Wednesday, August 28, 2013

Menanyakan dan Mengamati Sindhunata


oleh FA Triatmoko HS


Membaca kumpulan feature Sindhunata itu, seperti melihat potret manusia dalam keseharian yang selalu luput dari pengamatan. Ada hal-hal sepele yang ada di sekitar, namun tak pernah menjadi pusat perhatian, dan akhirnya lewat begitu saja. Tentang sekumpulan pedagang rambutan yang semuanya sedang sial, tentang pekerja seks komersial (PSK) di lokalisasi Kramat Tunggak, atau tentang penumpang mikrolet di jalanan Jakarta. Kisah-kisah tersebut tentu hanya bisa didapatkan melalui wawancara dan juga observasi yang baik terhadap narasumber. Dari buku kumpulan feature Burung-burung di Bundaran HI, keterlibatan langsung dengan narasumber dan kemampuan membina hubungan dalam wawancara menjadikan Sindhunata penulis yang khas, meskipun bisa ditemui ada kekurangan dalam tekniknya menyampaikan hasil amatan.

Dalam buku terbitan: Penerbit Buku Kompas tahun 2006, bisa disimpulkan bahwa Sindhunata terlibat secara langsung dengan narasumbernya. Ini menjadi keunggulan pertamanya. Ia terjun langsung ke Pasar Minggu, toko “Tikungan” di kawasan Ciganjur (Sindhunata, 2006, hal. 33) dan juga pinggiran Jalan Senayan (Sindhunata, 2006, hal. 38) untuk menggali kisah pedagang-pedagang rambutan. Sindhunata (beserta seorang rekan) bahkan tinggal di Kramat Tunggak untuk mendapatkan berita, “Berhari-hari berada di kompleks pelacuran Kramat Tunggak, kami sedikit banyak menyaksikan gejala-gejala itu” (Sindhunata, 2006, hal. 4).

Keunggulan kedua Sindhunata adalah kemampuannya membina hubungan dalam wawancara. Wawancara sendiri adalah proses komunikasi interaksional antara 2 pihak, dimana setidaknya salah satu pihak memiliki tujuan yang serius, dan melibatkan tanya jawab antar keduanya (Stewart & Cash, JR, 2006, hal. 4). Salah satu hal penting yang bisa mempengaruhi hasil wawancara adalah rasa percaya. Narasumber tak akan membuka diri dan menjawab pertanyaan pada orang yang tidak bisa dipercaya.
Dari buku kumpulan feature bertema Manusia & Keseharian itu, bisa dilihat bagaimana kemampuan unik Sindhunata dalam membangun hubungan yang saling percaya dengan narasumber, sehingga bisa mendapatkan informasi yang mendalam dan tak jarang sensitif. Misalnya, kisah pernikahan dan keluarga Si Mungil (Sindhunata, 2006, hal. 8), kondisi kamar-kamar tempat PSK bekerja atau cerita lelaki pemakai jasa PSK Kramat Tunggak (Sindhunata, 2006, hal. 15-18).

Namun, meski unggul dalam keterlibatan dan kemampuan membina hubungan baik dengan narasumber, tulisan Sindhunata memiliki kekurangan, yaitu dalam melaporkan hasil pengamatan. Pengamatan atau observasi adalah proses sistematis melihat dan merekam perilaku orang lain untuk tujuan pengambilan keputusan (Cartwright & Cartwright, 1984, hal. 25). Hasil pengamatan kemudian akan disimpulkan menjadi kesimpulan sementara yang bisa saja berubah seiring bertambahnya data. Pada satu tulisan Sindhunata, bisa ditemukan bahwa kesimpulan sudah dibuat oleh penulis, bukan dari data yang ada. Misalnya, “Pelbagai perasaan kami alami saat itu. Perasaan ini seakan membangkitkan kesadaran bahwa tiba-tiba agama bisa menjadi amat palsu...” (Sindhunata, 2006, hal. 27). Atau, “Apa artinya agama buat mereka? Kata seorang tukang rokok di dekat tempat itu. Tentu ucapan tukang rokok sederhana ini tepat” (Sindhunata, 2006, hal. 28). Dari sini bisa dilihat bahwa ada subjektivitas dalam pelaporan hasil pengamatan. Nilai-nilai dari penulis muncul di dalam tulisan dan seakan menjadi kesimpulan dari pengamatan. Hal ini adalah sebuah error dalam proses pengamatan. Meski objektivitas murni tidak mungkin dicapai, penulis perlu menyadari subjektivitasnya sendiri sehingga tidak justru ‘mencemari’ hasil observasi yang mestinya apa adanya.

Akhir kata, tulisan-tulisan dalam Burung-burung di Bundaran HI memang menunjukkan kualitas khas dari Sindhunata, dalam hal mendapatkan bahan tulisan dan menyajikannya. Keinginannya untuk terjun langsung dengan narasumber, serta kemampuannya dalam membina hubungan saling percaya dengan narasumber, menjadikan tulisan Sindhunata menjadi pembuka mata akan adanya fenomena sepele yang menarik, yang selalu luput dari tangkapan. Namun meski begitu, perlu disadari bahwa selain menulis feature yang baik, Sindhunata juga melibatkan subjektivitas yang mengurangi kekuatan tulisannya.



Kepustakaan 

Cartwright, C. A., & Cartwright, G. P. (1984). Developing Observational Skills. New York: McGraw-Hill. 

Sindhunata, G. P. (2006). "Bakminya Belum Habis...." Dalam G. P. Sindhunata, Burung-burung di Bundaran HI (hal. 15-21). Jakarta: Penerbit Buku Kompas.

Sindhunata, G. P. (2006). "Dewi Kwan Im Tidak Marah?" Dalam G. P. Sindhunata, Burung-burung di Bundaran HI (hal. 22-29). Jakarta: Penerbit Buku Kompas. 

Sindhunata, G. P. (2006). "Kisah Si Mungil dari Indramayu". Dalam G. P. Sindhunata, Burung-burung di Bundaran HI (hal. 3-8). Jakarta: Penerbit Buku Kompas. 

Sindhunata, G. P. (2006). "Mereka yang Sedang Sial". Dalam G. P. Sindhunata, Burung-burung di Bundaran HI (hal. 38-42). Jakarta: Penerbit Buku Kompas. 

Sindhunata, G. P. (2006). "Ya Ampuuun Pelitnya". Dalam G. P. Sindhunata, Burung-burung di Bundaran HI (hal. 33-37). Jakarta: Penerbit Buku Kompas. 

Stewart, C. J., & Cash, JR, W. B. (2006). Interviewing Principles and Practices. New York: McGraw-Hill.

0 komentar:

Copyright © agenda 18 All Right Reserved