambahkan dengan kelompok yang menggunakan bahasa Inggris sebagai medium utamanya, jumlahnya bisa mencapai puluhan atau bahkan ratusan ribu.

Kehadiran para kelompok diskusi via dunia cyber ini merupakan suatu perkembangan yang menarik dalam melihat kemajuan teknologi komunikasi lewat media bernama internet. Bahkan kalau menurut Krishna Sen dan David T Hill dalam buku terbarunya (Media, Culture and Politics in Indonesia, 2000, lihat bab "The Internet: Virtual Politics")-dan juga seperti yang pernah dikemukakan oleh Dedy Nur Hidayat dalam salah satu artikelnya-medium internet ini punya peran besar dalam usaha para aktivis mahasiswa dan golongan kelas menengah untuk menjatuhkan rezim Soeharto. Signifikansi medium internet ini oleh Sen dan Hill dianggap setara dengan medium radio yang menjadi pelopor dan alat penyebarluasan kabar proklamasi tahun 1945.

Tulisan kecil ini sekadar memberikan feature atas perkembangan teknologi komunikasi yang kini makin dimanfaatkan sebagai ekspresi identitas dari berbagai kelompok, yang mungkin saja pada masa Orde Baru kesulitan mendapat tempat untuk berdiskusi secara bebas untuk topik-topik yang dianggap tabu oleh Negara (masalah Marxisme, Gay-Lesbian, misalnya).

Perkembangan ini bisa saja dilihat sebagai bentuk demokratisasi media dimana sensor penguasa makin sulit dilakukan oleh rezim-rezim otoriter, tetapi juga bisa juga kita khawatir kalau melihat dalam kerangka besar bahwa industri media, termasuk internet, masuk dalam kekuasaan kapitalisme global, yang kini hanya dimiliki oleh tinggal beberapa aktor besar dalam industri ini. Kita ingat saja kejadian awal tahun 2000 ini yaitu merger antara media internet American On Line (AOL) dan Time Warner yang bernilai $350 milyar. Rekor baru dalam nilai merger dalam industri media sebelumnya antara penggabungan stasiun televisi CBS dengan Viacom (pemilik MTV) senilai $37 milyar.

Sementara itu jumlah pengguna media internet di Indonesia masih sangat terbatas (cuma 0,4% dari total populasi Indonesia, lihat Kompas 6 Mei 2000, "Masa Depan ada di Jaringan Internet", atau kira-kira sama dengan 8 juta orang), jika dibandingkan dengan negara-negara Asia Tenggara lainnya. Dari data International Data Corporation, di Asia Tenggara pengguna terbesar dibandingkan dengan rasio penduduknya adalah Singapura (17,9%), Malaysia (5,6%), dan Thailand (2%).

Wacana alternatif
Kelompok-kelompok diskusi dalam dunia cyber yang jauh berkembang dalam dua tahun belakangan ini, menunjukkan perkembangan yang menggembirakan dengan hadirnya berbagai wilayah publik yang bisa dijadikan wacana yang tidak tergantung oleh wacana dominan, seperti misalnya yang ditampilkan oleh surat kabar, majalah dan televisi.

Pembicaraan yang ada di milis grup ini bisa sekadar obrolan santai, saling tukar menukar isu, memberi informasi, saling berkenalan, atau bahkan berdiskusi serius, terutama perkembangan muktahir dalam bidang ekonomi dan politik di Indonesia, misalnya. Bahkan tak jarang dalam salah satu posting milis-milis ini (terutama yang berdiskusi soal politik) ada juga ajakan untuk melakukan demonstrasi untuk memprotes suatu kebijakan pemerintah. Bahkan kita masih ingat dalam beberapa bulan terakhir ini, hasil dari komunikasi via internet ini telah menghasilkan suatu demonstrasi-demonstrasi berskala global kepada rezim ekonomi politik dunia yang dikuasai oleh sejumlah negara industri sambil didukung oleh beberapa agen keuangan multilateral dunia (IMF & World Bank). Kejadian di Seattle pada awal Desember 1999.

Haruslah diakui bahwa dengan keberadaan internet ini telah muncul suatu komunitas tersendiri yang terbagi-bagi atas dasar identitas yang mereka pilih. Mungkin ini juga semacam imagined communities (konsep yang pertama kali diperkenalkan Ben Anderson dalam menjelaskan soal nasionalisme tahun 1983) dengan pengertian lebih diperluas dan memasukkan ide tentang teknologi komunikasi
muktahir di dalamnya.

Kalau dalam penjelasan soal nasionalisme, Ben menyebut medium surat kabar sebagai pemersatu dari komunitas imaji tersebut, namun dengan perkembangan yang canggih dari teknologi komunikasi, medium internet bisa menghasilkan suatu komunitas baru yang tersendiri, yang memiliki berbagai pilihan identitas dan itu sama sekali yang menyangkut soal nasionalisme. Komunitas ini memiliki beragam pilihan identitas dalam saat yang bersamaan, dengan masing-masing kelompok bisa mencapai jutaan anggota, ada yang mencapai ribuan orang, tetapi sebaliknya ada juga yang cuma beranggotakan puluhan orang atau di bawah angka 5 orang misalnya.

Dari ratusan milis yang dikelola oleh para warga Indonesia bisa dikategorikan sebagai kumpulan para professional (jurnalis misalnya, lewat milis Aliansi Jurnalis Independen, serikat jurnalis), atau kumpulan kelompok minoritas (milis tionghoa, milis gay-lesbian misalnya), kelompok ideologi politik (indo-marxist, misalnya), kumpulan yang berhobi sama (milis mancing, musik Indonesia, jazz Indonesia, misalnya),kumpulan mereka yang sedaerah asal (Sukoharjo, Medan, dan lain-lain), kumpulan alumni suatu lembaga pendidikan (mulai dari alumni smp-sma-hingga universitas, baik dalam maupun luar negeri) ataupun kumpulan atas dasar minat tertentu (agama, musik, film, motor, basket dan lain-lain), bahkan beberapa milis ada yang dibuat khusus untuk suatu keluarga besar (misalnya milis Krapyak, yang berada di bawah Yayasan Sapardi Dwijosastro). Tiap milis yang didirikan mendasarkan diri pada suatu identitas yang mereka sepakati.

Identitas di sini yang menjadi pembeda antara satu komunitas dengan komunitas lainnya, dan setiap orang bisa punya banyak identitas, ia bisa seorang lulusan dari Universitas Indonesia, sekarang menjadi pengacara, suami dan ayah dalam sebuah keluarga, punya hobi mancing, ikut dalam milis yang mendiskusikan soal sufi tetapi ia juga tertarik dengan musik jazz.

Konflik yang tak berdarah
Dalam milis-milis ini tentu saja ada pertentangan pendapat, ada juga mungkin konflik identitas, ada ketidaksepahaman. Namun konflik-konflik atau perbedaan pandangan dari para anggota milis ini tentu saja tidak lalu menjadi suatu kepanjangan tangan dari konflik yang berdarah. Paling banter adalah mencaci lawan bicara, atau membalas argumen seseorang dengan opini yang lain. Namun biasanya setiap milis memiliki moderator atau administratur yang akan mengatur lalulintas pembicaraan, dan kala dianggap diskusi sudah melenceng jauh atau jauh dalam maki-makian, biasanya si moderator akan mengingatkan penulisnya.

Setidaknya konflik seperti ini sehat saja untuk membiasakan para anggota milis untuk beradu pendapat, tanpa harus jatuh dalam sikap emosional yang diikuti dengan kegiatan fisik untuk melukai lawan bicaranya. Misalnya dalam milis madia-info (Madia= Masyarakat Dialog Antar Agama) pernah ada debat yang menarik ketika membahas soal gerakan Jihad di Indonesia dalam beberapa waktu terakhir ini, atau juga debat soal Yesus sebagai fenomena sejarah yang kerap kali tak cocok dengan gambaran seperti yang ada dalam kitab suci, atau juga perdebatan soal kerusuhan di Ambon. Sekeras apa pun argumen dilontarkan, terserah kepada masing-masing anggota milis untuk menilai mana yang terbaik untuk mereka. Milis madia-info ini dibentuk pada 22 Oktober 1998 dan beranggotakan 83 orang (hingga bulan Mei 2000) dan termasuk milis yang aktif berdiskusi dengan rata-rata pesan yang tersirkulasi per bulannya mencapai 200-300 pesan dalam lima bulan terakhir ini.

Konflik dalam bentuk yang lebih sederhana bisa saja terjadi dalam dunia musik misalnya. Umpama ada seorang fans fanatik dari grup band Rolling Stones berkampanye untuk publik mengakui kebesaran band tersebut. Tetapi tentu saja tak semua bisa dipaksa untuk menyukai Rolling Stones. Generasi muda angkatan 90-an tentu lebih kenal dengan nama-nama group band seperti Counting Crows, Pearl Jam, Guns n' Roses atau Kid Rock.

Grup diskusi sebagai wadah ekspresi
Harus diakui menjelang kejatuhan Soeharto pada bulan Mei 1998 intensitas pemakaian internet sangat besar, dan bahkan sementara pihak ada yang menyebut bahwa kejatuhan Suharto adalah kejatuhan yang disebabkan oleh revolusi yang disusun lewat internet. Perdebatan soal kondisi politik dalam negeri tetap saja menjadi bahan pembicaraan yang tak habis-habis, apalagi dengan melihat adanya polarisasi kekuasaan yang tajam di antara kalangan pendukung dan penentang Presiden Abdurrahman Wahid.

Akan tetapi di samping pembicaraan tentang politik, ada juga berbagai agenda lain yang juga dibawakan oleh berbagai kelompok yang memiliki identitas lain, misalnya saja milis yang dimiliki dan dikelola oleh beberapa kelompok minoritas politik selama ini. Salah satu kelompok minoritas itu misalnya, kelompok masyarakat Tionghoa yang memiliki milis sejak tanggal 15 November 1998 dan hingga kini memiliki 57 orang anggota. Dari catatan yang disebut dalam halaman muka milis ini, frekuensi korespondensi yang paling tinggi adalah antara bulan Juli - September 1999. Misalnya salah satu topik diskusi yang berkembang di situ adalah soal istilah antara "cina", "mandarin", atau "hoa yu" atau "gou yu" guna mengidentifikasi diri mereka, berikut dengan sejarah masing-masing kata tersebut. Lalu juga perdebatan soal "ketionghoaan" itu sendiri sebagai identitas diri dan kelompok.

Kelompok minoritas lain yang juga menggunakan internet sebagai wahana diskusinya adalah kelompok gay dan lesbian. Setidaknya ada dua milis yang memberikan tempat untuk berdiskusi soal kehidupan gay dan lesbian di Indonesia, dan keduanya dikelola oleh kelompok Gaya Nusantara yang dipimpin oleh Dede Oetomo.

Menarik sekali melihat perkembangan besar yang terjadi dalam dunia komunikasi via internet, yang bisa jadi wadah untuk menimba ilmu, mencari teman, berdiskusi, mendapat informasi atau bahkan berkomunikasi dengan para tokoh misalnya.

Fenomena di atas baru sekadar menggambarkan perkembangan dari grup diskusi di internet, namun masih harus dilihat lagi apakah misalnya fenomena merebaknya berbagai grup diskusi ini akan memberi perkembangan tertentu bagi kemajuan bangsa misalnya. Karena media ini pun jika dipakai secara optimal bisa menjadi alat untuk memungkinkan komunikasi jadi lebih setara, demokratis dan lebih murah.

0 komentar:

Copyright © agenda 18 All Right Reserved