Wednesday, June 18, 2008

Hidup Selepas Awan

"Ayah. Kalau kau bisa mendengar. Aku menemukan gereja kecil di dekat kos."

Hanya sesaat. Aku terhalang sinar matahari. Marah memuncak. Aku butuh cahaya gemerlap saat ini juga. Kukutuk awan tanpa rasa melingkupi. Namun tak bisa mengucap apa-apa pada wujud tak terjangkau. Kesadaran muncul. Aku cuma boneka bertangan, menerima siang-malam-hujan dan kemarau bergantian.

Mungkin lahirku tidak sempurna membuat gampang mengumpat. Setitik debu seperti Katedral di depan mata. Desah lemah bagai teriak kondektur metromini di telinga.
Aku lahir dari ibu yang mencintaiku. Menerima asi hingga usia dua setengah tahun. Adikku berjarak beberapa tahun karenanya. Mungkin itu pula sebab aku dekat ibuku. Hingga kini enam tahun lebih sedikit hari, selat memisahkan kami, menempatkan aku di lain pulau membesarkan rinduku.

Kebahagiaanku tidak sebahagia anak-anak lain. Ayah tidak menghasilkan segenggam nasi untuk disuapkan ke mulut kecilku. Ibu. Ibu yang menyuapi aku dan kedua adikku dua kali sehari. Hanya dua kali karena itu mampu dicari. Ayah seperti bayi kecil mengangakan mulut bila waktu makan tiba. Anak ibu seperti empat orang.
Mungkin terlalu jahat mengatakan ayah seperti bayi. Tapi itu dia. Tidak pernah membelikan sebutir permen atau sekerat lemang bambu kesukaanku.

"Maukah ayah membelikan sesuatu?"
"Ayo!"

Dulu kami punya warung kecil karena bangkrut tutup. Aku dan adikku sebabnya selalu mencuri jualan. Sekarang segala sesuatunya mesti dibeli. Anak kecil sepertiku bisa bila diberi orang tua.

Aku menjumput kue tawa rudal dari stoples kaca. Kue yang pecah-pecah seperti mulut tertawa di sisi-sisinya. Rudal diambil dari nama senjata yang dipakai Amerika dan Irak saling menyerang. Sebetulnya tidak mirip sekali dengan rudal Patriot atau Scud. Panjangnya kira-kira setelunjuk orang dewasa, besarnya juga.

"Seratus rupiah"
"Pak, bayar !"

Ayah diam saja, menunduk. Satunya lima puluh rupah, sudah kugigit satu.
"Saya tidak punya"
"Kan sudah dimakan ?" Penjaga warung meninggikan suara.

Kukembalikan yang belum kugigit, berlari pulang. Ayahku tidak punya
apa-apa. Kue yang terlanjur kumakan tidak usah dibayar. "Lain kali bayar !" Kuhabiskan yang separuh tak bersemangat. Aku memikirkan ayah yang tak punya uang. Mengapa pula mau kuajak padahal tak punya uang ? Belakangan kutahu ayah sangat mencintaiku. Tidak bisa menolak apa permintaanku.

Masa kanak-kanaknya, ayah pernah sakit setahun penuh. Selama itu berbaring di tempat tidur papan beralas tikar pandan. Punggungnya bolong-bolong busuk. Hanya napas lemah keluar dari hidung pertanda masih ada hidup. Aku masih melihat bekas bolong-bolong itu di masa tuanya. Menderita.

Dia pulang berendam di kali seharian, malamnya demam. Sejak itu tidak pernah keluar kamar. Otaknya diserang malaria tropika. Aku tidak tahu kebenaran kalau menderita sakit ini si sakit lemah ingatannya. Ayahku pelupa. Ditanya sudah makan atau belum dia lupa.

Dia dijanjikan akan dijemput pastor dari Medan. Ayahku terpanggil jadi pastor sejak kecil. Tapi sampai di hari ayah mandi seharian tidak juga pastor itu datang. Dia kecewa.

Aku pernah punya keinginan seperti ayah. Adik perempuanku pun ingin membiara. Panggilan untukku berhenti dan sengaja kuhentikan, adikku beralih iman.
Ayah tetap pelupa sampai kami bertiga lahir bahkan dewasa dan ia menua. Hingga sekarang ia tetap pelupa dan tidak pernah memberiku apa-apa.

Sesuatu menyadarkan aku di masa remaja. Ayah bukan tidak memberiku apa-apa. Yang terbesar kudapat di masa pertumbuhan imanku. Hanya ayah yang selau berdoa ketika bangun tidur, saat makan dan menjelang tidur. Ini pemberian terbesar buatku. Ini menguatkanku.

Ia tidak bisa memberikanku kue tawa rudal. Ia tidak bisa membelikanku lemang bambu. Ia tidak pernah mengajakku ke pasar. Tapi ia memberi hadiah besar untuk imanku.
Hanya selintas awan waktu diberikan Tuhan bagiku menerima hadiah besar hidupku. Tertancap dalam. Awan yang datang pun megandung hujan di kala gersang. Saat-saat kemarahanku. Aku selalu ingat ketekunanmu. Dan aku tenang di rantau. Dari rantau aku ingin pulang di doakan olehmu.

0 komentar:

Copyright © agenda 18 All Right Reserved