Tuesday, June 23, 2009

Orang yang Paling Sah Diracun

Sekitar sebulan terakhir perasaan saya campur aduk antara sedih, kecewa, tapi juga geli. Dan dalam tiga hari terakhir perasaan-perasaan itu tambah membuncah. Pasalnya saya baru saja membuktikan bahwa saya masih hidup di dan dengan cara dunia ketiga. Baru sekitar sebulan yang lalu bala tentara pertahanan tubuh saya nyahok lawan para begundal bakteri typhus. E… sebulan kemudian, tepatnya tiga hari lalu, serangan diare kembali luput dari pertahanan.


Dalam kondisi seperti ini yang jadi korban adalah istri, yang harus super sibuk menjalankan sejumlah peran sekaligus: ahli gizi, dokter, jururawat, koki, sopir, tukang cuci, tukang pijat (dalam kondisi sehat maunya barter), sampai konsultan yang advise-nya kayak ”grontol wutah” (bagi yang nggak ngerti, bayangkan saja cara bicara lawyer yang dibayar empat kali lipat harga pasarnya).

Saya cuma bisa tutup mulut, tergolek nggak lucu di tempat tidur.

Saya memang representasi kaum urban Jakarta yang mengalami gegar budaya. Kepada teman dan saudara di kampung yang saya anggap ndeso saya sering dengan pongah bercerita tentang Singapur, Kuala Lumpur, Hong Kong, London, Cardiff, Amsterdam, Paris, Hannover, atau Frankfurt. Bahkan juga bercerita pernah kencing di atas India, Pakistan, Laut Mati dan Italia (yang terakhir ini mengikuti teman saya Abraham Runga, yang bercerita, ”Abangmu ini pernah kencing di atas New York dan Toronto”). Tapi tetap saja, saya paling menjadi diri sendiri ketika nongkrong di warung tenda biru, nyeruput kopi tubruk murahan sambil mengudap somay, pisang goreng, atau bakwan bumbu. Kalau janjian dengan Abraham, teman saya tadi, kami juga tidak nongkrong di kafe yang penuh dengan pengunjung wangi, tapi di warteg di Jl. Mas Mansyur, yang bau amis oleh ”keringat kaum proletar”...

Nah, saya lantas ingat seorang narasumber saya, Pak Januar Darmawan. Orang miskin (dalam bahasa saya) memang paling sah untuk diracun. Perlindungan kesehatan pangan hanya berlaku untuk mereka yang berduit.

Logikanya begini. Lihat saja aturan-aturan mengenai makanan. Semuanya hanya menyangkut makanan dalam kemasan luks. Setiap pihak yang memproduksi dan menjual makanan dalam kemasan luks (nggak tertulis begitu sih, tapi makanan yang dibungkus plastik seolah bebas dari aturan) harus mencantumkan ingredien makanan, dan produk itu harus lolos uji dan standar kesehatan yang ditetapkan pemerintah. Mleset sedikit saja dari ingredien yang tertulis, jangan tanya... produsen itu akan langsung jadi bulan-bulanan ”reportase investigasi” teman-teman saya, haha... Sempurna sudah perlindungan untuk kaum kaya, dengan anjing-anjing penunggu (watch-dog) yang galak.

Tentu saja aturan itu tidak jelek. Yang jelek adalah ketidaksadaran (benarkah???) bahwa aturan itu akhirnya hanya efektif melindungi kelompok pembeli yang mampu membeli makanan dalam kemasan mewah (berbahan baku karton atau aluminium foil, dicetak dengan desain grafis yang bagus). Mereka yang membeli makanan murah (entah karena maunya atau karena mampunya) secara otomatis tersingkir dari cakupan perlindungan tersebut. Bayangkan saja. Setiap hari mereka (termasuk saya, haha...) berhadapan dengan makanan yang non-standar. Bagaimana mau standar? Warung makan model ini jualan makanan apa saja nggak ada yang peduli. Jual bakso yang sempet kecemplung comberan pun nggak ada susahnya. Seorang teman bercerita, di Slipi dia lihat tukang mi ayam mengumpulkan sawi yang tidak dimakan pelanggannya, mencucinya (biar sehat kaleee...) dan mencampurkan pada porsi mi ayam berikutnya.

Terus terang saya nggak berani berharap pemerintah akan membuat standarisasi warung atau penjaja makanan kaum miskin. Di negara yang (ironis nggak sih?) sangat saya cintai ini standarisasi selalu dipersepsi sebagai sesuatu yang birokratis, susah, ribet, mahal, legalistis... sebut saja... Para elit lebih merasa diri berbobot ketika membual tentang sesuatu yang saya khawatir mereka sendiri nggak paham: neoliberalisme, jalan tengah, ekonomi kerakyatan... Bakso kecemplung comberan ... fiuh... sama sekali nggak gengsi.

Saya lebih berharap ada LSM yang sungguh peduli (jangan-jangan ini mimpi yang lebih parah), yang mau melakukan standarisasi warung makan kaum miskin ini. Mimpi saya, LSM ini akan membina para penjaja makanan mengenai standar kebersihan dan kesehatan, baik di tingkat poses, produk maupun lingkungan (warung). Warung-warung yang lolos standar ini akan mendapat label yang mencolok: Warung Sehat...

Oh iya... tapi kalau warung itu lantas laris, harga kopi tubruk dan somaynya jangan-jangan naik... sial juga. Haha, dasar ide proletar...

0 komentar:

Copyright © agenda 18 All Right Reserved