Romantisme dan lain-lain dalam Si Lugu
Oleh Jenni Anggita
Info Buku
ISBN :
979-461-032-1
Dimensi :
11,5 x 17 cm
Jenis Cover :
Softcover
Jenis Kertas :
HVS
Berat :
100 gram
Jumlah Halaman : xi + 118 halaman
Tahun Terbit :
2003
Penerbit : Yayasan Obor Indonesia
Di pengujung hidupnya, Nona De Saint-Yves yang
sakit keras akhirnya memberanikan diri berterus terang kepada kekasihnya, Si
Lugu. Kekasihnya itu pun menjawab dengan penuh cinta dan kearifan, “Tidak, Anda
tidak bersalah. Kejahatan harus keluar dari hati, sedangkan hati Anda begitu
baik dan telah menjadi milik saya.” Bebannya terangkat seketika, seolah
kata-kata itu bagi Nona De Saint-Yves dapat menyembuhkannya. Cinta si Lugu
kepada kekasihnya di bagian akhir bak Romeo dan Juliet begitu mengharukan.
Sepetik kisah di atas berasal dari novelet
terjemahan berjudul L’INGENU atau “Si
Lugu” karya penulis besar Prancis, Voltaire. Selain sebagai Enlightenment writers di abad ke-18,
Voltaire yang bernama asli Francois-Marie Arouet, juga seorang pemikir, ahli
filsafat, penulis karya sastra, dan seorang yang membenci ketidakadilan dan
kefanatikan. Dari kurang lebih 26 dongeng yang ditulisnya, Si Lugu adalah salah satu yang paling terkenal selain Zadig dan Candide. Dia juga menulis drama tragedi yang sangat terkenal sampai
kini yaitu Oedipus.
Sebagaimana judulnya, kita sudah bisa menebak
karakter tokoh utamanya yang bersahaja, apa adanya, jujur, dan polos. Kemudian,
keluguan tokoh utama tersebut berkembang menjadi arif bijaksana, kritis, dan
pandai.
Ketimbang menyebut buku ini novel saya kira lebih
tepat kalau kita sebut Si Lugu ini sebagai sebuah novelet. Jika cerita pendek
atau cerpen menurut Maman adalah prosa
yang memuat beberapa ribu kata dan pembacaannya dapat diselesaikan tidak lebih
dari satu atau dua jam, novelet lebih panjang dari cerpen, namun tidak
sepanjang novel. Namun, berdasarkan beberapa sumber, Si Lugu diklasifikasikan
sebagai dongeng Prancis. Sementara istilah dongeng dalam kesusastraan Indonesia
merupakan bentuk sastra lama yang diceritakan secara lisan atau turun temurun,
berisi tentang kisah yang penuh imajinasi dan tidak benar-benar terjadi.
Kebanyakan dongeng tidak diketahui lagi siapa penulisnya karena dilisankan
secara turun-temurun. Bahkan beberapa mengandung kisah-kisah yang di luar nalar
kita. Sementara Si Lugu, meski alurnya sederhana dan ada beberapa kisah yang
terkesan begitu tiba-tiba atau kebetulan, tetap sangat realistis.
Si Lugu berhasil tampil menjadi alat Voltaire
untuk berdakwah. Melalui kisah perjalanan hidupnya, banyak hal yang dapat kita
maknai sebagai sebuah cerminan kondisi sosial politik masyarakat pada saat itu.
Mulai dari kefanatikan beragama, kelaliman penguasa, gereja yang absen
memperjuangkan keadilan. Juga tidak mengherankan jika di dalamnya dengan
gamblang Voltaire menggunakan tokoh-tokoh Pastor berordo Jesuit karena dia
sempat mengecap pendidikan klasik di College[1] Louis-le-Grand,
sebuah sekolah menengah Jesuit di Paris.
Kalimat-kalimat yang diucapkan Si Lugu ketika
awal dia belajar agama Katolik membuat pembaca ikut serta mempertanyakan segala
ke-ajegan ajaran-ajaran agama yang tak ditemui di Kitab Suci, selanjutnya,
barangkali kita akan teringat pada film India berjudul “PK” (2014) yang
kontroversial. Sebuah drama satir bergenre science
fiction comedy yang dibintangi oleh Aamir Khan, yang sebelumnya sukses
membintangi film “Three Idiot”. Berkisah tentang mahkluk alien yang datang ke
bumi dan kehilangan remote untuk kembali ke tempat asalnya. Demi mendapatkan
remote tersebut dia mulai menjalani semua praktik keagamaan meminta kepada
Tuhan untuk membantunya mendapatkan kembali remote yang dicuri. Melalui dialog
dan perilaku tokoh utama film ini menjadi kontroversial karena mengkritik
praktik keagamaan yang dijalankan manusia beragama.
Tidak berbeda jauh dengan Si Lugu, orang-orang
berusaha membabtisnya, menjadikan dia Katolik, mengajarinya isi Kitab Suci. Dia
mulai mempertanyakan ini itu. Kemudian jatuh cinta pada ibu permandiannya, Nona
De Saint-Yves. Dia ditentang atas dasar undang-undang dan agama karena ingin
menikahi ibu permandiannya sendiri. Si Lugu berusaha meminta bala bantuan mulai
dari Uskup sampai pejabat supaya mereka dapat bersatu. Naas, semua pihak justru
memisahkan mereka. Si Lugu dipenjara, sedangkan kekasihnya dibawa ke biara.
Singkat cerita, di akhir kisah, Si Lugu
barangkali memiliki beberapa kesamaan dengan dongeng Ande-Ande Lumut. Saya
sempat khawatir kisahnya akan berakhir klise. Nyatanya tidak. Voltaire berhasil
menghadirkan katarsis di akhir kisah meski dengan kematian Nona De Saint-Yves.
Dia dapat berjumpa dengan sang kekasih meski tak memiliki waktu lama untuk
bersama.
Dari awal sampai akhir, bagian terakhirlah yang
menjadi kekuatan kisah ini. Nona De Saint-Yves yang dipisahkan dari kekasihnya
berusaha sekuat tenaga untuk membebaskan Si Lugu dari penjara. Dia mendatangi
seorang pejabat, Tuan de Saint-Poange yang memiliki kuasa untuk membebaskan Si
Lugu. Jelas bahwa Si Lugu memang tak bersalah. Namun, sebagai imbalan, karena
tidak tahan pada kecantikan Nona De Saint-Yves,
Tuan de Saint-Poange meminta Nona De Saint-Yves untuk tidur dengannya.
Bahkan dia diimingi dengan perhiasan dan rumah. Meski dibujuk demikian pada
awalnya Nona De Saint-Yves menolak tawaran tersebut. Sampai dia meminta saran
pada sahabatnya dan seorang Pastor Jesuit. Di situlah bagian yang paling
menarik. Saran dari sahabat dan pastor itu justru mengarahkannya untuk
memberikan diri kepada Tuan de Saint Poange.
Secara tersirat, di akhir kisah dapat
menggambarkan beberapa hal, pertama, perihal ketiadaan moral seorang penguasa,
yang diwakili Tuan de Saint-Poange, sebagai wakil rakyat ia semena-mena
menggunakan kekuasaannya demi nafsunya pribadi. Kedua, pengorbanan diri demi
cinta sejati lebih utama ketimbang keperawanan yang sangat dijunjung tinggi
oleh perempuan dan ajaran agama. Ketiga, cinta sejati tanpa memandang fisik,
tampak melalui kebijaksanaan Si Lugu yang menerima, tetap mencintai, dan
menghargai kekasihnya meski dia sudah tidak perawan lagi.
Saya sempat mengira Si Lugu akan menolak Nona De
Saint-Yves yang tidak mempertahankan keperawanannya, nyatanya saya keliru.
Pengorbanan Nona De Saint-Yves dapat kita bedah memakai kacamata “nilai-nilai”
yang beragam. Siapa yang kira-kira Anda pilih jika ditanya, siapakah yang
paling bersalah dalam kematian Nona De Saint-Yves? Apakah dia sendiri, Nona De Saint-Yves, Si
Lugu, Tuan de Saint-Poange, atau Pastor dan sahabatnya? Pertanyaan ini akan
semakin rumit jika Si Lugu menolak kekasihnya.
Saya sendiri akan memilih dua orang yang
memberikan saran kepada Nona De Saint-Yves yaitu sahabatnya yang menginginkan
keuntungan dari Tuan de Saint-Poange juga sang Pastor Jesuit sebagai yang
paling salah. Baru kemudian Tuan de Saint-Poange. Kenapa si sahabat dan si
pastor yang saya pilih, karena mereka seharusnya memberikan jawab dengan bijak
tanpa mengarahkan Nona De Saint-Yves untuk mengorbankan dirinya. Bukan karena
saya menjunjung tinggi keperawanan sehingga Nona De Saint-Yves harus tetap
mempertahankan keperawanannya, melainkan karena pastor, yang dianggap sebagai
wakil dari orang pandai, dan sahabat yang dianggap sebagai orang yang paling
memahami tidak memberikan pertimbangan
untuk kekasih Si Lugu supaya mendengarkan suara hatinya.
Apabila dibandingkan, pada versi Rama Sinta yang
ditulis oleh Sindhunata dalam Anak Bajang
Mengiring Angin, Sinta habis dimakan api untuk
membuktikan dia suci, tak tersentuh Rahwana, kepada Rama. Dalam kisah Si Lugu,
Nona De Saint-Yves mati untuk membebaskan dirinya dari segala beban pikiran dan
rasa berdosanya kepada Tuhan dan kepada kekasihnya. Maka, untuk bacaan sekali
duduk yang sarat makna dan nilai moral serta mengandung romantisme, Si Lugu
merupakan pilihan terbaik menjadi bacaan akhir pekan Anda.
Referensi
Mahayana,
Maman S.. 2005. 9 Jawaban Sastra
Indonesia. Sebuah Orientasi Kritik. Jakarta:
Bening Publishing.
Samsuni. 2016.
“Ande-Ande Lumut”. http://ceritarakyatnusantara.com/id/folklore/183-ande-ande-lumut. Diunduh pada 3 Maret 2016.
Sindhunata.
2010. Anak Bajang Mengiring Angin. Jakarta:
Gramedia Pustaka Utama.
Voltaire.
2003. Si Lugu. Jakarta: Yayasan Obor
Indonesia.
Maret 2016.
0 komentar:
Post a Comment