Friday, May 2, 2008

Dari Hujan untuk Sepotong Ayam

Siang ini, Jakarta masih saja bersimbahkan air dari langit. Sedari dini hari hujan tak juga berhenti mengguyur adil dimana-mana. Memang aneh “mood” langit jaman sekarang. Kalau dulu Ia punya siklus “menstruasi” teratur, 6 bulan basah 6 bulan kering. Akhir-akhir ini “mood”nya seenak hati, semenit cerah berganti detik basah.

Orang-orang perkantoran memandang nanar keluar jendela, bergantian menatap langit dan jalanan yang becek. Jam makan siang sudah tiba, namun tak ada yang bisa keluar mengisi perut yang cadangan makanannya telah habis terkuras oleh otak. Tak cukup itu, banyak mulut berkomat-kamit menggerutu dan memaki si langit, “Ga’ bisa makan ke Mal seberang deh!!”. Tapi dibalik gerutuan ada pula yang memanjatkan doa, semoga langit berbaik hati berhenti menangis agar sore nanti mereka bisa pulang tanpa menggulung celana dan menjinjing sepatunya.

Di luar gedung-gedung arogan, seorang anak berlarian kecil di tengah rintik hujan. Tangannya yang kecil memegang sebuah payung golf berukuran hampir setengah kali lebih besar dari tubuhnya. Bajunya tipis dan menjadi hampir transparan serupa kulit terkena basahan air, menempel dan memperlihatkan lekukan tulang pundak yang menonjol. Kakinya jenjang tak indah, serupa bangau, kurus, panjang.. namun cekatan berlari di genangan air. Ia sudah mandi seharian dan tak kunjung kering jua.

Semalam, ia mengamati langit dari balik lubang-lubang seng yang menudunginya. Lubang tersebut makin lama makin melebar, memberi celah bagi si anak untuk merasakan sensasi meneropong angkasa saat gelap. Dia berpikiran, “malam ini awan begitu mendung, gelap sekali! Besok pasti hujan…”. Si anak senang bukan kepalang, membayangkan ia tidak usah datang ke “sekolah-sekolahan” di kolong jembatan sebelah. Dia segera menyiapkan payung andalan untuk menjajakan jasanya. Sebuah payung golf, pemberian seorang sahabat yang hilang entah ke mana.

---

“Bletak!”. Sebuah kerikil menghantam kepala seorang anak yang sedang mengorek-ngorek tanah. Sontak dia menoleh sembari meringis kesakitan. Dia mencari asal lemparan kerikil namun tak menemukan siapa-siapa kecuali seorang anak perempuan kumal memperlihatkan gigi-giginya yang setengah putih setengah hitam. Ia berteriak “ Sakit tau!!”. Si anak perempuan tertawa sambil berlari menjauh dan menghilang di balik lusinan gubuk kolong tol.

Si anak laki-laki kembali asyik mengorek tanah. “ Lagi ngapain sih?”, tiba-tiba anak perempuan itu sudah berjongkok di sampingnya. Lelaki kecil itu kaget, setengah marah ia mendorong anak perempuan kecil sampai jatuh terduduk “ Ngagetin aja! Muncul tiba-tiba kaya setan!!” dan yang dimarahi, kembali hanya nyengir.
“Marni..”, si anak perempuan mengulurkan tangannya, si anak lelaki melengos dan kembali mengorek tanah.
“Nama kamu siapa? Aku Marni..”, yang ditanya masih saja diam asyik sendiri. Marni cemberut, dan seketika dia berteriak “BUDEKKKKK!!!”. Si anak laki-laki terloncat kemudian berdiri, “Iya!!! Gue tau loe Marni! Terus kenapa?”. Marni nyengir lagi, ia ikut berdiri dan mengulurkan tangannya lagi, “ Kamu siapa?”.
“ Didit,” si anak lelaki menjawab ketus kemudian berjalan meninggalkan Marni, mencari tempat baru untuk dikorek-korek. Marni mengikuti di belakangnya, “ Kamu lagi apa sih dari tadi?”.
Didit diam, dia merasa sangat terganggu karna kehadiran bocah cerewet ini. “ Bisa ga sih loe ga ngikutin gue? Ikutin aja tuh anak ayam sama ibunya!!”, Marni menoleh melihat kumpulan ayam yang sedang mengais tanah.
“ Tapi aku kan bukan ayam. Aku kan sama kaya kamu..”
“ Emang siapa yang bilang loe tuh ayam?! Bego banget sih jadi orang!” Didit tidak habis pikir kenapa hari ini dia tidak bisa mengorek tanah dengan tenang seperti hari biasanya.
“ Tadi kan kamu suruh aku main sama ayam..”, Marni menatap Didit dengan polos. “Bego banget sih loe!!” Didit jengkel dan mulai ingin memukul gadis kecil ini, tapi didit ingat Ibunya pernah bilang “ Jangan pernah memukul perempuan, nak...Dosa!”.
Akhirnya Didit mengalah, Ia membiarkan si anak perempuan ikut mengorek tanah bersamanya. Walaupun dalam hati Didit tak yakin, apa Marni tahu tujuan dia mengorek tanah.

Sejak hari itu, setiap hari Marni selalu ada di samping Didit, entah untuk mengorek tanah ataupun hanya sekedar bercerita. Lambat laun Didit mengerti, Marni adalah orang baru di lingkungan tempatnya tinggal “Pantas ia terus mengikutiku..” batin Didit. Sebelumnya Marni bukan warga kolong tol seperti dirinya, Ia bercerita bahwa dulu Marni dan Keluarganya tinggal di sebuah perumahan. Tetapi suatu hari kebakaran hebat mengantarkan mereka ke tempat kumuh seperti sekarang ini. Ayah Marni meninggal seketika saat kebakaran dan yang tersisa hanya Marni, Kakak, serta Ibunya. Ibu Marni berjualan makanan untuk menyambung hidup mereka sekeluarga.

Didit berpikir, “ Betapa enaknya hidup Marni dulu…Paling tidak dia sempat merasakan jadi orang yang punya segala..”. Didit jengah dengan hidupnya yang selalu susah dari waktu ke waktu. Sejak bayi sampai umurnya sekarang yang ia punya hanya ibu dan rumah kolong tolnya. Entah kemana Ayahnya, Didit tidak mau tahu seperti ibunya tidak pernah menceritakannya. Ibunya selalu sibuk memunguti plastik-plastik untuk dijual kepada para penadah setiap harinya. Itu usaha satu-satunya untuk bisa memberi makan Didit selama 10 tahun ini.

Marni tidak hanya menemani Didit mengorek tanah, Ia juga mengenalkan Didit pada berbagai hal. Didit kagum dan maklum, mungkin karena dulu Marni sempat sekolah jadi Ia banyak tahu. Suatu hari kala hujan, sepasang anak kecil itu hanya duduk di pinggiran salah satu gubuk kolong tol. Si anak lelaki kesal karena hujan membuatnya tak bisa mengorek tanah dan si anak perempuan terus saja berbicara tentang apa pun. Marni mengerti Didit kesal karna hujan, “ Dit, ngojek payung yuk!”. Didit diam tidak tertarik.
“Ayo, nanti bisa dapet uang. Terus uangnya bisa buat beli apaaaa ajaaa…”, Marni membuat lingkaran besar dengan kedua tangannya. “ Ngojek payung kan gampang Dit, tinggal minjemin payung ke om-om atau tante-tante gitu.. Terus kita dapet uang deh!”.
“Ga mau! Ga enak! Enakan ngorek tanah!”, Jawab Didit ketus.
“ Emang kamu ngorek tanah setiap hari buat apa sih?”
“ Buat bantuin anak ayam cari makan…jadi mereka bisa gede badannya.”
“ Terus?”
“ Ya, kalo udah gede ditangkep terus dimakan…”
“ Hahahaa…Jadi kamu mau makan ayam?”
“ Iya…”, jawab Didit setengah tertunduk. Ia malu, ingat bahwa dulu pasti Marni sering makan Ayam. Sedangkan Ia jarang sekali makan Ayam, pernah hanya sesekali, tidak sampai jumlah jari di satu tangan. Padahal daging ayam enak, tapi sayang ibu lebih doyan nasi campur garam atau kecap, sesekali tambah tempe, tahu atau telor. Kata Ibu, daging ayam mahal. Maka ketika Didit melihat ada sekumpulan ayam kecil di depan gubuknya setiap hari , ia bertekad memakan mereka suatu hari nanti.
“ Dari pada susah-susah ngasih makan ayam, lebih enak langsung beli Ayam Goreng-nya.”, Marni menjawab polos.
“ Tapi’ kan duitnya ga ada…”
“Makanya ayo ngojek payung aja, jadi bisa makan ayam goreng.”, usul Marni dengan mata berbinar.
Didit ragu sejenak, tapi semangat Marni terlihat menjanjikan. Maka, tanpa ragu anak laki-laki itu berlari mencari payung di dalam gubuknya. Dan seketika Marni pun telah siap dengan payungnya yang sangat besar. Didit hampir tertawa melihat gadis kecil itu membawanya dengan susah payah.

Pada akhirnya, mengojek payung menjadi suatu keharusan dikala hujan datang. Dan yang menyenangkan bagi Didit adalah ayam goreng nan garing di akhir petualangan mereka. Dia tidak pernah lagi menolak ajakan Marni untuk menjajakan payung di jalan-jalan besar. Bahkan sering kali Didit lebih sigap membaca kapan hujan akan datang dan tentu berikut ayam gorengnya.

Suatu hari, hujan datang begitu derasnya. Seperti biasa Didit dan Marni berlarian bersama anak-anak lainnya, saling berlomba mencari lembaran rupiah dari para pekerja kantoran. Tapi kali ini, air hujan kurang bersahabat. Mereka menggenang dimana-mana bahkan di jalan protokol tempat kendaraan berlalu lalang. Genangan ini rupanya tak mau kesepian, mereka bergabung antara satu kubangan dengan yang lainnya sehingga jadilah jalan ini tergenang air begitu tinggi. Mobil dan motor hanya bisa terdiam ditengah-tengah. Mereka terjebak tak bisa bergerak. Yang lainnya pun hanya menunggu di ujung jalan yang tidak tergenang.

Didit dan Marni asyik mengejar langganan mereka, bahkan kali ini makin banyak orang yang membutuhkan ojekan itu. Didit senang bukan kepalang, membayangkan hari ini bisa mendapat ayam goreng bukan hanya sepotong tetapi tiga potong untuk Ibunya dan Marni sebagai sahabatnya. Genangan air di jalan bukan hambatan, walau badan kecil mereka harus menahan arus yang begitu kuat. Kaki kecil itu sekuat tenaga tetap berpijak demi sedapnya Ayam Goreng Bu Sum langganan mereka.

Hujan tak kunjung henti. Air makin tinggi, dingin pun semakin menusuk raga anak-anak kurus itu. Marni terbatuk-batuk sambil menggigil. Tubuh gadis ini rupanya tak kuat menahan hawa yang terus berhembus melewati baju tipisnya. Dia memutuskan tak lagi berjalan dan hanya meringkuk di pinggiran halte mencoba menghangatkan diri. Didit menghampiri Marni, dengan menggebu anak laki-laki itu menarik-narik gadis ini untuk turun kembali ke jalan. Tetapi Marni lelah…Marni lemah. Maka ia meminjamkan payung besarnya untuk Didit karena miliknya telah berlubang dimana-mana. Didit sumringah dan kembali berlarian sambil berjanji, Marni akan mendapat 2 potong ayam goreng hari ini.

Waktu berlalu, hujan telah reda dan kantong Didit pun penuh sudah. Dia berlari mencari Marni dan ingin segera mengunyah yang renyah-renyah itu. Tetapi Marni tertidur diantara orang-orang yang berjejalan. Tubuh kecilnya digoncang-goncang Didit.
“Marni..Marni…Gimana sih loe malah tidur disini?!”
Tapi Marni diam. Dia beku tak terganggu sedikitpun. Tubuh itu tak bereaksi bahkan terlihat membiru dimana-mana. Didit kelu, dia kosong…
Detik berganti..menit pun berlalu.. Marni tiada! Didit terhentak dan menjerit seketika, memanggil Marni…memanggil Ibunya..meneriaki setiap kata tanpa sadar. Anak itu menangis kejang menyaksikan sahabatnya tergulung meringkuk kaku.

---

Didit sudah selesai menjajakan payungnya hari ini. Walau langit belum cerah benar , ia memutuskan segera ke warung Bu Sum dan pulang ke rumah. Didit membeli dua potong ayam untuknya dan Ibu. Sesampainya di rumah Ibu menyambut dengan dua piring nasi aking hangat baru matang. Sebelum makan, seperti biasa anak itu hening berbicara pada Sang Pencipta. Kemudian ia berbisik pada sahabatnya…” Marni, semoga ayam goreng di surga sama enaknya dengan Bu Sum punya…”.


-HuN, Depok 9 Maret 2008-

0 komentar:

Copyright © agenda 18 All Right Reserved