Thursday, April 17, 2008

"Infotainment": Pengingkaran Fungsi Informasi?

KOMPAS Minggu, 26-06-2005. Halaman: 17

SEJAK kapan kita harus menerima diktum baru: Infotainment, yang merupakan kepanjangan dari Informasi dan Entertainment (hiburan)? Apakah informasi yang layak tampil (terutama dalam televisi, khususnya yang menyangkut dunia selebriti) adalah informasi yang sekaligus juga harus menghibur? Sejak kapan informasi harus dibuat menghibur dan harus dipadukan sedemikian, terutama dengan mengobok-obok kehidupan pribadi para tokoh yang sebenarnya juga punya wilayah privasi yang hendak dilindungi mereka sendiri. Apakah mengobok- obok kehidupan pribadi seseorang adalah sesuatu yang menghibur? Bukannya sesuatu yang malah membuat kita prihatin?

Informasi ya informasi, hiburan ya hiburan. Sulit membuat keduanya saling bersatu, atau malah membuat-buatnya seolah jadi satu. Memang pula sulit untuk menyeragamkan pola pikir penonton agar tiap item berita dianggap sebagai informasi atau hiburan. Namun paling tidak kalau dua fungsi ini dikacaukan, maka yang ada wilayah abu-abu yang tak pernah jelas, dan kalau boleh saya mengatakannya, infotainment sebenarnya mengingkari fungsi informasi, terutama hak masyarakat itu sendiri untuk menerima informasi yang mereka butuhkan.

Memang dunia televisi banyak melakukan inovasi dalam tayangan-tayangannya (karena target akhirnya adalah membuat orang tetap menonton), tetapi inovasi belum tentu berarti perbaikan, peningkatan mutu, dan lebih membuat para penontonnya lebih humanis, tapi sebaliknya tayangan televisi kita makin membuat kita muak karena yang
ditampilkan kehidupan manusia yang makin dalam (wilayah privasi dilanggar), makin jijik dilakukan makin ditonton (toh kita cuma menonton, pikir para pembuatnya), makin menampilkan kehidupan manusia yang semu, makin komersial, dan juga makin menghina akal sehat.

Sayangnya tak ada orang yang cukup kritis untuk mempertanyakan ketika istilah infotainment itu pertama kali diangkat dan dipopulerkan. Kembali pada fungsi dasar komunikasi, sebagaimana ditampilkan dalam berbagai buku teks ilmu komunikasi, maka media massa punya fungsi informasi, fungsi survival terhadap lingkungan, fungsi hiburan, fungsi pendidikan, dan juga fungsi kontrol sosial.

Jelas berbeda antara fungsi informasi dan fungsi hiburan. Orang tentu saja bisa meresepsi (menerima) dengan cara yang berbeda, tapi membuat batas antara informasi dan hiburan itu jadi satu, punya kelemahan fatal, yaitu membuat baurnya batas-batas mana yang harus dianggap informasi (di mana di dalamnya mengandung unsur akurasi, bersikap imbang, tidak bermula dari suatu prasangka), dan mana yang dianggap sebagai hiburan (membuat orang tertawa, tersenyum, lalu memikirkan arti hidup lebih dalam).

Membaurkan dua fungsi yang berbeda tadi hanya mengacaukan persepsi kita dan juga membuat masyarakat jadi bingung membedakan manakah yang "fakta" dan "fiksi"? Lihat saja televisi dalam berbagai tayangan infotainment-nya. Di samping materinya pun tak beda-beda amat antara satu stasiun dan stasiun lainnya, lalu apa yang bisa diambil dari tayangan tersebut. Bayangkan seorang yang mengaku "wartawan" (karena nyatanya sebagian besar produksi tayangan selebriti ini adalah karyawan production house dan bukan karyawan stasiun televisi, alias mereka ini sesungguhnya bukan wartawan, walau ada organisasi profesi kewartawanan yang mengakui mereka sebagai "wartawan").

Bayangkan dalam prosedur kerjanya, sebuah tayangan (saya tak mau menyebutnya sebagai berita) bisa bermula dari suatu "isu" (isu cerai, isu pisah ranjang, isu kawin lagi, isu pacar baru, isu pindah agama, dll). Tentu saja, lalu sang tokoh muncul di layar televisi untuk membantah atau membenarkannya. Jadi, di mana "berita"-nya? Mereka yang pernah belajar jurnalistik dasar, mulai dari yang cuma sehari hingga bertahun-tahun dan mendapat gelar dari bidang itu, pasti akan tahu bahwa definisi berita adalah peristiwa yang terjadi. Jadi bukan isu, yang adalah sekadar wangsit belaka.

Ini pula penyakit lama jurnalisme Indonesia yang dibawa-bawa ke tayangan infotainment ini: talking journalism (jurnalisme omongan) seolah kalau si tokoh sudah berucap sesuatu, maka itulah kenyataannya. Yang dikejar "wartawan" itu semata-mata pernyataan atau omongannya saja. Penyakit lama adalah yang disebut sebagai pack journalism (jurnalisme bergerombol). Pantas saja kalau tayangan infotainment isinya sama saja karena mereka semua pergi bergerombol, bergotong royong, dan rela meng-kloning (istilah baru lagi untuk saling mengkopi bahan yang mereka miliki, bisa rekaman dalam tape wawancara atau gambar dari kamera).

Pada dunia hiburan sekalipun bisa digarap serius jadi berita (ingat majalah Variety yang sangat bergengsi dan punya ulasan-ulasan yang dalam terhadap dunia hiburan), mengapa tak pernah ada yang menggarap tema; seberapa banyak sinetron Indonesia meniru tayangan Bollywood, apakah ada oligopoli atau monopoli produksi sinetron di Indonesia ini, atau bagaimana relasi antara artis/aktor dengan para produser, yang sebenarnya mencerminkan bentuk hubungan buruh-majikan juga. Cuma bedanya, buruh industri hiburan ini agak keren dan enak dilihat, wangi lagi. Tapi esensinya relasi buruh-majikan banyak diabaikan atau malu mengakuinya.

Masih banyak tema lain yang menarik untuk digali. Dari sisi dunia hiburan yang justru penting untuk para penonton, misalnya bagaimana sih cara kerja bagian pemasaran sinetron-sinetron tersebut, mulai dari mem-block prime time, memberi keleluasaan sepenuhnya kepada para produser untuk menayangkan apa saja, dan pula bagaimana sih relasi dari Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) dengan berbagai tayangan macam begini? Saya akan sangat mafhum kalau para "wartawan" ini mengatakan bahwa mereka tak pernah membaca pedoman dan etika penyiaran yang dikeluarkan oleh KPI ataupun yang pernah dibuat juga oleh ATVSI (Asosiasi Televisi Swasta Indonesia).

Pertanyaan terakhir: apakah masyarakat jadi makin pintar, atau makin bodoh, atau makin terhibur setelah menonton tayangan infotainment yang makin mengepung di sekitar kita? Saya tak mau menjawab sendiri, biarlah para pembaca dan penonton televisi yang menjawabnya. Tapi saya pikir haruslah ada suatu kampanye juga untuk menyebutkan jika kita ingin memelihara akal sehat kita, baiknya kita pun diet televisi, terutama dalam tayangan infotainment macam begini (toh tak ada yang menyuruh kita menyalakan televisi 24 jam sehari), dan solusinya mudah: matikan televisi Anda.

0 komentar:

Copyright © agenda 18 All Right Reserved