Hari-hari Menjelang dan Setelah Proklamasi: Pelaku Sejarah dan Kesaksiannya
oleh Maria Brigita Blessty*
Judul Buku : Seputar Proklamasi Kemerdekaan: Kesaksian, Penyiaran, dan
Keterlibatan Jepang
Editor : Hendri
F. Isnaeni
Penerbit, Tahun Terbit: Kompas, 2015
Jumlah Halaman : 268
Pengantar
Dari pelajaran sejarah yang kita terima semasa
sekolah, kita–masyarakat Indonesia– mengetahui bahwa proklamasi dibacakan oleh
Sukarno dan malam sebelumnya, Sukarno dan Hatta diculik oleh para pemuda ke
Rengasdengklok. Tentu saja para pemuda menculik kedua tokoh untuk memaksa
mereka memproklamasikan kemerdekaan sesegera mungkin. Hal itu tidak salah dan
tidak bisa dipandang sebagai “gejolak kawula muda” semata. Para pemuda berpikir
bahwa saat itu adalah saat yang baik mengingat Jepang tengah teralihkan oleh
pengeboman di Hiroshima dan Nagasaki.
Namun pada saat bersamaan, pihak Jepang mendapatkan
“mandat” dari pihak sekutu untuk menjaga status
quo-nya di Indonesia (hlm. 73). Dengan demikian, status Indonesia bagi
Jepang tidak lebih dari sekedar “inventaris” belaka. Tidak ada satu orangpun
yang sudi dijadikan “barang”. Hal ini menjadi salah satu daya dorong bagi para
tokoh perjuangan Indonesia untuk sesegera mungkin memproklamirkan kemerdekaan.
Tidak terkecuali para pemuda. Pemuda mendesak Sukarno dan Hatta untuk sesegera
mungkin memproklamasikan kemerdekaan. Para pemuda mendesak agar proklamasi
disegerakan karena mereka tidak mau memiliki kemerdekaan itu sebagi suatu
“bingkisan hadiah” dari pihak Jepang atau sekutu (hlm. 89).
Persoalan “merebut kemerdekaan” inilah yang menjadi
bahasan buku “Seputar Proklamasi
Kemerdekaan”. Kemerdekaan Indonesia memang bukan pemberian atau bahkan
hadiah dari pihak manapun. Tetap ada campur tangan atau setidaknya sedikit
bantuan dari pihak lain–bantuan Laksamana Tadashi Maeda yang paling jelas.
Bantuan-bantuan ini yang pelru kita akui. Namun kita–anak muda Indonesia–juga
perlu berhati-hati dalam membaca pernyataan pihak lain. Sebab dalam beberapa
hal masih ada yang simpang siur. Lihat saja pernyataan Hatta dalam buku
“Sekitar Proklamasi” yang memiliki usur slip
of the pen (kesalahan tidak disengaja) sehingga memerlukan konfirmasi dari
beberapa pihak lain (hlm. 25) Di samping itu dibahas pula masalah penyiaran dan
penyebaran berita mengenai proklamasi kemerdekaan, siapa saja yang memiliki
peranan dalam penyebaran berita hingga ke mancanegara. Tidak hanya itu, bahkan
ada orang-orang yang namanya tidak tercatat dalam sejarah, namun memberikan
sumbangan materi yang membantu laju pemindahan kekuasaan.
Hal-hal tersebut dituliskan dalam buku “Seputar Proklamasi Kemerdekaan” dengan cukup rinci. Pembahasan
terbagi dalam empat bab di mana setiap bab, sedikitnya, memiliki lima bahasan.
Isi Buku
Bagian awal berisi kekeliruan Bung Hatta mengenai
tanggal pasti kedatangan Admiral Patterson di Jakarta. Hal ini berkenaan dengan
perintah agar Jepang tidak mengubah status
quo Indonesia. Bung Hatta mengatakan bahwa Admiral Patterson tiba di
Jakarta pada 16 Agustus 1945. Bung Hatta berpikir demikian sebab politik Jepang
terhadap Indonesia berubah pada tanggal tersebut. Beberapa penulis seperti P.
Swantoro dan S. Tasrif, melalui penelitian mereka, menunjukkan bahwa Admiral
Patterson tiba di pulau Jawa pada pertengahan September 1945 sehingga dapat
dikatakan bahwa ada kekeliruan yang tidak disengaja dalam tulisan Bung Hatta.
Namun, dengan demikian, Bung Hatta justru mempertanyakan dari mana perintah
soal status quo itu datang. S.
Tasrif, dalam tulisannya, menawarkan suatu hipotesis yang didasarkan pada
penelitian Benedict Anderson. Tawarannya begini, besar kemungkinan bahwa bahwa
pihak Jepang di Indonesia telah melakukan evaluasi mengenai sikap yang harus
mereka ambil sesudah menyatakan kalah terhadap sekutu pada 14 Agustus 1945
(hlm. 21-23).
Keterangan Bung Hatta yang keliru sekiranya dapat
dimaklumi sebagai slip of the pen
(kesalahan tidak disengaja). Bung Hatta sendiri sudah meminta maaf soal
kekeliruan tersebut. Menulis soal sejarah memang tidak bisa sembarangan dan
perlu berhati-hati. Bahkan tokoh seperti Bung Hatta menunjukkan kerendahan
hatinya dengan meminta bantuan para ahli sejarah untuk menuliskan kronologi
kejadian secara tepat (hlm. 19). Hal ini bukan hanya soal kepastian tanggal
kejadian, namun juga menyangkut keterangan dan cerita dari sumber utama, yaitu
tokoh yang terlibat dalam kejadian yang bersejarah tersebut.
Kepastian mengenai kronologi kejadian di sekitar
proklamasi ini yang bisa kita baca dalam buku ini. Tidak hanya menampilkan
kisah dari nama-nama yang tenar dalam buku sejarah SD/SMP/SMA tetapi juga
berisi keterangan dari mereka yang namanya mungkin tidak begitu sering disebut
dalam buku sejarah kita di sekolah. Sebut saja Sudiro dan Brigjen (Purn.)
Latief Hendraningrat yang menyampaikan kesaksian mereka mengenai kejadian
sekitar proklamasi. Baik Sudiro dan Latif Hendraningrat sama-sama mengatakan
bahwa situasi menjelang detik-detik proklamasi sangatlah tegang. Ada begitu
banyak serdadu Jepang di lapangan IKADA (sekarang Monumen Nasional) saat Sudiro
datang untuk meninjau lokasi. Dikatakan pula oleh Sudiro, setelah menghubungi
dr. Muwardi, Sudiro diperintahkan untuk mengarahkan seluruh masyarakat yang
datang agar tidak lagi menuju lapangan IKADA namun menuju Jalan Pegangsaan
Timur No. 56 (sekarang Jalan Proklamasi). Setelah melihat ada begitu banyak
serdadu, Sudiro memilih untuk pulang sebentar dan berpamitan pada istri dan
anak-anaknya untuk berangkat lagi ke Jalan Pegangsaan Timur No. 56. Hal ini
dilakukan Sudiro untuk mengantisipasi jika nantinya beliau tidak akan pulang
(hlm.73).
Latief Hendraningrat juga menjelaskan bagaimana
tegangnya situasi menjelang detik-detik proklamasi. Saking tegangnya situasi
Latief sampai lupa untuk menghubungi R.M Sutarto[1]
dan para wartawan. Satu-satunya wartawan yang hadir kala itu adalah Frans
Mendur dan saudaranya saja. Kebetulan saudara Frans Mendur hanya membawa dua
pelat film saja. Sehingga hanya ada dua foto otentik saja yang mengabadikan
Proklamasi kemerdekaan (hlm. 92-93). Pernyataan Latief Hendraningrat ini
sekaligus menjelaskan alasan mengapa kita– masyarakat Indonesia–hanya memiliki
dua foto yang menggambarkan prosesi pembacaan Proklamasi kala itu.
Dari soal penyiaran tersebutlah nama Mohammad Jusuf
Ronodipuro. Dengan nyali berani mati, Ronodipuro menyiarkan naskah proklamasi
melalui Radio Militer Jepang. Pada saat itu Ronodipuro dan kawan-kawan
menggunakan pemancar luar negri yang sudah tidak digunakan pihak Jepang. Mereka
“kucing-kucingan” dengan pihak Jepang dengan cara tidak menggangu siaran lokal
yang terus dipantau oleh pihak Jepang. Tepat pukul 19.00 Ronodipuro tampil di
mikrofon membacakan teks proklamasi ke seluruh penjuru Indonesia. Hanya saja
pengeras suara dalam studio tetap menyiarkan siaran lokal, sehingga pihak
Jepang tidak mengetahui adanya pembacaan teks proklamasi itu.
Baru dua jam kemudian pihak Kempeitai masuk dalam studio dan menghajar mereka satu per satu.
Bahkan Bachtar Lubis (kakak kandung Mochtar Lubis) hendak dipancung dengan
menggunakan samurai. Setelah disiksa mereka dilepaskan, namun ada perintah agar
siaran radio dihentikan sama sekali (hlm. 131). Larangan tersebut membuat
Ronodipuro dan Dr. Abdulrachman Saleh beserta teman-temannya mendirikan
pemancar gelap dengan nama Radio Indonesia Merdeka. Untuk siaran luar negri,
radio itu menggunakan pengenalan “This is
the voice of free Indonesia.”
Cerita soal penyiaran yang tidak kalah menegangkan
datang dari Soegirin seorang markonis biasa dari kantor berita Domei (sekarang Antara). Soegirin adalah
orang yang dengan berani mengetik kawat pernyataan Proklamasi kemerdekaan
melalui pemancar dunia kantor berita Domei
sehingga berita itu tersiar ke seluruh dunia (hlm. 143).
Bagian akhir dari buku ini adalah soal peranan Jepang
terhadap kemerdekaan Indonesia. Dalam buku ini telah disampaikan bahwa ada berbagai
versi mengenai kemerdekaan Indonesia. Ada yang mengatakan bahwa kemerdekaan
Indonesia diprakarsai oleh angkatan laut Jepang yang berideologi komunis
(hlm.177). Ada juga yang mengatakan bahwa teks proklamasi Indonesia juga
mendapat campur tangan Jepang. Tunggu dulu! Untuk yang satu itu perlu
dijelaskan bahwa beberapa tokoh, sebutlah Bung Hatta, Sukarni, Sayuti Melik,
Jendral Nishijima, dan Admiral Tadashi Maeda sudah memberikan kesaksiannya
dalam buku ini bahwa kejadiannya tidak seperti itu. Memang ada pihak Jepang
yang membantu – seperti Maeda yang meminjamkan rumahnya. Tetapi bukan berarti
mereka terlibat aktif dalam penyusunan teks Proklamasi.
Tanggapan
Membahas soal penulisan sejarah, rasanya perlu untuk
mengutip pernyataan Bung Hatta bahwa kita harus menulis apa adanya. Tetapi kita
juga harus memberikan penilaian agar “bentuk dari masa lalu” dan “roman masa
lalu” itu jelas terpancang di muka kita (hlm. 33). Namun bukan berarti
kenyataan tersebut dikaburkan oleh penilaian pribadi semata. Oleh sebab itu,
lagi menurut Bung Hatta, perlulah kita mencari tahu tentang kebenaran sejarah
hingga ke sumber primernya, hingga ke pelaku sejarahnya langsung. Penulis juga
harus menyampaikan posisinya dalam kejadian sejarah itu–apakah penulis adalah
pelaku utama yang mengalami langsung atau hanya pelaku sampingan yang melihat
kejadian sejarah tersebut dan menceritakannya kembali seperti yang dilakukan
oleh Molly Bondan. Hal inilah yang menjadi tawaran buku “Sekitar Proklamasi Kemerdekaan” dengan mengumpulkan berbagai
tulisan dari berbagai pelaku sejarah. Tujuannya agar masyarakat memiliki
alternatif data yang dapat digunakan untuk mengkonfirmasi ketepatan data
sejarah yang lainnya.
Sepertinya hal tersebut terangkum dalam buku ini.
Memang ada beberapa tulisan yang masih menggunakan padanan kata yang tidak umum
pada zaman sekarang ini, mungkin padanan kata tersbut lebih jamak digunakan
pada masa penulisannya. Baca saja tulisan Bung Hatta, Mohammad Jusuf
Ronodipuro, dan Sudiro. Namun hal itu tidak seberapa menyusahkan sebab pesan
yang hendak disampaikan dari tulisan tersebut bisa diterima dengan mudah oleh
pembaca. Hanya satu yang disayangkan, banyaknya salah eja yang menunjukkan
kurang telitinya pihak editor.
*Maria Brigita Blessty, peminat sejarah dan
filsafat
0 komentar:
Post a Comment