Butiran-butiran Tak Sempurna
oleh Jenni Anggita
Ketika pagi belum lekat benar di
mata, ia bangun. Atas dorongan yang entah dari mana datangnya, ia mulai
dengan mencari butiran-butiran kalung itu. Kotak kayu persegi ukuran 4 X
4 dibukanya. Rosario merah jambu itu ternyata telah putus. Maka, ia
kembalikan lagi pada tempatnya semula.
Lalu, ia mencari-cari yang lain.
Yang berwarna cokelat, pemberian dari seorang guru agama waktu SMP.
Dengan cepat ia temukan terselip di bawah kipas angin. Dia benar-benar
lupa, bahwa rosario cokelat itu pernah putus, lalu ia sambung dengan
benang cokelat, tapi kemudian putus lagi.
Maka, dalam hati ia berkata. Kalau tak kutemukan buku doa itu, tak akan kulanjutkan berdoa. Dengan diterangi hanya lampu oranye remang-remang untuk tidur dan sedikit cahaya yang menyelinap masuk melalui jendela kamarnya, ia mencari di antara tumpukan buku-buku yang semrawut karena mejanya terlalu kecil.
Alam mungkin sedang bersekongkol.
Dia temukan buku doa itu. Dia pun lanjut berdoa dengan rosario yang
putus tepat di penghujung butiran rosario terakhir atau bisa juga di
awal butiran doa rosario pertama.
Di setiap butiran yang ia lalui,
pikirannya melayang-layang. Teringat orang-orang yang dikasihinya.
Teringat peristiwa-peristiwa yang menyakitinya. Teringat hal-hal yang
dikhawatirkannya. Dia mulai bersedih untuk semua yang tak dipahaminya.
Pada butiran terakhir usai mengucap
salam, ia tutup doanya dengan tanda salib. Kemudian, samar-samar ia
mengucap, pelan nyaris tak terdengar. Mereka yang kucintai, mereka pula
yang kubenci. Namun, perasaan lebih tenteram hadir menelimuti. Maka,
dengan segera ia lupakan ucapannya karena ia tahu betul, ia belum dapat
mengampuni.
0 komentar:
Post a Comment