Saturday, March 1, 2008

Menyimak Kuartet Gesek

Satu per satu empat perempuan muda yang berbalutkan pakaian hitam keluar dari belakang panggung. Dengan menggendong senjata masing-masing, mereka berempat berdiri bejajar sambil tersenyum. Tanpa basa-basi mereka membungkuk memberi hormat, duduk, lalu meniupkan sepotong komposisi indah ke langit-langit gedung. Biar karya ini yang bicara tentang siapa kami. Mungkin itu maksud mereka.

BUAH karya Joseph Haydn (1732-1809) berjudul Quartet opus 74 no. 1 in C. Lewat komposisi inilah mereka memperkenalkan diri ke hadapan penonton yang berharap dijamu dengan sebuah sajian pertunjukkan musik yang berkualitas. Empat perempuan asal Inggris tersebut mensinergikan jiwa musik mereka dalam sebuah kelompok gesek, Iuventus String Quartet.

Pada 28 Januari 2008 malam di Goethe Haus, Jakarta Pusat, kuartet gesek yang terdiri dari Victoria Sayles, Rose Redgrave, Ruth Rogers, dan Katherine Jenkinson ini, memamerkan kepiawaian mereka dalam menyulam not demi not demi menghidupkan kembali nyawa musik yang tercipta berabad-abad lalu. Dengan nyaris sempurna, kuartet yang dibentuk pada tahun 2003 ini memulai resital pada malam itu dengan meninggalkan kesan takjub yang mendalam di raut para penonton. Tentunya lewat karya Haydn tadi.

Bagaimana tidak. Karya Haydn, komposer di jaman Klasik ini, dilantunkan dengan porsi yang sesuai dengan keharusannya. Yakni musik berstruktur monofonik yang simpel, tidak berlebihan. Intonasi yang ringan dan timbre cerah membungkus olah rasa mereka dalam menafsirkan karya tersebut. Kejelasan dialog tanya jawab antar instrumen pun turut menyumbang nilai estetik pada permainan.

Haydn, yang memang dikenal sebagai “Bapak Simfoni’, juga banyak menciptakan komposisi khusus untuk kuartet gesek. Ada ratusan karya jenis ini yang ia rampungkan selama hidupnya. Untuk karya simfoni saja, Haydn mencipta 104 buah. Musiknya yang sangat orisinil disebabkan sebagian hidupnya yang hanya menjadi musisi istana. Sehingga pengalaman musikalnya terisolasi dari gaya komposer lain yang sedang berkembang di jamannya.

Kuartet yang tersusun atas dua biola, satu biola alto, dan cello itu bermain dengan amat menyenangkan dan lincah. Dan dengan amat rileks, Iuventus menutup karya yang terdiri dari lima bagian ini – Allegro, Andantino grazioso, Menuet, Finale – dengan tempo yang amat cepat, namun tanpa memberi kesan karya tersebut memiliki teknik bermain yang amat tinggi dan kompleks.

Di sajian kedua, karya dari komposer besar Jerman, Ludwig van Beethoven (1770-1827) menjadi pilihan. Karya tersebut bertajuk Quartet opus 18 no. 1 in F. Karya ini mempunyai karakter yang berbeda jauh dengan sebelumnya. Dan dengan amat mendadak, nuansa klasik yang barusan usai digantikan dengan nuansa romantik yang ekspresif dan penuh elegi. Apalagi karya ini milik seorang komposer yang menjadi ikon penting yang menjembatani perubahan jaman Klasik ke jaman Romantik. Yang mana Beethoven sendiri adalah seorang yang amat penggelisah, pemarah, urakan, tapi sering kesepian, penyayang, dan jenius luar biasa. Walau ia pernah berguru pada Haydn, tapi musiknya sungguh berbeda. Ia mandiri. Tidak mengekor siapapun.

Di tangan empat perempuan pemusik ini, dengan amat emosional, mereka mengedepankan sentuhan-sentuhan liris pada melodi. Dengan amat melodius, tiap instrumen yang kebagian jatah melodi membuat miris perasaan yang mendengarkan. Kadang terdengar elegan dan jenius, karakter Beethoven. Atau pada bagian lain, justru terdengar tenggelam dalam amarah atau tangis yang tersedu-sedu.

Dengar saja pada bagian ketiga, Scherzo & Trio. Sebuah babak yang dramatik dan dengan intensitas volume suara yang fluktuatif. Ada gemuruh suara rendah dari cello yang galak yang selalu mengawal dengan setia, atau kadang sebagai solis. Sungguh ramai dan bernyawa.

Namun, pada karya empat bagian ini – Adagio con brio, Adagio affettuoso ed appassionato, Scherzo & Trio, Allegro – stamina mereka terlihat menurun. Tidak serapih karya pertama. Kedodoran banyak terlihat pada melodi-melodi cepat yang dibawakan biola 1 (Ruth Rogers) dan biola 2 (Katherine Jenkinson). Artikulasi yang sedikit kabur seakan mendengar sebuah gumaman, bukan ucapan. Tapi itu pun tak mengurangi rasa puasnya penonton pada penampilan mereka yang diselenggarakan oleh Chamber Music Series ini.

Berikutnya adalah karya yang berjudul Piano Quintet opus 81 yang dibawakan usai istirahat. Karya dari zaman Romantik ini adalah milik Antonin Dvorak (1841-1904), komposer asal Kroasia. Dvorak adalah komponis yang terkenal dengan komposisinya untuk simfoni dan concerto.

Penampilan pada karya yang ketiga ini agak berbeda. Kali ini, dengan formasi kuintet, mereka ditemani oleh pianis, Martin Cousin. Juga dalam empat bagian – Allegro ma non tanto, Andante con moto, Scherzo Furiant, Finale – karya ini dibuka dengan solo melodi pada cello sebagai tema lagu yang diiringi leh piano. Kemudian, suasana yang awalnya kalem, mendadak dikejutkan oleh masuknya ketiga instrumen lain yang bertempo cepat dan garang. Lalu berlanjut pada pengembangan dari tema di awal lagu oleh cello.

Lewat karya Dvorak ini, permainan kuintet mereka mencapai klimaks dengan memuaskan. Virtuositas kelimanya terlihat begitu menakjubkan. Karakter lagu yang dibawakan dengan rubato semakin mengentalkan semangat Romantik yang diemban. Sungguh sebuah sajian yang memaksa penonton untuk memberi tepuk tangan panjang meminta Encore. Namun Encore yang dinanti tak kunjung jua. Dan membiarkan penonton pulang dengan beban ingin membayar utang untuk menyaksikan pengalaman musik sejenis. Sekaliber malam itu. Akankah musisi Indonesia?

Diterbitkan di media Sinar Harapan pada 2 pebruari 2008

0 komentar:

Copyright © agenda 18 All Right Reserved