Monday, March 17, 2008

Antologi Puisi dan Cerpen Aku Perempuan: Dari Para Perempuan Belia

Judul: Aku Perempuan
Penulis: Widiani Hartati, Arnette Harjanto, Agnes Cynthia Dewi
Penerbit: WRA Cipta
Halaman:124 hlm, 10 cm x 15 cm

Antologi Puisi dan Cerpen “Aku Perempuan”: Dari Para Perempuan Belia

Oleh Agnes Winarti*

“Kau tidak menulis Pram. Kau berak.” Terbayangkah bahwa seorang Pramudya Ananta Tur muda, pernah mendapat semprotan kalimat macam itu? Idrus, sang sastrawan ternama Indonesia, diakui oleh Pram sebagai guru besarnya, justru yang memuntahkan kalimat itu.

Kita yang menggemari dunia sastra pastinya tidak asing dengan nama besar Pramudya A. T, yang karya-karyanya dilarang terbit kala rezim Soeharto, namun kini tersohor ke seantero jagat bahkan diterbitkan dalam berbagai bahasa asing. Melihat kukuhnya eksistensi Opa Pram hingga detik kini, maka selayaknya semburan macam itu takkan mengecilkan hati siapapun gerangan yang punya antusiasme besar di dunia perangkaian kata dan kalimat alias dunia penulisan.

Tiga perempuan belia yang masih di awal bangku kuliahnya telah menerbitkan sebuah antologi puisi dan cerpen yang mereka pilihkan dari setumpukan buah karya mereka. Dengan terang benderang, tajuk Aku Perempuan mereka ambil sebagai judul yang memayungi antologi mereka ini. Ini merupakan judul yang diambil dari salah satu puisi termuat di dalamnya. Letupan-letupan emosi yang akrab dengan perempuan pun kemudian diketengahkan untuk menamai bab-bab pembagi dalam buku ini, meliputi Pedih, Api (mewakili kemarahan), Hampa, Rindu, Harap dan Cahaya (mewakili optimisme). Uniknya, beberapa puisi intermezzo disediakan untuk menjembatani antar-bab. Misalnya puisi Biarkan Aku Bicara mengawali bab Api yang menampilkan karya-karya mereka tentang letupan perasaan identik dengan amarah. Sementara itu, intermezzo yang berjudul Kalau Kau Muak hadir sebagai pembuka bab Harap dan Cahaya. Memang perlu diakui, meski puisi dan cerpen dalam buku ini disusun dari letupan-letupan negatif seperti kepedihan, amarah, kekosongan dan kerinduan menuju letupan yang menitikkan harapan dan optimisme, namun tetap saja buku ini pekat dengan suasana hati yang muram. Entahlah, mungkin pada kebanyakan penyair, momen terbaik menelurkan karya seperti puisi dan cerpen memang justru pada saat nuansa melankolis sedang melanda hati.

Tak dapat dipungkiri karya-karya dalam buku ini masih banyak mengambil tema-tema umum seperti keindahan alam, cinta, persahabatan dan pergulatan dalam diri pribadi masing-masing penulisnya. Eloknya, beberapa tema kepedulian sosial juga hadir. Misalnya dalam puisi Cinta Seorang Ayah, Widiani Hartati sang penulis menunjukkan kritik dan kejijikannya pada realitas kehidupan di mana ada bapak yang tega berbuat tak senonoh kepada darah dagingnya. Atau dalam cerpen $20 karya Arnette Harjanto yang berkisah tentang bagaimana seorang remaja putri dihadapkan pada pilihan mengambil sikap ikut atau melawan arus yang berkait dengan masalah mempertahankan moral atau mengutamakan materi. Cerpen Demi dan puisi Bencana dipersembahkan untuk rakyat di beberapa bagian Indonesia yang di tahun 2004 mengalami bencana tsunami dan gempa bumi. Kritik pada kinerja penguasa juga dilayangkan dalam salah satu cerpen yang berjudul SMS namun kurang eksplorasi lebih dalam, sehingga ujung-ujungnya hanya berkutat pada pergumulan kesedihan si pengisah dalam cerpen dengan dirinya sendiri.
Sedikit disayangkan, isi puisi Aku Perempuan yang dipakai sebagai tajuk buku di sampul depan ternyata kurang greget. Padahal greget itu seakan-akan dijanjikan dengan ditampilkannya frase ‘aku perempuan’ itu sendiri. Ternyata, penulis masih memandang ke-perempuan-annya sebagai kelemahan dengan pemakaian repetisi. Kodrat bereproduksi alias menjadi ‘ibu’ seolah jadi satu-satunya harapan seorang perempuan untuk menjalani hidupnya. Pendek kata, alih-alih menampilkan resistensi pada apa itu yang ‘digariskan’ sebagai kodrat perempuan, penulis justru kembali pada kodrat reproduksi itu, tak lebih tak kurang.

Beberapa salah ketik tetap ditemukan, namun tak sampai menggangu kenikmatan membaca. Sependapat dengan Maria D Adriana dari Kantor Berita Antara, “Kehadiran mereka mungkin belum menggoreskan pemandangan seindah pelangi di langit biru, tetapi setidaknya tumbuh bagai kuncup bunga yang siap memamerkan kelopak yang mempesona.”

Dan tepatlah apa yang disampaikan oleh novelis Maria A. Sardjono dalam mengakhiri pengantarnya untuk buku ini, “Memang, itu baru permulaan….Tetapi tanpa ada keberanian untuk memasuki awal permulaan, sudah pasti tidak ada satu katapun yang akan lahir dari ketiganya.” Jadi, kita tunggu masing-masing individu penyair nan belia ini untuk menelurkan karya-karya selanjutnya. Sampai jumpa lagi di dunia perangkaian kata! Kalian tidak berak. Kalian menulis.

*Freshgraduate of Mass Communication Major, FISIP UI, book and movie lovers, a member of Forum Penulis Agenda 18

Dimuat di rayakultura

0 komentar:

Copyright © agenda 18 All Right Reserved