Friday, April 15, 2016

Aspirasi yang Terganggu

oleh Gloria Francisca 

Judul ini mungkin agak menimbulkan pemahaman ganda. Pertama, aspirasi yang tak terganggu dan tak tersampaikan. Kedua, aspirasi yang terganggu karena tak memiliki subjek yang jelas siapa pengusungnya, siapa yang memegangnya.
Judul ini mungkin saja tak juga memiliki makna apa-apa. Berangkat dari argumentasi yang dilahirkan seorang filsuf sekuler, Friedrich Nietzsche, yang mengkritik kehidupan modern sebagai mekanisme dari ‘kekosongan’ atau nihilisme. Bagi Nietzsche, era modern alias era kekosongan ini berisi manusia dengan insting bergerombol yang karena kebutuhannya akan identitas memilih memeluk apapun guna merasakan kenyamanan atau kelegaan.
Manusia modern. Manusia bergerombol. Sosok individu manusia modern, digambarkan oleh Nietzsche dalam kaitannya tentang kehidupan adalah mencari kenyamanan. Mekanisme ini dipandang Nietzche telah mereduksi kemanusiaan.
Nietzsche memberikan genealogi fanatisme itu dengan kisah domba dan elang. Kisah tentang kerumunan domba yang bergerombolan menjadi resah ketika salah satu kawanan mereka dimangsa elang. Terciptalah pemahaman antar para domba bahwa mereka harus berpasrah dan tidak perlu membalas elang karena mereka tidak ingin menjadi jahat seperti elang. Padahal, elang adalah mahkluk yang tangguh dan cuek.
Moral baik kawanan domba ini dilihat Nietzsche sebagai reaksi atas kehidupan yang tidak adil. Sebuah moral yang dikonstruksikan memberi janji kehidupan surgawi. Padahal, jangan cepat melihat bahwa para domba adalah golongan yang tak berdaya.
Menurut Nietszche pola moral baik itu hanyalah muslihat kaum domba untuk menenangkan hasrat membalasnya yang tak kesampaian. Sebagai seorang filsuf yang penuh kecurigaan, Nietzsche selalu memasang tameng adanya insting gerombolan yang memaknai sesuatu dalam satu suara sebagai gerombolan yang kebingungan dan mencari-cari pegangan untuk diri mereka sendiri.
DEMONSTRASI? Waduh!
Senin pekan lalu, 14 Maret 2016 menjadi momen yang cukup mengagetkan di ibu kota setelah persis dua bulan sebelumnya terjadi pengeboman di Sarinah. Di pertengahan Maret, gerombolan sopir angkutan darat khususnya sopir taksi melakukan aksi demonstrasi di depan Balai Kota DKI, lalu bergeser ke Istana Merdeka, kemudian Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemkominfo), untuk menuntut pemblokiran aplikasi online penyedia jasa transportasi yakni Grab, Go-Jek, dan Uber.
Sekali lagi, ada baiknya kita tidak ahistoris bahwa pada penghujung 2015 lalu tatkala Kementerian Perhubungan (Kemenhub) mencoba untuk menerapkan pelarangan aplikasi online, seketika itu arus penolakan dari masyarakat begitu kencang hingga membuat Presiden Joko Widodo meminta regulasi itu dibatalkan. Siapalah Ignasius Jonan; hanya seorang menteri dibandingkan suara orang nomor satu di negeri ini. Suara yang memberikan karpet merah bagi keberadaan aplikasi online.
Demonstrasi tersebut memberikan hasil. Kemenhub memberikan rekomendasi sesuai permintaan Kemenkominfo untuk memblokir aplikasi online karena tidak mengikuti regulasi yang berlaku, yakni UU No. 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan. Dalam regulasi itu jelas menegaskan bahwa angkutan pribadi dengan plat hitam yang tidak memiliki izin pengangkutan penumpang baik motor atau mobil tidak boleh beroperasi dan mengantar penumpang orang.
Genealogi Nietzsche tentang domba dan elang itu menjadi semakin nyata ketika disejajarkan dengan realitas selanjutnya. Satu pekan sesudahnya, 22 Maret 2016 lalu, aksi demonstrasi semakin parah karena pemerintah membatalkan pemblokiran aplikasi online. Alhasil, hari itu terjadilah bentrokan sopir taksi dengan penyedia jasa aplikasi online. Sesama sopir taksi pun saling menyerbu jika ada satu saja di antara mereka yang masih beroperasi, mengangkut penumpang sesuai titah kantor.
Kita ibaratkan para domba itu adalah para sopir taksi yang awalnya merasa tidak berkeberatan dengan invasi dari aplikasi.Toh kenyataannya sejumlah aplikasi juga menopang para sopir taksi mencari penumpang, sebut saja aplikasi Grab Taxi dan aplikasi milik Blue Bird.
Kesadaran bahwa penghasilannya semakin tergerus tak bisa membuat para sopir alias domba ini diam saja. Ya, mungkin awalnya diam saja, menganggap ini adalah persaingan bisnis biasa. Namun dengan sejumlah tuntutan untuk membayar setoran, biaya bensin, belum lagi uang makan membuat mereka merasa terhimpit dan akhirnya meledak. Permasalahan ini memang sejak lama sudah bisa diramalkan akan menjadi bom Molotov yang akan meledak kapan pun. Mungkin itulah ada pepatah berhati-hatilah dengan serigala berbulu domba, mereka memiliki hasrat untuk membalas dendam.
Lantas apakah mereka, yakni para sopir, salah jika menuntut keadilan melalui regulasi dari pemerintah? Cara yang vandalis mungkin terlampau kasar dan mengancam kenyamanan masyarakat, tetapi di sisi lain aspirasi yang terganggu perlu mendapat pemahaman.
Banyak opini menyebar, dari pihak konsumen khususnya, seharusnya pengusaha transportasi melakukan terobosan dan inovasi agar tak kalah dengan pengusaha aplikasi. Kedua, pengusaha juga harusnya tidak mencekik kepala sopirnya sendiri dengan mengenakan aturan biaya setoran yang terlampau tinggi. Oleh sebab itu ramai juga meme yang mengatakan bahwa seharusnya yang didemo adalah perusahaannya, bukan pemerintahnya.
Ya, bisa saja praktik perusahaan rente yang gemar mencekik kepala buruhnya masih berlaku di beberapa perusahaan transportasi. Tetapi tahu darimana kita soal kebenaran akan hal itu?
Salah seorang sopir mengaku tidak bermasalah dengan besaran setoran yang diberikan kepada kantor. Alasan, toh setoran itu adalah cicilan kredit mobil karena setelah enam tahun pemakaian sebagai taksi, mobil itu akan dipensiunkan, izin beroperasi dicabut, dan secara resmi menjadi milik sopir. Setelah masa pengabdian enam tahun, orang-orang yang merantau dari daerah akan bahagia mendapatkan mobil hasil cicil kredit taksi. Ya, minimal bisa buat biaya naik haji atau menikahkan anak.
Di lain pihak, teriakan konsumen agar perusahaan melakukan inovasi dan perbaikan pelayanan juga sudah mulai dilakukan oleh perusahaan. Ambil contoh Blue Bird, sebelum ada aplikasi online pihaknya sudah memiliki aplikasi mendahului dua raksasa aplikasi tersebut.
Mengapa kurang diminati konsumen? Di sini lah persaingan harga berbicara. Aplikasi menawarkan harga lebih murah karena tidak dililit aturan tarif, tidak membayar pajak, tidak menyediakan armada karena dimiliki sendiri oleh sopir sehingga tidak ada biaya perawatan. Jadi jelas arus keuangan dan keuntungan lebih besar dari aplikasi ketimbang perusahaan transportasi.
Di sisi lain, kondisi yang memprihatinkan juga dirasakan oleh armada-armada aplikasi online. Sekalipun sekilas mereka nampak penuh dengan keuntungan dan kesejahteraan, lantas apakah mereka nyaman harus menghadapi kondisi penolakan yang mengancam eksistensi mereka, persaingan bisnis tak sehat, dan status yang tidak jelas? Pada dasarnya, para pelaku usaha ini bersedia mengikuti regulasi, baik untuk pembayaran pajak ataupun persyaratan lain agar memiliki status yang diakui dan terhindar dari aksi vandalis kompetitor. Siapa yang merasa tenang jika hidup dalam ketakutan?
Replika pertarungan elite
Di sini lah pertarungan kelas bawah menjadi sebuah replika dari pertarungan elite, yakni pertarungan para pemilik modal. Sayangnya, dalam hal ini pemerintah yang diharapkan bisa menjadi penengah lewat regulasi mengulangi kesalahan yang sama: kerap gagap merespon polemik. Pertarungan antar elite ini ibarat politik belah bambu. Politik untuk memangkas sesuatu, maka harus diangkat dulu yang lain.
Dalam pertarungan jelas ada yang diuntungkan dan dirugikan. Kali ini pihak yang lebih tak diuntungkan adalah perusahaan transportasi existing.
Mengapa demikian? Sekalipun masih bersimbah dengan modal dan saham, pemerintah belum menerapkan equality alias kesetaraan lewat regulasi bagi mereka. Ya, entah mengapa pemerintah seolah membiarkan polemik persaingan harga ini dibiarkan terjadi, padahal jelas ketentuan tarif berdasarkan argo diatur di Putusan Menteri No. 35/2003. Mekanisme tarif juga diatur oleh Pemda dan Organda. Ada tarif buka pintu, tarif batas atas dan batas bawah.
Pelaku usaha aplikasi dapat diramalkan akan tetap bertahan hidup. Selain karena kapitalisasinya yang sangat kuat, investor asing yang mampu menyuntikkan dana untuk bertahan hidup, perusahaan aplikasi juga sangat diminati oleh sesama industri aplikasi khususnya bidang perniagaan. Apalagi jika bukan e-commerce. Tak heran jika kita ambil contoh pada kontroversi itu, salah satu aplikasi–yakni Grab–malah digandeng oleh MatahariMall untuk menjadi moda transportasi pengantaran barang jualan.
Meminjam pernyataan dari Rhenald Kasali soal sharing economy, bukan hanya perusahaan yang harus berdamai dengan perubahan, tetapi pemerintah juga harus berdamai dengan perubahan ini. Caranya, dengan merumuskan regulasi baru yang lebih adil tanpa disertai perseteruan dengan teknologi dan industri. Termasuk merumuskan tarif yang adil.
Akhir kata, ada baiknya kita tak saling menghakimi pihak yang satu dengan yang lain. Pada hakikatnya gerombolan domba pada masalah ini bukan hanya gerombolan sopir, atau gerombolan aplikasi, tetapi ada elemen gerombolan konsumen yang sama-sama menuntut kenyamanan. Ada juga gerombolan pemerintah yang kehilangan pegangan dalam merespon permasalahan.
Ada baiknya, kita semua berdamai dengan penghakiman satu sama lain dan mengosongkan diri untuk menilai permasalahan dengan lebih jernih.
***
Rujukan
Wibowo, A. Setyo. ‘Nihilisme di Era Sekularisme.’ Naskah Extension Course – STF Driyakara,       Maret 2016.
Kasali, Rhenald. ‘Selamat Datang Sharing Economy.’ Rumah Perubahan, Maret 2016.


Sumber: http://youthproactive.com/perspective/aspirasi-yang-terganggu/

0 komentar:

Copyright © agenda 18 All Right Reserved