Friday, April 15, 2016

Dibuat di Dagenham: Ulasan Film “Made in Dagenham”

22 Mar 2016
Saat melihat kalender saya baru menyadari bahwa peringatan Hari Kartini dan Hari Buruh Internasional memiliki jarak waktu yang berdekatan. Buat saya ini menggelitik sebab dalam jarak waktu yang kurang dari 14 hari kita menghadapi dua peringatan dengan dua sifat berbeda, yang satu bersifat partikular dan yang lain general.
Saat hari Kartini kita memperingati sumbangsih perempuan dalam proses kemerdekaan Indonesia, saat hari buruh kita berjumpa dengan suatu perjuangan kelas. Namun apa yang diperingati, bisa jadi, bukanlah hal yang begitu terpisah dan berbeda pada kenyataannya. Hal ini dapat ditemukan dalam perjuangan para buruh di mana tidak hanya laki-laki saja yang ada di dalamnya tetapi juga perempuan.
Ada satu film yang sangat saya rekomendasikan, berjudul Made in Dagenham yang dirilis pada 2010 lalu. Film ini bercerita tentang perjuangan para perempuan buruh di kota Dagenham, Inggris, pada 1968. Mereka adalah para perempuan buruh dari pabrik Ford yang menuntut upah yang setara (equality bukansameness) dengan tuntutan produksi yang dibebankan pabrik.
Film ini disutradarai oleh Nigel Cole, dan dibintangi oleh Sally Hawkin (Rita O’Graddy), Rosamund Pike (Lisa Hopkins), Miranda Richardson (Barbara Castle), dan Geraldine James (Connie).
Permulaan film ditandai dengan dibukanya pintu gerbang suatu pabrik, yang kemudian diikuti dengan suara bel sepeda para perempuan buruh. Adegan ini seperti tengah menggambarkan situasi sosial masyarakat setelah revolusi industri terjadi, yaitu situasi di mana perempuan–terutama perempuan kelas bawah–berhasil mendobrak pintu pingitan dalam rumah dan masuk ke dalam pabrik, untuk bekerja.
Saya teringat satu tulisan Sukarno yang termuat dalam Sarinah (hlm. 73), perempuan dipekerjakan dalam pabrik justru karena mereka dapat diupah rendah. Perempuan bekerja lebih cekatan, rapi, dan teliti. Mereka juga tidak banyak menuntut seperti halnya laki-laki.
Sayangnya, sejarah bicara lain. Pada 1968 di Dagenham, Inggris, terjadi suatu pergerakan besar-besaran yang dilakukan oleh perempuan buruh. Memang massa yang menginisiasi pergerakan hanya berjumlah 187 orang saja. Namun jumlah tersebut adalah jumlah total perempuan buruh dalam pabrik Ford. Bagaimana mungkin jumlah sekian itu bisa menghasilkan dampak yang besar?
Penjelasannya begini, para perempuan buruh tersebut bekerja di bagian penjahitan jok mobil Ford. Oleh petinggi perusahaan pekerjaan perempuan buruh diklasifikasikan sebagai “unskilled work”. Sebab bagi para petinggi tadi menjahit adalah pekerjaan sehari-hari para perempuan. Menjahit adalah pekerjaan mereka juga di dalam rumah. Tidak ada yang istimewa dari situ.
Tersebutlah Rita O’Graddy, seorang perempuan buruh yang bekerja di pabrik Ford, yang menghadapi para petinggi perusahaan tersebut. Rita menantang para petinggi perusahaan untuk dapat membedakan jenis-jenis kulit, lalu menjahit kulit-kulit tersebut menjadi lapisan jok mobil Ford tanpa menggunakan pedoman atau acuan bentuk jahitan.
Jika petinggi perusahaan dapat menyelesaikannya dengan mudah, maka bolehlah mereka mengatakan bahwa yang dikerjakan oleh para perempuan buruh adalah “unskilled work”.
Dampaknya pergerakan mereka mulai terasa setelah para perempuan buruh mogok kerja. Mereka yang bertugas menjahit jok mobil memilih untuk mogok bekerja hingga tuntutan mereka dipenuhi. Pada awal masa mogok, dampaknya belum terasa oleh pabrik karena pabrik masih memiliki simpanan jok yang sudah dilapisi. Namun lama kelamaan simpanan tersebut habis, tidak ada lagi kulit siap pakai untuk melapisi jok mobil.
Jika jok mobil tidak dilapisi kulit, maka bagaimana caranya mobil tersebut dapat dijual? Akhirnya, penjualan menurun, banyak mobil yang tidak dapat dijual, lelaki tidak dapat bekerja, dan pabrik lumpuh. Pada saat itu Ford Motor Company Ltd. merupakan salah satu investor besar di Inggris.
Dengan adanya kejadian ini, dapat dikatakan bahwa perekonomian Inggris juga terganggu. Pilihannya adalah tidak menuruti kemauan para perempuan buruh dengan konsekuensi akan terus lumpuh atau menuruti kemauan perempuan buruh, yaitu memberikan upah yang setara dengan tuntutan produksi, dengan konsekuensi ketentuan tersebut harus diberlakukan di seluruh perusahaan Ford Motor Company.
Sebulan lebih Rita O’Graddy dan kawan-kawannya melakukan mogok. Hal ini juga diikuti oleh perempuan buruh di pabrik-pabrik lain. Kejadian ini menarik perhatianFirst Secretary of The State, Barbara Castle (diperankan oleh Miranda Richardson). Barbara mengundang Rita dan kawan-kawan untuk mencari solusi bagi masalah ini. Bagaimanapun masalah ini juga memengaruhi kondisi ekonomi dan politik, minimal di Dagenham.
Hal itu disampaikan oleh Barbara pada Rita. Jawaban Rita sederhana, “…we ain’t politicians, we’re working women. So are you!” Pertemuan itu diakhiri dengan suatu keputusan untuk memenuhi permintaan para perempuan buruh.
Dengan demikian, film Made in Dagenham ditutup dengan diumumkannya keputusan menaikkan upah perempuan buruh sebesar 92% dan peraturan tersebut diberlakukan per 1 Juli 1968. Pada Mei 1970, peraturan mengenai kesetaraan upah menjadi hukum.
Suatu Catatan
Ada satu isu menarik dalam film MID, yaitu para perempuan buruh diupah rendah bukan hanya karena pekerjaan mereka. Namun, justru karena mereka adalah perempuan. Perempuan yang dianggap remeh itu kemudian bangkit dan melawan kebiasaan dan peraturan yang ada.
Tidak main-main, perempuan-perempuan tersebut melawan sistem yang dibuat dan dijalankan oleh laki-laki dalam dunia yang diisi oleh laki-laki. Perempuan-perempuan tersebut tidak melawan dan mengalahkan para lelaki tersebut dengan menggunakan “cara main” laki-laki yang berkisar seputar otoritas, hierarki, dan pertemuan-pertemuan adu kuasa.
Perempuan buruh melakukannya dengan cara yang berbeda. Mereka melancarkan tuntutannya dengan tetap mempertahankan ciri kekeluargaan dalam komunitas mereka. Mereka tidak mengindahkan peraturan dan kewajiban, justru mereka bergerak berdasarkan suatu compassion dan akal sehat yang sederhana.

Kedua hal ini, yang digambarkan dalam MID, mengejek kebiasaan dan peraturan yang begitu kaku dan merendahkan martabat perempuan. Adalah suatu olok-olokan besar di mana peraturan dan kebiasaan yang sudah dijalani begitu lama, diruntuhkan oleh para perempuan buruh yang sederhana. Tidak diragukan lagi bahwa intuisi perempuan justru menjadi senjata ampuh untuk mengalahkan “pig-headed male logic”.

0 komentar:

Copyright © agenda 18 All Right Reserved